Perbudakan modern: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>")
k ~ref
Baris 24:
 
== Definisi Perbudakan Modern ==
Manifestasi perbudakan telah berkembang mengikuti perkembangan zaman. Lahirnya istilah baru berupa perbudakan modern mencerminkan adanya transformasi bentuk atas perbudakan tradisional.<ref>{{Cite web|last=Nations|first=United|title=International Day for the Abolition of Slavery|url=https://www.un.org/en/observances/slavery-abolition-day|website=United Nations|language=en|access-date=2021-07-28}}</ref> Perbudakan tradisional erat kaitannya dengan peristiwa Perdagangan Budak Trans-Atlantik ([[Bahasa Inggris]]: ''Trans-Atlantic Slave Trade).'' Perbudakan Tradisional ([[Bahasa Inggris]]: ''[[:en:Slavery|Chattel slavery]])'' merujuk pada kondisi perbudakan di mana seseorang dimiliki layaknya sebuah barang, <ref>{{Cite web|title=Definition of CHATTEL SLAVERY|url=https://www.merriam-webster.com/dictionary/chattel+slavery|website=www.merriam-webster.com|language=en|access-date=2021-07-28}}</ref> seperti ternak atau perabotan, dan dapat dijual atau dipindahtangankan kepada orang lain.<ref name=":0">{{Cite web|last=David Weissbrodt and Anti-Slavery International|date=2002|title=Abolishing Slavery and its Contemporary Forms|url=https://www.ohchr.org/Documents/Publications/slaveryen.pdf|website=Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights|access-date=28 Juli 2021}}</ref> Praktik perbudakan tradisional telah jarang ditemui pada abad ke-21.<ref name=":0" />
 
Dalam konteks modern, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kondisi perbudakan yang dialami oleh individu, diantarannya: (i) tingkat pembatasan hak inheren individu atas kebebasan bergerak ([[Bahasa Inggris]]: ''[[:en:Freedom_of_movement|freedom of movement]]''); (ii) tingkat kendali atas barang-barang pribadi individu; dan (iii) adanya persetujuan afirmatif dan pemahaman penuh tentang sifat hubungan antara para pihak.<ref name=":0" /> Belum ada definisi perbudakan modern yang diakui secara internasional, istilah ini digunakan untuk mencakup berbagai praktik eksploitatif termasuk perdagangan manusia, perbudakan, kerja paksa, pekerja anak, pengambilan organ tubuh, dan praktik serupa perbudakan.<ref name=":1">{{Cite web|last=Parliament of Australia|title=Defining and measuring modern slavery|url=https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Joint/Foreign_Affairs_Defence_and_Trade/ModernSlavery/Final_report/section?id=committees/reportjnt/024102/25035|access-date=28 Juli 2021}}</ref>Penggunaan istilah perbudakan modern sering digunakan oleh berbagai aktor-aktor internasional, termasuk, antara lain, [[Organisasi internasional|organisasi internasiona]]<nowiki/>l, [[Negara]], entitas [[Sui generis|s''ui generis'']], seperti [[Takhta Suci|Tahta Suc]]<nowiki/>i, [[organisasi non-pemerintah]] (LSM), kelompok dan jaringan informal, serta [[cendekiawan]] dan [[media massa]].<ref>{{Cite web|last=Policy Department for External Relations, Directorate General for External Policies of the Union|date=Desember 2018|title=Contemporary forms
Baris 59:
 
==== Perdagangan Manusia ====
Pada Artikel 3 Klausa huruf (a) dalam ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children'' atau Protokol Palermo Tahun 2000 mendefinisikan perdagangan manusia sebagai:<blockquote>''"'' perekrutan, pengantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan menggunakan ancaman atau kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, penipuan, pembohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau dengan memberikan atau menerima bayaran atau keuntungan untuk mendapatkan kewenangan dari seseorang untuk mendapatkan kuasa penuh atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. <ref name=":13">{{Cite journal|last=Syamsuddin|first=Syamsuddin|date=2020-04-24|title=BENTUK-BENTUK PERDAGANGAN MANUSIA DAN MASALAH PSIKOSOSIAL KORBAN|url=https://ejournal.kemsos.go.id/index.php/Sosioinforma/article/view/1928|journal=Sosio Informa|language=id|volume=6|issue=1|doi=10.33007/inf.v6i1.1928|issn=2502-7913}}</ref></blockquote>Dalam klausa huruf (c) dalam Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak (Bahasa Inggris: ''Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, specially Women and Children)'' disebutkan bahwa segala bentuk eksploitasi yang melibatkan anak-anak dapat dikategorikan sebagai bentuk perdagangan manusia, sekalipun tidak digunakan cara-cara seperti kekerasan, penipuan, kebohongan, dan lain-lain.<ref name=":13" /> Terjemahan dari Klausa huruf (c) yang dimaksud adalah sebagai berikut:<blockquote>“Perekrutan, penghantaran, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak-anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai ‘perdagangan orang’ bahkan jika ini tidak melibatkan cara-cara yang ditetapkan dalam klausa (a) pasal ini; ‘anak-anak’ artinya mereka yang berusia dibawah delapan belas tahun”.<ref name=":13" /></blockquote>Berdasarkan tujuan pengirimannya, perdagangan manusia dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu perdagangan dalam negeri (Bahasa Inggris: ''internal-trafficking'') dan perdagangan manusia antarnegara/lintas batas (Bahasa Inggris: ''international trafficking''). Perdagangan internal biasanya berlangsung dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar namun masih berada dalams satu wilayah negara yang sama. Sedangkan perdagangan antarnegara adalah perdagangan manusia dari satu negara ke negara yang lain. Perdagangan manusia antarnegara pada umumnya berkaitan dengan masalah keimigrasian. Orang masuk dari dan ke satu negera biasanya melewati jalur resmi, akan tetapi perdagangan manusia antarnegara melalui jalur tidak resmi.<ref name=":13" />
 
Pada tahun 2018, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menegaskan bahwa sekitar 40 juta orang menjadi korban Perdagangan Manusia. Sekitar 90 persen dari semua kasus yang terdeteksi adalah untuk eksploitasi seksual atau tujuan kerja paksa. Sisa 10 persen kasus sering disatukan dalam kategori “bentuk lain”—termasuk perdagangan organ ilegal.<ref name=":20">{{Cite journal|last=Gonzalez|first=Juan|last2=Garijo|first2=Ignacio|last3=Sanchez|first3=Alfonso|date=2020-5|title=Organ Trafficking and Migration: A Bibliometric Analysis of an Untold Story|url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7246946/|journal=International Journal of Environmental Research and Public Health|volume=17|issue=9|doi=10.3390/ijerph17093204|issn=1661-7827|pmc=7246946|pmid=32380680}}</ref> Karenanya, berdasarkan bentuk eksploitasi secara ekonomi, [[Interpol]] membagi perdagangan manusia menjadi kategori berikut:
Baris 189:
 
== Kasus Perbudakan Modern di Industri Perikanan Thailand ==
Praktik perbudakan modern di industri perikanan Thailand menarik perhatian komunitas internasional. Hal ini dibuktikan dengan pemberitaan media internasional seperti The Guardian pada tahun 2014 dan Associated Press pada tahun 2015 yang membahas keterkaitan praktik perbudakan di Thailand dengan rantai pasokan produk olahan ''seafood'' di pasar Amerika Serikat dan Eropa.<ref>Hodal, Kate, Kelly, Chris, & Lawrence, Felicity. (June 10, 2014) ''Revealed: Asian Slave Labour Producing Prawns for Supermarkets in US, UK''. The Guardian, diakses  dari <nowiki>https://www</nowiki>. theguardian.com/global-development/2014/jun/10/supermarket-prawns- thailand-produced-slave-labour.</ref> <ref>Associated Press. (2015). ''Myanmar Fishermen Goes Home after 22 Years as a Slave. ''Diakses pada    30 Juli 2021, dari  https:// www.ap.org/explore/seafood-from-slaves/myanmar-fisherman-goes-home- after-22-years-as-a-slave.html</ref> Kasus ini juga mendapat perhatian dari NGO Internasional seperti Environmental Justice Foundation (EJF) dengan judul publikasi ''“Sold to the Sea”''<ref>EJF (2013). ''Sold to the Sea: Human Trafficking in Thailand’s Fishing Industry.'' London: EJF.</ref> dan dari [[Human Rights Watch]] (HRW) yang berjudul ''“Hidden Chain”.''<ref name=":21">Human Rights Watch. (2018). ''Hidden Chains: Rights Abuses and Forced Labor in Thailand’s Fishing Industr''y. New York: Human Rights Watch</ref> Para penyintas yang berhasil diwawancarai menuturkan serangkaian ''labor abuse'' yang mereka alami. Sebagai contoh, HRW menarasikan cerita penyintas korban perbudakan Thailand dengan sebagai berikut:<blockquote>“Pada tahun 2011, Saw Win (57) bermigrasi ke Thailand dengan harapan untuk mendapatkan pekerjaan sehingga dapat menghidupi keluarganya di Myanmar. Dia menuturkan kepada Human Right Watch, bahwa dirinya berangkat ke Thailand melalui perantara yang ia temui di Kota Kawthaung yang berada di bagian selatan Myanmar. Perantara tersebut mengatakan bahwa Saw Win akan mendapatkan pekerjaan di sektor pengolahan makanan dengan gaji 4,5 USD setiap harinya. Namun setelah Saw Win menginjakan kaki di perbatasan Thailand, dirinya langsung diangkut dengan truk bersama raturan pekerja migran tanpa dokumen lainnya (''undocumented migrant workers).'' Truk yang dinaiki Saw Win kemudian berhenti di kota pelabuhan Kantang yang terletak di bagian pantai barat daya Thailand. Setelahnya, Saw Win beserta 124 pekerja migran lainnya dikurung dalam sebuah ruangan sempit, dan keesokan harinya mereka dipaksa bekerja di kapal penangkap ikan selama 3 bulan lamanya tanpa upah. Kemudian Saw Win dijual lagi oleh perantaranya ke kapal penangkap ikan yang bermarkas di Songkhla, bagian tenggara Thailand. Disana, Saw Win beserta pekerja migran lainnya mendapatkan perlakuaan kasar dari Kapten kapal penangkap ikan Thailand yang secara teratur memukuli kru dengan batang besi dan mengancam mereka dengan todongan senjata. Selain kekerasan seacra psikis, kubutuhan makan para buruh migran juga tidak tepenuhi, Saw Win menuturkan banyak rekan kerjanya yang meninggal karena kekurangan nutrisi, sehingga banyak yang terkena penyakit serius dan kemudian meninggal. Saw Win berhasil melarikan diri dengan terjun ke laut, kemudian diselamatkan oleh kapal berbendera Malaysia."<ref>Human Right Watch. (2018). ''Joint Civil Society Statement concerning Ratification of the Work in Fishing Convention, 2007 (No. 188).'' New York: Human Right Watch.</ref></blockquote>Menurut Human Rights Watch jumlah pekerja migran di Thailand belum dapat diestimasikan dengan tepat, terlebih lagi jumlah pekerja migran di sektor-sektor perikanan. Human Right Watch (HRW) sendiri mengestimasi setidaknya terdapat 222.000 pekerja migran bekerja di industri perikanan Thailand.<ref name=":21" /> Melissa Marschke & Peter Vandergeest (2016) mendukung pernyataan dari HRW yang mengungkapkan adanya kesulitan dalam memperkirakan secara akurat jumlah pekerja di kapal penangkap ikan Thailand.<ref>Marschke, M., & Vandergeest, P. (2016). Slavery scandals: Unpacking labour challenges and policy responses within the off-shore fisheries sector. ''Marine Policy'', 68, 39–46. <nowiki>https://doi.org/10.1016/j.marpol.2016.02.009</nowiki></ref> Pada tahun 2012, survei yang dilakukan oleh National Fisheries Association of Thailand (NFAT) memperkirakan jumlah total pekerja di sektor perikanan mencapai 143.000 pekerja migran di 9500 kapal.<ref>ILO (2013). ''Employment Practices and Working Conditions in Thailand's Fishing.'' Bangkok: International Labour Organization.</ref> Survei ini dianggap tidak merepresentasikan keadaan yang sebenarnya sebab mengecualikan pekerja yang bukan anggota dari NFAT. Sedangkan Environmenttal Justice Foundation pada tahun 2013 memperkirakan sektor indutri perikanan di Thailand mempekerjakan lebih dari 650.000 orang, 200.000 diantaranya merupakan pekerja migran.<ref>EJF. (2013). ''Human Trafficking in Thailand ’ s Fishing Industry.'' London: EJF.</ref>
 
Survei penelitian ang diterbitkan oleh Jurnal ''Marine Policy'' dengan judul ''Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand'' pada tahun 2018 menunjukkan prakitk kerja paksa berdasarkan indikator yang dikeluarkan oleh ILO SAP-FL yang disajikan dalam tabel di bawah ini.<ref name=":22">Stringer, C., Chantavanich, S., Laodumrongchai, S., & Stringer, C. (2018). Under the shadow : Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea fi shers in Thailand. ''Marine Policy'', 68(June 2016), 1–7. <nowiki>https://doi.org/10.1016/j.marpol.2015.12.015</nowiki></ref>