Hukum Sali: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 73:
 
=== Di Perancis ===
Raja-raja [[wangsa Meroving]] membagi-bagi wilayah kekuasaannya secara merata kepada semua putra mereka yang masih hidup. Tindakan ini menjadi penyebab timbulnya berbagai sengketa dan bunuh-membunuh antarsaudara di kalangan kaum keturunan raja. Wangsa Karoling juga melakukan tindakan yang sama, namun wilayah kekuasaan mereka sudah bertaraf kekaisaran, sehingga tidak dapat dibagi-bagi dan hanya dapat diwariskan kepada satu orang saja pada setiap masa pemerintahan. Primogenitur, yakni asas pengistimewaan terhadap keturunan yang lahir lebih dulu sebagai ahli waris atas seluruh harta si pewaris, pada akhirnya muncul di Perancis pada masa pemerintahan raja-raja wangsa Capet. Raja-raja wangsa Capet yang terdahulu hanya memiliki satu orang ahli waris, yaitu putra tertua, yang [[Penobatan Raja Perancis#Pemahkotaan Pewaris|dinobatkan menjadi raja muda]] ({{lang-lat|rex iunior}}) selagi ayahnya masih hidup. Karena warisan tidak lagi dibagi-bagi secara merata, maka sebagai gantinya, putra-putra raja dari wangsa Capet selain putra tertua dianugerahi [[apanase]], yakni daerah kekuasaan feodal di bawah suzeranitas raja. Hukum feodal memperbolehkan pewarisan pertuanan kepada anak perempuan jika tidak ada anak lelaki. Aturan ini juga diterapkan pada apanase-apanase terdahulu. Mengenai apakah hukum feodal ini juga diterapkan dalam pewarisan takhta Kerajaan Perancis, tak seorang pun yang tahu sampai dengan tahun 1316.<!--
 
==== Tata suksesi pada 1316 ====
Selama jangka waktu yang benar-benar panjang, semenjak berkuasanya wangsa Capet pada 987 sampai dengan mangkatnya [[Louis X dari Perancis|Raja Louis X]] pada 1316, putra tertua yang masih hidup dari Raja Perancis akan naik takhta menjadi raja baru bilamana ayahnya mangkat. Selama waktu itu pula tidak pernah muncul kesempatan untuk menunjukkan apakah kaum perempuan ikut diperhitungkan atau tidak diperhitungkan sebagai ahli waris takhta. Raja Louis X mangkat tanpa meninggalkan seorang putra, namun permaisurinya sedang mengandung. Saudara mendiang raja, [[Philip V dari Perancis|Philip, Bupati Poitiers]], memerintah sebagai wali. Philip mengikat perjanjian dengan [[Eudes IV dari Bourgogne|Odo IV, Adipati Bourgogne]], paman dari [[Juana II dari Navarra|Putri Jeanne]], anak perempuan Louis X dari permaisuri pertamanya, bahwa jika anak yang sedang dikandung permaisuri terlahir sebagai laki-laki, maka akan segera dinobatkan menjadi Raja Perancis berikutnya, sedangkan jika ternyata seorang perempuan, maka Philip terus memerintah selaku wali sampai putri-putri mendiang Louis X cukup umur untuk memerintah sendiri. Dengan demikian, terbukti anak perempuan berkesempatan untuk menjadi ahli waris takhta Kerajaan Perancis.
For a remarkably long period, from the inception of the Capetian dynasty in 987 until the death of [[Louis X of France|Louis X]] in 1316, the eldest living son of the King of France succeeded to the throne upon his demise. There was no prior occasion to demonstrate whether or not females were excluded from the succession to the crown. Louis X died without a son, but left his wife pregnant. The king's brother, [[Philip V of France|Philip, Count of Poitiers]], became regent. Philip prepared for the contingencies with [[Odo IV, Duke of Burgundy]], maternal uncle of Louis X's daughter and prospective heiress, [[Joan II of Navarre|Joan]]. If the unborn child was male, he would succeed to the French throne as king; if female, Philip would maintain the regency until the daughters of Louis X reach their majority. There was opportunity for either daughter to succeed to the French throne.
 
Kerajaan Perancis akhirnya merasa lega ketika anak yang dilahirkan permaisuri ternyata seorang laki-laki, yakni [[Jean I dari Perancis|Jean I]]. Akan tetapi Jean hanya bertahan hidup selama beberapa hari. Philip melihat ada peluang bagi dirinya untuk menjadi raja, dan mengingkari janjinya pada Adipati Bourgogne serta mengatur agar dirinya diurapi menjadi [[Philip V dari Perancis|Raja Philip V]] di Reims pada bulan Januari 1317. [[Agnes dari Perancis|Putri Agnes]], anak perempuan Santo Louis, ibu Adipati Bourgogne, dan nenek dari Putri Jeanne, memperkarakan tindakan ini sebagai penyerobotan takhta, dan menuntut agar wakil-wakil dari segenap lapisan kawula Perancis bersidang demi menuntaskan perkara ini. Gugatan Putri Agnes diterima oleh Raja Philip V.
The unborn child proved to be male, [[John I of France|John I]], to the relief of the kingdom. But the infant lived for only a few days. Philip saw his chance and broke the agreement with the Duke of Burgundy by having himself anointed at Reims in January 1317 as [[Philip V of France]]. [[Agnes of France, Duchess of Burgundy|Agnes of France]], daughter of Saint Louis, mother of the Duke of Burgundy, and maternal grandmother of the Princess Joan, considered it an usurpation and demanded an assembly of the peers, which Philip V accepted.
 
Suatu majelis yang terdiri atas para rohaniwan tinggi, kaum bangsawan, kaum borjuis kota Paris, dan para doktor Universitas Paris, yakni majelis yang disebut ''États généraux'' tahun 1317, bersidang pada bulan Februari. Raja Philip V meminta sidang majelis untuk menyusun argumen yang mengesahkan hak warisnya atas takhta Kerajaan Perancis. Sidang majelis memutuskan bahwa "kaum perempuan tidak berhak menjadi ahli waris tahkta Kerajaan Perancis", dan dengan demikian membenarkan tindakan Raja Philip sekaligus memuskilkan kaum perempuan untuk menduduki takhta Kerajaan Perancis. Keputusan ini terus berlaku sampai monarki Perancis ditumbangkan. Kala itu, Hukum Sali belum dijadikan dasar: argumen-argumen yang diajukan sebagai pembenaran terhadap tindakan Philip V ini hanya didasarkan atas kedekatan Raja Philip V dengan [[Louis IX dari Perancis|Santo Louis]]. Raja Philip didukung oleh kaum bangsawan dan memiliki sumber-sumber daya yang dapat dimanfaatkan demi mewujudkan ambisi-ambisinya.
An assembly of prelates, lords, the bourgeois of Paris and doctors of the University, known as the Estates-General of 1317, gathered in February. Philip V asked them to write an argument justifying his right to the throne of France. These "general statements" agreed in declaring that "Women do not succeed the kingdom of France", formalizing Philip's usurpation and the impossibility for a woman to ascend the throne of France, a principle in force until the end of the monarchy. The Salic law, at the time, was not yet invoked: the arguments put forward in favor of Philip V relied only on the degree of proximity of Philip V with St. Louis. Philip had the support of the nobility and had the resources for his ambitions.
 
Raja Philip dapat menjinakkan Adipati Bourgogne dengan menikahkan Sang Adipati dengan putrinya yang juga bernama [[Jeanne]], dengan embel-embel Kabupaten Artois dan Kabupaten Bourgogne (bukan Kadipaten Bourgogne) sebagai tanah warisan Sang Putri. Pada 27 Maret 1317, Adipati Bourgogne dan Raja Philip V menandatangani sebuah perjanjian di Laon yang memuat pernyataan pelepasan hak waris Putri Jeanne (anak perempuan Raja Louis X) atas takhta Kerajaan Perancis.<!--
Philip won over the Duke of Burgundy by giving him his daughter, also named [[Joan III, Countess of Burgundy|Joan]], in marriage, with the counties of Artois and Burgundy as her eventual inheritance. On March 27, 1317, a treaty was signed at Laon between the Duke of Burgundy and Philip V, wherein Joan renounced her right to the throne of France.
 
==== Tata suksesi pada 1328 ====