Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>")
Baris 191:
Praktik perbudakan modern di industri perikanan Thailand menarik perhatian komunitas internasional. Hal ini dibuktikan dengan pemberitaan media internasional seperti The Guardian pada tahun 2014 dan Associated Press pada tahun 2015 yang membahas keterkaitan praktik perbudakan di Thailand dengan rantai pasokan produk olahan ''seafood'' di pasar Amerika Serikat dan Eropa.<ref>Hodal, Kate, Kelly, Chris, & Lawrence, Felicity. (June 10, 2014) ''Revealed: Asian Slave Labour Producing Prawns for Supermarkets in US, UK''. The Guardian, diakses  dari <nowiki>https://www</nowiki>. theguardian.com/global-development/2014/jun/10/supermarket-prawns- thailand-produced-slave-labour.</ref> <ref>Associated Press. (2015). ''Myanmar Fishermen Goes Home after 22 Years as a Slave. ''Diakses pada    30 Juli 2021, dari  https:// www.ap.org/explore/seafood-from-slaves/myanmar-fisherman-goes-home- after-22-years-as-a-slave.html</ref> Kasus ini juga mendapat perhatian dari NGO Internasional seperti Environmental Justice Foundation (EJF) dengan judul publikasi ''“Sold to the Sea”''<ref>EJF (2013). ''Sold to the Sea: Human Trafficking in Thailand’s Fishing Industry.'' London: EJF.</ref> dan dari [[Human Rights Watch]] (HRW) yang berjudul ''“Hidden Chain”.''<ref name=":21">Human Rights Watch. (2018). ''Hidden Chains: Rights Abuses and Forced Labor in Thailand’s Fishing Industr''y. New York: Human Rights Watch</ref> Para penyintas yang berhasil diwawancarai menuturkan serangkaian ''labor abuse'' yang mereka alami. Sebagai contoh, HRW menarasikan cerita penyintas korban perbudakan Thailand dengan sebagai berikut:<blockquote>“Pada tahun 2011, Saw Win (57) bermigrasi ke Thailand dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga dapat menghidupi keluarganya di Myanmar. Dia menuturkan kepada Human Right Watch, bahwa dirinya berangkat ke Thailand melalui perantara yang ia temui di Kota Kawthaung yang berada di bagian selatan Myanmar. Perantara tersebut mengatakan bahwa Saw Win akan mendapatkan pekerjaan di sektor pengolahan makanan dengan gaji 4,5 USD setiap harinya. Namun setelah Saw Win menginjakan kaki di perbatasan Thailand, dirinya langsung diangkut dengan truk bersama raturan pekerja migran tanpa dokumen lainnya (''undocumented migrant workers).'' Truk yang dinaiki Saw Win kemudian berhenti di kota pelabuhan Kantang yang terletak di bagian pantai barat daya Thailand. Setelahnya, Saw Win beserta 124 pekerja migran lainnya dikurung dalam sebuah ruangan sempit, dan keesokan harinya mereka dipaksa bekerja di kapal penangkap ikan selama 3 bulan lamanya tanpa upah. Kemudian Saw Win dijual lagi oleh perantaranya ke kapal penangkap ikan yang bermarkas di Songkhla, bagian tenggara Thailand. Disana, Saw Win beserta pekerja migran lainnya mendapatkan perlakuaan kasar dari Kapten kapal penangkap ikan Thailand yang secara teratur memukuli kru dengan batang besi dan mengancam mereka dengan todongan senjata. Selain kekerasan seacra psikis, kubutuhan makan para buruh migran juga tidak tepenuhi, Saw Win menuturkan banyak rekan kerjanya yang meninggal karena kekurangan nutrisi, sehingga banyak yang terkena penyakit serius dan kemudian meninggal. Saw Win berhasil melarikan diri dengan terjun ke laut, kemudian diselamatkan oleh kapal berbendera Malaysia."<ref>Human Right Watch. (2018). ''Joint Civil Society Statement concerning Ratification of the Work in Fishing Convention, 2007 (No. 188).'' New York: Human Right Watch.</ref></blockquote>Menurut Human Rights Watch jumlah pekerja migran di Thailand belum dapat diestimasikan dengan tepat, terlebih lagi jumlah pekerja migran di sektor-sektor perikanan. Human Right Watch (HRW) sendiri mengestimasi setidaknya terdapat 222.000 pekerja migran bekerja di industri perikanan Thailand.<ref name=":21" /> Melissa Marschke & Peter Vandergeest (2016) mendukung pernyataan dari HRW yang mengungkapkan adanya kesulitan dalam memperkirakan secara akurat jumlah pekerja di kapal penangkap ikan Thailand.<ref>Marschke, M., & Vandergeest, P. (2016). Slavery scandals: Unpacking labour challenges and policy responses within the off-shore fisheries sector. ''Marine Policy'', 68, 39–46. <nowiki>https://doi.org/10.1016/j.marpol.2016.02.009</nowiki></ref> Pada tahun 2012, survei yang dilakukan oleh National Fisheries Association of Thailand (NFAT) memperkirakan jumlah total pekerja di sektor perikanan mencapai 143.000 pekerja migran di 9500 kapal.<ref>ILO (2013). ''Employment Practices and Working Conditions in Thailand's Fishing.'' Bangkok: International Labour Organization.</ref> Survei ini dianggap tidak merepresentasikan keadaan yang sebenarnya sebab mengecualikan pekerja yang bukan anggota dari NFAT. Sedangkan Environmenttal Justice Foundation pada tahun 2013 memperkirakan sektor indutri perikanan di Thailand mempekerjakan lebih dari 650.000 orang, 200.000 diantaranya merupakan pekerja migran.<ref>EJF. (2013). ''Human Trafficking in Thailand ’ s Fishing Industry.'' London: EJF.</ref>
 
Survei penelitian ang diterbitkan oleh Jurnal ''Marine Policy'' dengan judul ''Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand'' pada tahun 2018 menunjukkan prakitk kerja paksa berdasarkan indikator yang dikeluarkan oleh ILO SAP-FL yang disajikan dalam tabel di bawah ini.<ref name=":22">Stringer, C., Chantavanich, S., Laodumrongchai, S., & Stringer, C. (2018). Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fi shers in Thailand. ''Marine Policy'', 68(June 2016), 1–7. <nowiki>https://doi.org/10.1016/j.marpol.2015.12.015</nowiki></ref>.
{| class="wikitable"
|+Tabel Praktik Kerja Paksa di Industri Perikanan Thailand