Keadilan dalam Islam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 9:
{{cquote|''Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Tuhan. Dan, janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa''
––––– Al-Qur'an [[Surah Al-Maidah]] ayat ke-8|}}
Kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an mengenai masalah keadilan adalah ''<nowiki/>'adl'' dan ''qist''. ''<nowiki/>'Adl'' dalam [[bahasa Arab]] bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan ''sawiyyat''.{{sfnp|Cowan|1976|p=506|ps=}} Kata itu juga mengandung makna ''equalizing'' (penyamarataan) dan ''levelling'' (kesamaan). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata ''zulm'' dan ''jaur'' ([[Pidana|kejahatan]] dan [[penindasan]]). ''Qist'' mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran, dan kewajaran. ''Taqassata'', salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. ''Qistas'', kata turunan lainnya, berarti keseimbangan berat.{{sfnp|Cowan|1976|p=628|ps=}} Hal inilah yang menyebabkan kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan, yakniadalah ''‘adl'' dan ''qist'', yang mengandung makna distribusi yang merata, termasuk distribusi materi dan penimbunan harta (dalam kasus tertentu diperbolehkan asalkan untuk kepentingan sosial).{{sfnp|Engineer|1999|p=60|ps=}}
 
Ayat tersebut di atas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya di dalam Al-Qur'an yang mempunyai pengertian sama, yaitu [[Surah Al-Hasyr]] ayat ke-7, [[Surah Al-Baqarah]] ayat ke-219, dan [[Surah Al-Isra']] ayat ke-16. Al-Qur’an bukantidak saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk [[fakir miskin]], janda-janda, dan anak yatim), namuntetapi juga menentang kemewahan dan tindakan menghambur-hamburkan uang (untuk kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sementarasedangkan banyak yangmasyarakat miskin yang membutuhkannya). Keduanyan merupakamerupakan tindakan jahat, dan makanyamengganggu mereka''social mengganggubalance'' (keseimbangan sosial). Keadilan di dalam Al-Qur’an bukan hanya berarti normahanya hukum (''rule of law'' (norma hukum) saja, namuntetapi juga berarti keadilan yang distributif (karena hukummenurut [[Sokrates]], kata Socrates,hukum seringkali menguntungkan orang yang kaya dan kuat). Keseimbangan sosial hanya dapat dijaga, bilaapabila kekayaan''social sosialwealth'' (socialkekayaan wealthsosial) dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinyasemestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. ItuHal itu hanya akan mengarah padakepada kehancuran masyarakat secara, total. Sebagaimanasebagaimana telah disebutkan di dalam Al-Qur’an di atas, kehancuran ini merupakan suatu keniscayaan.
Ayat tersebut di atas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya yang sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama. “Supaya kekayaan itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya.” “Mereka menanyakan kepadamu berapa mereka harus menafkahkan. Jawablah, ‘Kelebihan dari keperluanmu.” Al-Qur’anjuga mengancam orang-orang kaya yang suka pamer, dan kehidupan yang seperti ini akan membawa kehancuran. “dan bila kami bermaksud menghancurkan sebuah kota, Kami berikan perintah kepada orang-orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh, tetapi mereka melanggar peraturan itu. Maka sepantasnyalah berlaku kutukan atas mereka, lalu Kamipun membinasakannya.”
 
[[Berkas:SARAYE EHSAN8.jpg|jmpl|252x252px|Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam ({{harvnb|Engineer|1999|p=57–58}}).]]
Al-Qur’an bukan saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk fakir miskin, janda-janda dan anak yatim), namun juga menentang kemewahan dan tindakan menghambur-hamburkan uang (untuk kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sementara banyak yang miskin yang membutuhkannya). Keduanyan merupaka tindakan jahat, dan makanya mereka mengganggu keseimbangan di dalam Al-Qur’an bukan hanya berarti norma hukum (rule of law), namun juga berarti keadilan yang distributif (karena hukum, kata Socrates, seringkali menguntungkan orang yang kaya dan kuat). Keseimbangan sosial hanya dapat dijaga, bila kekayaan sosial (social wealth) dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah pada kehancuran masyarakat secara total. Sebagaimana telah disebutkan Al-Qur’an di atas, kehancuran ini merupakan suatu keniscayaan.
 
Jika orang mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti, ia akan menjumpai banyak sekali ayat-ayat yang membahas keadilan dalam berbagai aspek yang berbeda. Menurut Al-Qur’an, hanya apa yang telah diusahakannya yang akan diperoleh manusia. “Dan manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang diusahakannya,” kata Al-Qur’an dengan nada yang mantap. Dengan ungkapan yang pendek itu, seluruh model produksi yang kapitalistik menjadi tidak berlaku. Yang menjadi pemilik yang sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat-alat produksi. Masalah ini akan dibahas secara singkat dalam kaitannya dengan kebijakan pertanahan Islam. Namun demikian, harus dipahami secara jelas bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah esai tentang ekonomiyang bersifat kesukuan, feodal atau kapitalistik. Al-Qur’an berikan pernyataan-pernyataan yang berorientasi nilai (value-oriented declarations). Al-Qur’an tidak menetapkan suatu dogma ekonomi. Apa yang menjadi maksudnya adalah membangun sebuah masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Sedangkan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan cara tersendiri. Sehingga Al-Qur’an tidak membingkai kreatifitas manusia. Namun demikian, manusia diperingatkan agar jangan sampai memperkuat suatu struktur yang menindas dan mengeksploitasi.