Tukul Riyanto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
IVP (bicara | kontrib)
←Membatalkan revisi 1400726 oleh 125.161.195.233 (Bicara)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7:
== Masa muda ==
Dengan bakat alaminya, Tukul muda sudah mulai melawak sejak kelas VI [[SD]]. Berbagai macam perlombaan [[lawak]], mulai dari tingkat Kotamadya [[Semarang]], [[Jawa Tengah]], [[DKI]], dan [[Jabotabek]], serta tingkat nasional ia coba. Usahanya ini tidak sia-sia. Ia berhasil menjuarai berbagai perlombaan melawak. Setelah lulus SD, putra ketiga dari pasangan Abdul Wahid dan almarhumah Sutimah itu melanjutkan sekolahnya ke SMP Muhammadiyah Indraprasta. Namun, pada saat Tukul duduk di bangku kelas III, orang tua angkatnya, Suwandi mengalami kesulitan ekonomi. Bahkan, rumah yang selama itu ditempatinya harus dijual. Puncaknya, saat menuntut ilmu di SMA Ibu Kartini, Jalan Sultan Agung, Semarang, Tukul mulai kesulitan untuk membayar biaya sekolah. Tukul pun mulai mencari pekerjaan untuk membiayai sekolahnya.
Tukul Arwana memang sukses tapi puji pujian dan agul agul sudah terlalu berlebihan. Sukses dari bawah bukan berarti masa lalunya bersih dan menjadi suci mengagumkan. Seingat saya tahun 1993 ketika Tukul masih bekerja untuk Ramon Tommybens dan Harry de Fretes ia pernah berkomplot dengan Teguh (managernya sekarang) mencuri 2 lembar cheque dan memalsukan tanda tangan Ramon dan berhasil membobol Bank Universal sebesar 7 juta rupiah. Peristiwa itu dilaporkan ke Polisi dan Teguh ditangkap tetapi Tukul berhasil lolos dan kabur.
 
Tidak bersih juga kan ?
Selepas SMA, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, selain melawak ia juga pernah bekerja sebagai [[sopir]] [[angkutan]] (jurusan Johar-Panggung di Semarang). Setelah dua tahun, Tukul berganti pekerjaan menjadi sopir truk gas [[elpiji]] di daerah Tanah Mas, Semarang Utara selama dua tahun, sebelum akhirnya kembali menjadi sopir angkutan. Setelah berganti-ganti pekerjaan, Tukul akhirnya memuntuskan untuk hijrah [[Jakarta]] atas ajakan temannya Joko Dewo dan Tony Rastafara sekitar tahun 1992. Selama beberapa tahun di Jakarta, nasibnya belum juga berubah.