Perang Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Dirga udara (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 52:
Setelah pembukaan [[Terusan Suez]] pada tahun 1869 dan perubahan rute pelayaran, Inggris dan Belanda menandatangani [[Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1870–71|Perjanjian Inggris-Belanda di Sumatra]] yang mengakhiri klaim teritorial Inggris atas Sumatra , memberikan kebebasan kepada Belanda dalam lingkup pengaruhnya di [[Asia Tenggara Maritim]] sambil memberikan mereka tanggung jawab untuk memberantas pembajakan.<ref name="Ibrahim132"/> Sebagai imbalannya, Inggris memperoleh kendali atas [[Emas Belanda Pantai]] di Afrika dan persamaan hak komersial di [[Kesultanan Siak Sri Indrapura|Siak]].<ref name="Ricklefs144">Ricklefs (2001), hal. 144</ref> Ambisi teritorial Belanda di Aceh dipicu oleh keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya, terutama [[lada hitam]] dan minyak bumi, serta menghilangkan negara pribumi yang independen. Belanda juga berusaha untuk mengusir kekuatan kolonial saingannya yang mempunyai ambisi di [[Asia Tenggara]], khususnya Inggris dan Perancis.<ref name="Vickers10">Vickers (2005), hal. 10</ref>
 
==Operasi Periode tempur==
[[Berkas:Samalanga_1878.jpg|jmpl|250px|kiri|Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877. Panglima besar Belanda, Mayor Jenderal [[:nl:Karel van der Heijden|Karel van der Heijden]] kembali ke pasukannya setelah mendapatkan perawatan pada matanya yang tertembak]]
 
===Strategi===
[[Perang Aceh Pertama]] (1873-1874) dipimpin oleh [[Panglima Polim]] dan [[Sultan Mahmud Syah]] melawan Belanda yang dipimpin [[Johan Harmen Rudolf Kohler|Köhler]]. [[J.H. Kohler|Köhler]] dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, [[di mana]] Köhler sendiri tewas pada tanggal [[14 April]] [[1873]]. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali [[Masjid Raya Baiturrahman]], yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, [[Lambhuk, Ulee Kareng, Banda Aceh|Lambhuk]], Lampu'uk, [[Peukan Bada, Aceh Besar|Peukan Bada]], sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari [[Teunom, Aceh Jaya|Teunom]], Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Belanda mencoba beberapa strategi selama perang; satu serangan cepat pada tahun 1873 gagal, yang kemudian menyebabkan mereka melakukan blokade laut, upaya rekonsiliasi, konsentrasi dalam barisan benteng, dan akhirnya penahanan pasif. Semua ini tidak banyak membuahkan hasil. Biaya operasinya mencapai 15 hingga 20 juta gulden per tahun, yang hampir membuat pemerintah kolonial bangkrut.<ref>E.H. Kossmann, ''The Low Countries 1780–1940'' (1978) pp 400–401</ref>
 
===Serangan Belanda pertama===
[[Perang Aceh Kedua]] (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal [[Jan van Swieten]]. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, [[26 Januari]] [[1874]], dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada [[31 Januari]] 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari [[Kerajaan Belanda]]. Ketika Sultan Machmud Syah wafat [[26 Januari]] [[1874]], digantikan oleh [[Sultan Muhammad Daud Syah|Tuanku Muhammad Dawood]] yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid [[Indrapuri, Aceh Besar|Indrapuri]]. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, [[di mana]] pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, [[Indrapuri, Aceh Besar|Indrapuri]], dan tempat-tempat lain.
{{Main|Ekspedisi Aceh Pertama}}
Pada tahun 1873, negosiasi terjadi di Singapura antara perwakilan Kesultanan Aceh dan Konsul Amerika setempat mengenai potensi perjanjian bilateral.<ref name="Ricklefs144"/> Belanda melihat hal ini sebagai pelanggaran terhadap perjanjian sebelumnya dengan Inggris pada tahun 1871 dan menggunakan ini sebagai kesempatan untuk mencaplok Aceh secara militer.<ref name="Ibrahim133"/> Ekspedisi di bawah pimpinan Mayor Jenderal [[Johan Harmen Rudolf Köhler]] diutus pada tanggal 26 Maret 1873, yang membombardir ibu kota [[Banda Aceh]] dan mampu menduduki sebagian besar wilayah pesisir pada bulan April.<ref name="Ricklefs144"/> Itu niat Belanda untuk menyerang dan merebut istana Sultan, yang juga akan berujung pada pendudukan seluruh negeri. Sultan meminta dan mungkin menerima bantuan militer dari [[Italia]] dan Inggris di Singapura. Bagaimanapun, tentara Aceh dengan cepat dimodernisasi dan diperbesar dengan jumlah berkisar antara 10.000 hingga 100.000.<ref name="Ricklefs144"/> Karena meremehkan kemampuan militer orang Aceh, Belanda membuat beberapa kesalahan taktis dan mengalami kerugian termasuk kematian Köhler dan 80 tentara.<ref name="Ricklefs144"/> Kekalahan ini menggerogoti moral dan gengsi Belanda.<ref name="Ibrahim132"/>
 
Setelah memutuskan mundur, Belanda memberlakukan blokade laut terhadap Aceh.<ref>Fink (2023), p. 484.</ref><ref>Raven (1988), p. 85.</ref> Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Aceh, Sultan Mahmud meminta bantuan langsung kepada negara-negara Barat dan Turki, namun tidak membuahkan hasil. Meskipun Konsul Amerika bersimpati, pemerintah Amerika tetap netral. Karena lemahnya posisinya di kancah politik internasional, Kesultanan Utsmaniyah tidak berdaya dan Inggris menolak campur tangan karena hubungannya dengan Belanda. Hanya Perancis yang bersedia menanggapi permohonan Mahmud.<ref name="Ricklefs145">Ricklefs (1993), p. 145</ref>
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang ''[[Fisabilillah|fi sabilillah]]''. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam [[perang gerilya]] ini pasukan Aceh di bawah [[Teuku Umar]] bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun [[1899]] ketika terjadi [[Perang Aceh (1896-1901)|serangan mendadak]] dari pihak Van der Dussen di [[Meulaboh]], Teuku Umar gugur. Tetapi [[Cut Nyak Dhien]] istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
 
===Serangan Belanda kedua===
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.<ref>{{Cite web|url=https://www.militairespectator.nl/thema/geschiedenis-operaties/artikel/selling-aceh-war|title=Selling the Aceh War|last=Frans|date=2019-04-24|website=www.militairespectator.nl|language=nl|access-date=2020-06-17}}</ref>
{{Main|Ekspedisi Aceh Kedua}}
 
[[Berkas:The Dutch War In Sumatra- Malay Soldiers Under The Dutch.jpg|thumb|Tentara Melayu di bawah komando Belanda di Sumatera.]]
1910-1915 akhir dari perang besar, akan tetapi perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlanjut hingga 1942 di beberapa tempat yang dilakukan oleh sekelompok pejuang.
Pada bulan November 1873, ekspedisi kedua yang terdiri dari 13.000 tentara dipimpin oleh Jenderal [[Jan van Swieten]] dikirim ke Aceh.<ref name="Ricklefs185-88"/> Invasi tersebut bertepatan dengan wabah [[kolera]] yang menewaskan ribuan orang di kedua sisi.<ref name="Ricklefs145"/> Pada bulan Januari 1874, kondisi yang memburuk memaksa [[Alauddin Mahmud Syah II|Sultan Mahmud Syah]] dan para pengikutnya meninggalkan Banda Aceh dan mundur ke pedalaman. Sementara itu, pasukan Belanda menduduki ibu kota dan merebut “dalam” (istana sultan) yang secara simbolis penting, membuat Belanda percaya bahwa mereka telah menang. Penjajah Belanda kemudian membubarkan Kesultanan Aceh dan mendeklarasikan Aceh sebagai bagian dari wilayah Hindia Belanda.<ref name="Ricklefs145"/>
 
Sepeninggal Mahmud karena kolera, masyarakat Aceh memproklamasikan cucu muda [[Alauddin Ibrahim Mansur Syah]], bernama Tuanku Muhammad Daud, sebagai [[Alauddin Muhammad Da'ud Syah II]] (memerintah 1874–1903) dan meneruskan perjuangannya di wilayah perbukitan dan hutan selama sepuluh tahun, dengan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.<ref name="Ricklefs145"/> Sekitar tahun 1880 strategi Belanda berubah, dan alih-alih melanjutkan perang, mereka kini berkonsentrasi mempertahankan wilayah yang sudah mereka kuasai, yang sebagian besar terbatas pada ibu kota ([[Banda Aceh]] modern),<ref name="Ibrahim132"/> dan kota [[pelabuhan]] [[Ulee Lheue]]. Blokade laut Belanda berhasil memaksa ''uleebelang'' atau pemimpin sekuler untuk menandatangani perjanjian yang memperluas kendali Belanda di sepanjang wilayah pesisir.<ref>Fink (2023), hal. 484-486.</ref> Namun, uleebelang kemudian menggunakan pendapatan mereka yang baru diperoleh kembali untuk membiayai kekuatan perlawanan Aceh.
 
Intervensi Belanda di Aceh memakan korban jiwa ribuan tentara dan sangat menguras pengeluaran keuangan pemerintah kolonial. Pada tanggal 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan perang telah berakhir dan membentuk pemerintahan sipil, namun terus mengeluarkan banyak uang untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang didudukinya. Dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Aceh setempat, Belanda membangun kembali [[Masjid Raya Baiturrahman]] atau Masjid Agung di Banda Aceh sebagai tanda rekonsiliasi.<ref name="Ibrahim132"/>
 
== Siasat Snouck Hurgronje ==