PLTA Tonsealama: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: kemungkinan menambah konten tanpa referensi atau referensi keliru Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 4:
Dibangun pada zaman penjajahan Belanda tahun 1912.
PLTA Tonsea Lama merupakan bangunan sejarah peninggalan Bangsa Belanda dan juga Bangsa Jepang,
Bangunan ini berdiri diatas tanah rampasan perang Pemerintah Kolonial Belanda dari warga pribumi di Desa Tonsea Lama, yaitu diatas tanah hak milik pasini (adat/Minahasa) mendiang almarhum Nelwan Hendrik (1863-1949) dan isternya Pakasi Ketsia yang pada waktu itu sebagai warga pribumi; tak bisa apa-apa mengambil alih tanah miliknnya (Dikutip dari catatan Keluarga Nelwan Pakasi Kandow di Tonsea Lama oleh Felix Mantiri dan Sefry Nelwan).
Fasilitas ini dioperasikan sejak zaman penjajahan Belanda ini memiliki lingkungan yang asri. Selain sebagai salah satu sumber produksi listrik bagi kebutuhan masyarakat pelanggan PLN, di PLTA ini juga bagi setiap mereka yang berkunjung seakan diajak untuk menelusuri jejak peninggalan sejarah peninggalan Bangsa Belanda dan juga Bangsa Jepang. Mulai dari bendungan air, terowongan, turbin, hingga generator yang telah berusia puluhan tahun.▼
▲Fasilitas PLTA ini dioperasikan sejak zaman penjajahan Belanda ini memiliki lingkungan yang asri. Selain sebagai salah satu sumber produksi listrik bagi kebutuhan masyarakat pelanggan PLN, di PLTA ini juga bagi setiap mereka yang berkunjung seakan diajak untuk menelusuri jejak peninggalan sejarah peninggalan Bangsa Belanda dan juga Bangsa Jepang. Mulai dari bendungan air, terowongan, turbin, hingga generator yang telah berusia puluhan tahun.
Meski telah lama berdiri serta melewati berbagai masa pemerintahan, PLTA berkapasitas 40 MW ini masih terus beroperasi dan menerangi ribuan rumah di Sulawesi Utara. PLTA ini dioperasikan oleh PLN Sektor Pembangkitan Minahasa, PLN Wilayah Suluttenggo.
|