Piagam Jakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 158:
 
[[Berkas:ConstitutionalAssemblyBldg.jpg|jmpl|[[Gedung Merdeka]] di [[Bandung]] pernah dijadikan Gedung [[Konstituante]] dari tahun 1956 hingga 1959]]
Pada Desember 1955, Indonesia menggelar [[Pemilihan umum Konstituante Republik Indonesia 1955|pemilihan umum]] untuk memilih anggota [[Konstituante]], yaitu lembaga yang bertugas merumuskan konstitusi baru. Piagam Jakarta merupakanmenjadi topik yang penting bagi anggota-anggota lembaga ini. Secara keseluruhan, Konstituante terdiri dari 514 anggota, dengan 230 dari mereka (44,8%) berasal dari blok Islam, sementara kebanyakan anggota lainnya merupakan bagian dari blok kebangsaan.{{sfn|Madinier|2012|p=319}} Blok Islam, yang secara keseluruhan terdiri dari delapan partai (yaitu Nahdlatul Ulama, Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, [[Persatuan Tarbiyah Islamiyah]], dan empat [[partai gurem]] lainnya), berpendapat bahwa penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah suatu kesalahan yang hanya dibiarkan oleh golongan Islam di PPKI akibat situasi genting pada saat itu dan juga karena Soekarno telah berjanji bahwa majelis yang dipilih rakyat akan menyelesaikan masalah ini kelak. Abdoel Kahar Moezakir, yang pada saat itu telah bergabung dengan Partai Masyumi, menganggap penghapusan tujuh kata sebagai suatu "pengkhianatan" yang telah menghancurkan Pancasila itu sendiri karena asas-asas yang dianggap membawa akhlak mulia yang melahirkan Pancasila malah dihilangkan.{{sfn|Elson|2013|p=393}} Partai Masyumi (yang memiliki 112 anggota dan merupakan partai Islam terbesar di Konstituante) juga menuntut pengakuan resmi atas Piagam Jakarta.{{sfn|Madinier|2012|p=79}}
 
=== Janji pengakuan pada awal 1959 ===
Sementara anggota Konstituante tidak dapat menyepakati undang-undang dasar yang baru, Jenderal [[Abdul Haris Nasution]] menyatakan pada 13 Februari 1959 bahwa [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) "memelopori usaha" kembali ke UUD 1945.{{sfn|Anshari|1976|p=79}} Diyakini Soekarno mendukung kembalinya UUD 1945 agar ia dapat menerapkan gagasan [[demokrasi terpimpin]]nya.{{sfn|Anshari|1976|p=80}} Pada 19 Februari, [[Kabinet Djuanda]] menyetujui secara bulat "Putusan Dewan Menteri mengenai Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam Rangka Kembali ke UUD 1945". Putusan ini menyatakan bahwa UUD 1945 dapat menjamin penerapan demokrasi terpimpin. Selain itu, putusan ini juga menyatakan bahwa untuk memenuhi aspirasi golongan Islam, keberadaan Piagam Jakarta diakui. Di bagian penjelasan juga diterangkan bahwa tujuan pengembalian UUD 1945 adalah untuk memulihkan potensi nasional secara keseluruhan, termasuk dari kelompok Islam. Oleh sebab itu, pengakuan Piagam Jakarta telah ditafsirkan sebagai upaya untuk menunjukkan iktikad baik kepada para pemimpin [[Darul Islam]] di [[Jawa Barat]], [[Sulawesi Selatan]], dan [[Aceh]], serta politikus-politikus Islam lainnya yang bersimpati dengan ideologi yang diperjuangkan oleh Darul Islam. Sementara itu, untuk mengembalikan UUD 1945, Soekarno telah bersepakat dengan kabinet bahwa ia akan berpidato di hadapan Konstituante di Bandung dan mengajak mereka untuk menerima UUD 1945.{{sfn|Boland|1971|p=92}}
 
[[Berkas:Djuanda Kartawidjaja.jpg|jmpl|[[Perdana Menteri Indonesia]] [[Djuanda Kartawidjaja]] (1957–1959). Pada Maret 1959, ia menjelaskan bahwa "pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan."{{sfn|Boland|1971|p=93}}]]
Pada 3 dan 4 Maret 1959, [[Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia|Dewan Perwakilan Rakyat]] (DPR) diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada kabinet terkait dengan Putusan Dewan Menteri, dan pemerintah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara tertulis. Sejumlah perwakilan partai Islam meminta penjelasan mengenai Piagam Jakarta. [[Anwar Harjono]] dari Partai Masyumi bertanya apakah Piagam Jakarta akan memiliki kekuatan hukum seperti halnya undang-undang dasar atau hanya diakui sebagai dokumen historis saja. Perdana Menteri [[Djuanda Kartawidjaja]] menjawab bahwa meskipun Piagam Jakarta bukan merupakan bagian dari UUD 1945, piagam tersebut tetap menjadi sebuah dokumen historis yang sangat penting dalam perjuangan bangsa Indonesia dan perumusan Pembukaan UUD 1945. [[Achmad Sjaichu]] dari Nahdhlatul Ulama juga bertanya "apakah pengakuan Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai dokumen historis saja ataukah mempunyai akibat hukum, yaitu perkataan 'Ketuhanan' dalam Mukaddimah UUD 1945 berarti 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’atnya', sehingga atas dasar itu bisa diciptakan perundang-undangan yang bisa disesuaikan dengan syari’at Islam bagi pemeluknya?" Djuanda menjawab bahwa "pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi Pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap UUD 1945. Jadi pengaruh termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan."{{sfn|Boland|1971|p=93}}
 
Kemudian, pada 22 April 1959, Soekarno menyampaikan pidatonya di hadapan Konstituante di Bandung. Dalam pidato tersebut, ia memintamenyerukan pengembalianagar UUD 1945 diberlakukan kembali. Terkait dengan Piagam Jakarta, ia juga menjelaskan bahwa piagam tersebut dijiwai oleh "amanat penderitaan rakyat". Menurutnya, "Piagam Jakarta ini memuat lengkap amanat penderitaan rakyat yang saya sebutkan tadi yaitu: satu masyarakat yang adil dan makmur, satu negara kesatuan yang berbentuk republik, [[Sistem satu kamar|satu badan permusyawaratan perwakilan rakyat]]." Ia juga menyatakan bahwa Piagam Jakarta adalah suatu "dokumen historis" yang telah "mempelopori dan mempengaruhi" UUD 1945. Atas dasar itu, Soekarno menyatakan akan menyampaikan naskah Piagam Jakarta secara resmi di hadapan Konstituante.{{sfn|Anshari|1976|p=83}} Ia lalu mengumumkan bahwa jika Konstituante menyetujui ketentuan-ketentuan ini, ketentuan-ketentuan tersebut akan diberi sebutan "[[Piagam Bandung]]", dan piagam ini akan secara resmi mengakui Piagam Jakarta sebagai suatu dokumen historis.{{sfn|Anshari|1976|p=84}}
 
=== Perdebatan mengenai Piagam Jakarta di Konstituante ===