Umpatan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 2 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8
Baris 18:
Analisis rekaman percakapan menunjukkan bahwa kurang lebih 80–90 kata yang diucapkan orang setiap hari—0,5–0,7% dari semua kata—adalah umpatan, dengan penggunaan dari 0–3,4%. Sebagai perbandingan, kata ganti orang pertama jamak (''kami'' dan ''kita'') membentuk 1% dari kalimat yang diucapkan. <ref name="Jay">{{Cite journal|last=Jay|first=T.|year=2009|title=The Utility and Ubiquity of Taboo Words|url=http://www.psychologicalscience.org/journals/pps/4_2_inpress/Jay.pdf|journal=Perspectives on Psychological Science|volume=4|issue=2|pages=153–161|doi=10.1111/j.1745-6924.2009.01115.x|pmc=|pmid=|access-date=2012-11-19}}</ref>
 
Jajak pendapat terhadap tiga negara yang dilakukan oleh Angus Reid Public Opinion pada Juli 2010 menemukan bahwa orang Kanada lebih sering mengumpat daripada orang Amerika dan Inggris ketika berbicara dengan teman-temannya, tetapi orang Inggris lebih banyak mendengar orang asing mengumpat saat bercakap daripada orang Kanada maupun Amerika.<ref name="ARPO">{{Cite web|url=http://www.angus-reid.com/wp-content/uploads/2010/08/2010.08.04_Swearing.pdf|title=Canadians Swear More Often Than Americans and British|last=Reid|first=Angus|date=2010|website=|access-date=2012-11-19|archive-date=2012-03-08|archive-url=https://web.archive.org/web/20120308033208/http://www.angus-reid.com/wp-content/uploads/2010/08/2010.08.04_Swearing.pdf|dead-url=yes}}</ref>
 
Metode penelitian didasarkan pada pengaruh psikologi, serta menggunakan mekanisme linguistik dan neurologis. "Perilaku fungsional serupa dapat diamati pada simpanse, dan dapat berkontribusi pada pemahaman kita," catat penulis ''New York Times'', Natalie Angier.<ref name="angier">{{Citation|title=Cursing is a normal function of human language, experts say|last=Angier|first=Natalie|journal=New York Times|url=http://www.sfgate.com/news/article/Cursing-is-a-normal-function-of-human-language-2567316.php|date=2005-09-25|access-date=2012-11-19}}</ref> Angier juga mencatat bahwa mengumpat adalah teknik mengelola amarah yang tersebar luas tetapi mungkin kurang dihargai; bahwa "Laki-laki pada umumnya lebih suka mengumpat daripada perempuan, sementara petinggi perguruan tinggi lebih banyak mengumpat daripada pustakawan atau stafnya."<ref name="angier" /> Mengumpat umumnya berakar dari kebiasaan mengucap cabul yang tidak disengaja atau lebih suka memberi komentar yang secara sosial dianggap tidak pantas dan merendahkan orang lain.
Baris 29:
Ahli saraf Antonio Damasio mencatat bahwa meskipun orang dapat kehilangan kata-kata karena kerusakan pada wilayah otak yang mengontrol bahasa, pasien masih dapat mengumpat.<ref>[[António Damásio|Damasio, Antonio]] (1994) [[Kesalahan Descartes: Emosi, Alasan, dan Otak Manusia|Descartes' Error: Emotion, Reason, and the Human Brain]]. {{ISBN|978-0-399-13894-2}}</ref>
 
Sekelompok peneliti dari Wright State University mempelajari alasan orang bersumpah di dunia maya dengan mengumpulkan cuitan yang dikirim melalui media sosial [[twitter]]. Mereka menemukan bahwa umpatan dikaitkan dengan emosi negatif seperti kesedihan (21,83%) dan kemarahan (16,79%) sehingga menunjukkan orang-orang di dunia maya banyak menggunakan umpatan untuk mengekspresikan kesedihan dan kemarahan mereka kepada orang lain.<ref>[http://time.com/8760/cursing-study-10-lessons-about-how-we-use-swear-words-on-twitter/ "#Cursing Study: 10 Lessons About How We Use Swear Words on Twitter"]. Retrieved 2015-01-05.</ref> <ref>[http://wiki.knoesis.org/index.php/Cursing_in_English_on_Twitter "Cursing in English on Twitter"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150105213905/http://wiki.knoesis.org/index.php/Cursing_in_English_on_Twitter |date=2015-01-05 }}. Retrieved 2015-01-05.</ref>
 
Tim peneliti interdisipliner dari [[Universitas Warsawa]] menyelidiki umpatan dwibahasa: "Mengapa lebih mudah mengumpat dalam bahasa asing?" Mereka mengungkapkan bahwa [[bilingual]] (orang-orang yang dapat berbicara dua bahasa) dapat berkata lebih kasar ketika mereka beralih ke bahasa kedua mereka, tetapi dapat menghaluskan ucapan ketika beralih ke bahasa ibu mereka, tetapi hanya signifikan dalam kasus etnofaulisme (cercaan etnis) membuat ilmuwan menyimpulkan bahwa beralih ke bahasa kedua membebaskan bilingual dari norma-norma dan tekanan sosial (baik dari dirinya sendiri maupun yang dipaksakan) seperti norma-norma politik, sehingga membuat mereka rentan mengumpat dan menyinggung perasaan orang lain. <ref name="ParadowskiGawinkowskaBilewicz2013">{{Cite journal|year=2013|title=Second language as an exemptor from sociocultural norms. Emotion-Related Language Choice revisited|journal=PLoS ONE|volume=8|issue=12|pages=e8122|doi=10.1371/journal.pone.0081225|pmc=3859501|pmid=24349044}}</ref>