Orang Peranakan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
OrophinBot (bicara | kontrib)
LaninBot (bicara | kontrib)
k namun (di tengah kalimat) → tetapi
Baris 17:
Anggota etnis ini di [[Malaka]], Malaysia menyebut diri mereka sebagai "''Baba-Nyonya''". "Baba" adalah istilah sebutan untuk laki-lakinya dan "Nyonya" istilah untuk wanitanya. Sebutan ini berlaku terutama untuk populasi etnis Tionghoa dari [[Negeri-Negeri Selat]] di [[Malaya Britania|Malaya]] kala era kolonial, [[Pulau Jawa]] yang kala itu dikuasai Belanda, dan lokasi lainnya, yang telah mengadopsi kebudayaan [[Nusantara]] - baik sebagian atau seluruhnya - dan menjadi lebih berasimilasi dengan masyarakat [[pribumi]] setempat. Banyak etnis ini yang merupakan kaum elit [[Singapura]], lebih setia kepada Inggris daripada Tiongkok. Sebagian besar telah tinggal selama beberapa generasi di sepanjang [[selat Malaka]] dan sebagian besar telah memiliki garis keturunan dari perkawinan dengan orang Nusantara pribumi dan Melayu. Etnis ''Peranakan'' biasanya merupakan pedagang, perantara antara Inggris dan Tiongkok, atau Tionghoa dan Melayu, atau juga sebaliknya karena mereka dididik dalam sistem Inggris. Karena itu, orang ''Peranakan'' hampir selalu memiliki kemampuan untuk berbicara dalam dua bahasa atau lebih. Dalam generasi selanjutnya, banyak yang telah kehilangan kemampuan untuk berbicara [[rumpun bahasa Tionghoa]] karena mereka telah berasimilasi dengan budaya [[Semenanjung Malaya]] dan telah berbicara lancar [[Bahasa Melayu]] sebagai bahasa pertama atau kedua.
 
Istilah "''Peranakan''" paling sering digunakan di kalangan etnis Tionghoa bagi orang keturunan Tionghoa, di Singapura dan Malaysia orang keturunan Tionghoa ini dikenal sebagai '''Tionghoa Selat''' ({{lang|zh-Hant|土生華人}}; karena domisili mereka di [[Negeri-Negeri Selat]]), namuntetapi ada juga masyarakat ''Peranakan'' lain yang relatif kecil, seperti India Hindu Peranakan ([[Chetti]]), India Muslim Peranakan ([[Jawi Peranakan]] atau Jawi "''Pekan''") ([[Abjad Jawi]] menjadi tulisan Arab yang telah di-Jawa-kan,<ref name="ReferenceA">Sadaoh Nasution, ''Kamus Umum Lengkap: Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris'', University of California: 1989: 562 pages</ref> "''Pekan''" adalah istilah sehari-hari yang telah mengalami kontraksi pengucapan dari "''Peranakan''"<ref name="ReferenceA"/>) dan Peranakan Eurasia ([[Bangsa Kristang|Kristang]]<ref name="ReferenceA"/>) (Kristang = Kristen).<ref name="ReferenceA"/><ref>http://www.peranakanmuseum.sg/themuseum/abtperanakans.asp</ref> Kelompok ini memiliki hubungan paralel dengan orang [[Hokkian Kamboja]], yang merupakan keturunan [[Orang Hokkian|Tionghoa Hoklo]]. Mereka mempertahankan sebagian budaya mereka meskipun bahasa asli mereka secara bertahap menghilang beberapa generasi setelah bermukim.<ref>[http://books.google.com/books?id=MWgKAQAAIAAJ&q=peranakan+in+cambodia&dq=peranakan+in+cambodia&lr=&ei=c5NuS_7hFY7glQSwlaSuDQ&cd=4 The Chinese in Cambodia By William E. Willmott]</ref> <!-- [[YANG Jin Fong]] D.Mus., Asisten Profesor dari [[National Cheng Kung University]], yang mengatakan, Bā-bā adalah pengucapan Taiwan untuk "Ayah", dan Niû-liá adalah pengucapan Taiwan untuk "Ibu". Niû-liá adalah dialek rendah, hanya sedikit orang tua yang menggunakannya, di Taiwan.-->
 
== Terminologi ==
Baris 39:
Catatan tertulis dari awal abad ke-19 dan abad ke-20 menunjukkan bahwa pria Peranakan biasanya mengambil pengantin dari dalam komunitas ''Peranakan'' setempat. Keluarga Peranakan kadang-kadang mengimpor pengantin wanita dari Tiongkok dan mengirim putri mereka ke Tiongkok untuk mencari suami.
 
Beberapa sumber mengklaim bahwa Peranakan awal telah menikah-campur dengan penduduk Nusantara pribumi setempat; klaim ini mungkin berasal dari kenyataan bahwa beberapa pegawai yang menetap di Bukit Tionghoa yang melakukan perjalanan ke Malaka dengan Laksamana dari Yunnan adalah Muslim Tionghoa. Namun pakar lainnya, melihat kurangnya kemiripan fisik, sehingga mereka berpendapat bahwa etnis Tionghoa Peranakan telah hampir tidak bercampur dengan Pribumi Nusantara. Satu kasus penting untuk mendukung klaim tentang percampuran tersebut adalah dari masyarakat Peranakan di [[Tangerang]], Indonesia, yang dikenal sebagai ''[[Tionghoa Benteng]]''. Penampilan fisik mereka adalah [[Pribumi]] Nusantara, namuntetapi mereka mematuhi adat istiadat Peranakan, dan kebanyakan dari mereka adalah penganut [[Buddhisme]]. Beberapa Peranakan membedakan antara "''Baba-Peranakan''" (Peranakan dengan keturunan Melayu Semenanjung) dari "''Peranakan''" (mereka yang tanpa keturunan Melayu Semenanjung).
 
== Bahasa ==
Baris 49:
== Sejarah ==
[[Berkas:Babas from the Straits Settlements, Shoemaker (Opium Eater) from Singapore.JPG|jmpl|180px|ka|Orang Peranakan di [[Negeri-Negeri Selat]] zaman dahulu.]]
Pada abad ke-15, beberapa negara-kota kecil di [[Semenanjung Malaya]] sering membayar upeti kepada berbagai kerajaan seperti [[Kaisar Tiongkok|Kekaisaran Tiongkok]] (sekarang [[Republik Rakyat Tiongkok]]) dan [[Kerajaan Siam]] (sekarang [[Thailand]]). Hubungan dekat dengan Tiongkok dimulai pada awal abad ke-15 pada masa pemerintahan [[Parameswara]] ketika Laksamana [[Cheng Ho]], utusan Kaisar Tionghoa [[Yongle]], mengunjungi [[Malaka]] dan [[Jawa]]. Terdapat legenda bahwa di [[1459]] Masehi, Kaisar Tiongkok mengirimkan seorang putri, [[Hang Li Po]], kepada Sultan Malaka sebagai tanda penghargaan atas penghormatannya. Para bangsawan (500 putra menteri) dan pegawai yang menemani putri tersebut awalnya menetap di [[Bukit Tionghoa]] dan akhirnya berkembang menjadi kelas "Tionghoa Selat" (Tionghoa kelahiran [[Selat Malaka]]), namuntetapi legenda ini tidak didukung adanya bukti dari catatan Kekaisaran Tionghoa.
 
Kala itu karena kesulitan ekonomi di daratan Tiongkok, gelombang imigran datang dari negeri Tiongkok dan menetap di [[Semenanjung Malaya]] (sekarang [[Malaysia Barat]]), [[Pulau Ujong]] (sekarang [[Singapura]]), dan kepulauan [[Nusantara]] (sekarang [[Indonesia]]). Beberapa dari mereka kemudian berasimilasi dengan adat istiadat lokal, sementara masih mempertahankan beberapa tingkat budaya nenek moyang mereka, mereka kemudian juga dikenal sebagai kaum "Peranakan". Peranakan biasanya memiliki tingkatan darah [[pribumi]] Nusantara tertentu, yang dapat dihubungkan dengan fakta bahwa selama kekaisaran Tionghoa, sebagian besar imigran dari Tiongkok adalah laki-laki yang kemudian menikah dengan wanita pribumi setempat. Orang Peranakan di [[Tangerang]], Indonesia yang dikenal dengan sebutan [[Tionghoa Benteng]], mempunyai tingkatan darah pribumi yang tinggi sehingga mereka hampir tidak bisa dibedakan secara fisik dari penduduk pribumi. Penampilan orang Peranakan di Indonesia dapat bervariasi, antara berkulit sangat terang sampai berwarna kulit cokelat tembaga.
Baris 69:
[[Berkas:WLANL - mchangsp - Vitrine Baba Nonya (1).jpg|jmpl|kiri|180px|Busana [[kebaya]] wanita Peranakan di [[Museum Peranakan]].]]
 
Di Malaysia dan Singapura, Peranakan mempertahankan sebagian besar etnis dan agama asal mereka (seperti pemujaan leluhur), namuntetapi berasimilasi dengan bahasa dan kebudayaan Melayu. Busana ''Nyonya'', yaitu "[[Baju Panjang]]" diadaptasi dari busana pribumi Melayu "[[Baju Kurung]]". Busana ini dikenakan dengan [[sarung batik]] dan 3 "[[kerosang]]" (bros). Sandal manik-manik yang disebut "Kasot Manek" ([[Kasut Manik]]) adalah buatan tangan yang memerlukan banyak keterampilan dan kesabaran: dirangkai, dimanik-manik dan dijahit ke kanvas dengan manik-manik kaca berbentuk tertentu yang kecil dari [[Bohemia]] (sekarang [[Republik Ceko]]).
 
Di zaman modern, manik-manik kaca dari [[Jepang]] lebih disukai untuk ''kasot manek''. Desain ''kasot manek'' tradisional sering memiliki bentuk bunga Eropa, dengan warna yang dipengaruhi oleh [[porselin]] dan sarung batik Peranakan. Mereka dibuat ke dalam bentuk alas kaki atau sandal kamar, namuntetapi sejak 1930-an, bentuk modern menjadi populer dan tumit ditambahkan ke dalam desain alas kaki ini.
 
Di Indonesia, Peranakan mengembangkan [[kebaya]]-nya sendiri, terutama ''kebaya encim'', berasal dari nama ''[[encim]]'' atau ''enci'' untuk merujuk kepada seorang wanita Tionghoa yang sudah menikah.<ref>{{cite web
Baris 83:
|accessdate = 19 January 2013
}}
</ref> ''Kebaya encim'' biasanya dipakai oleh wanita Tionghoa di kota-kota pesisir Jawa yang mempunyai permukiman Tionghoa yang cukup besar. seperti [[Semarang]], [[Lasem]], [[Tuban]], [[Surabaya]], [[Pekalongan]] dan [[Cirebon]]. Busana kebaya ini berbeda dari kebaya Jawa dengan bordiran yang lebih kecil dan halus-nya, kain ringan dan warna yang lebih cerah. Mereka juga mengembangkan pola batik mereka sendiri, yang menggabungkan simbol dari Tiongkok. ''Kebaya encim'' cocok dipakai dengan kain [[batik|batik Jawa pesisiran]] berwarna cerah, yang menggunakan simbol dan motif dari Tiongkok, seperti [[naga]], [[feniks]], [[peony]] dan [[teratai]]. Para ''Baba'' biasanya akan mengenakan baju [[lokchuan]] (yang merupakan busana penuh orang-orang Tionghoa), namuntetapi generasi muda memakai hanya bagian atasannya yang merupakan jaket sutra lengan panjang dengan kerah Tionghoa, atau [[kemeja batik]].
 
=== Agama ===
Baris 134:
Budaya Peranakan telah mulai menghilang di Malaysia dan Singapura. Tanpa dukungan kolonial Inggris terhadap netralitas ras mereka, kebijakan pemerintah di kedua negara setelah kemerdekaan dari Inggris telah mengakibatkan asimilasi budaya Peranakan kembali ke aliran umum budaya Tionghoa. Singapura kemudian mengklasifikasikan Peranakan sebagai etnis Tionghoa, sehingga mereka menerima instruksi formal dalam [[bahasa Mandarin]] alih-alih Melayu sebagai bahasa kedua (sesuai dengan "Kebijakan [[Bahasa Ibu]]"). Di Malaysia, standarisasi semua Melayu ke dalam [[Bahasa Melayu]] - yang diperuntukkan untuk semua kelompok etnis - telah menyebabkan hilangnya karakteristik unik dari para ''Baba Melayu''.
 
Di Indonesia, budaya Peranakan kehilangan popularitas dibandingkan [[budaya Barat]] modern, namuntetapi dalam beberapa tingkat kaum Peranakan mencoba untuk mempertahankan [[Bahasa Peranakan|bahasa]], [[Masakan Peranakan|masakan]], dan adat istiadat mereka. Peranakan muda masih berbicara bahasa Peranakan, meskipun banyak perempuan muda Peranakan tidak memakai ''kebaya''. Pernikahan biasanya mengikuti budaya barat karena kebiasaan tradisional Peranakan kehilangan popularitas. Tercatat hanya tiga komunitas peranakan yang masih menjunjung tinggi adat pernikahan tradisional Peranakan, yaitu: [[Tangerang]] (oleh orang [[Tionghoa Benteng]]), Peranakan Makassar dan Peranakan Padang. Dari tiga komunitas tersebut, orang Tionghoa Benteng adalah yang paling patuh terhadap budaya Peranakan, namuntetapi jumlah mereka semakin berkurang.<ref name="Pernikahan Peranakan">{{cite web |url=http://nasional.kompas.com/read/2008/02/05/18160273/Imlek.Prosesi.Pernikahan.China.Peranakan.Hanya.Bertahan.di.Tiga.Kota |title=Imlek, Prosesi Pernikahan China Peranakan Hanya Bertahan di Tiga Kota |deadurl=no |accessdate=10 July 2012}}</ref>
 
Orang Tionghoa Benteng biasanya hidup sebagai golongan ekonomi bawah, banyak dari mereka mencari peluang di bidang lain. Beberapa organisasi mencoba untuk meringankan beban hidup mereka.<ref name="Tionghoa Benteng Get Free Health Service">{{cite web |url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/15/Tionghoa-benteng-get-free-health-service.html |title=Tionghoa Benteng get free health service |deadurl=no |accessdate=10 July 2012}}</ref> Hingga Mei 2012, sekitar 108 keluarga Tionghoa Benteng terancam tergusur dari rumah tradisional mereka. Alasan dari pemerintah Tangerang adalah bahwa daerah tersebut sebenarnya dimaksudkan sebagai lahan hijau untuk kota. Hal ini menimbulkan masalah karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berpenghasilan rendah dan tidak tahu di mana untuk berpindah, sedangkan pemerintah juga tidak memberikan uang kompensasi yang cukup untuk membeli rumah baru. Beberapa upaya penggusuran di 2010 dan 2011 yang berakhir dengan kekerasan, telah menyebabkan trauma bagi mereka.<ref name="Tionghoa Benteng Vows Fight Upcoming Eviction">{{cite web |url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/19/Tionghoa-benteng-vows-fight-upcoming-eviction.html |title='Tionghoa Benteng' vows to fight upcoming eviction |deadurl=no |accessdate=10 July 2012}}</ref>