Khawarij: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 110:
 
Rabi'ah diasosiasikan dengan Khawarij awal (yang oleh sumber diberi label sebagai Sufriyah), dan Sufriyah yang ada pada abad kedelapan,{{Sfn|Gaiser|2020}}{{Sfn|Wilkinson|2010|p=156}} subsuku Hanifah dari Rabi'ah sebagian besar berada di Azariqah dan Najdah.{{Sfn|Hagemann|Verkinderen|2020|pp=503–508}} Bani Tamim juga mewakili Khawarij awal, serta Azariqah. Orang selatan, terutama suku Kindah dan Azad, tertarik pada Ibadiyah yang ada pada abad kedelapan.{{Sfn|Gaiser|2020}}{{Sfn|Wilkinson|2010|p=156}} Meskipun demikian, jumlah-jumlah tersebut sebenarnya adalah mewakili individu, bukan keseluruhan suku-suku yang bergabung dengan barisan Khawarij. Individu-individu tersebut mayoritas lebih muda dan tidak jelas asal-usulnya. Sedikit dari {{transliterasi|ar|ashraf}} (bangsawan suku) yang bergabung di jajaran Khawarij.{{Sfn|Morony|1984|p=474}} Sejarawan [[Khalid Yahya Blankinship]] menganggap suku-suku tersebut memiliki kedekatan dengan ajaran Khawarij karena berakar pada status militer dan sosial mereka yang lebih rendah. Mereka dianggap oleh pemerintahan Bani Umayyah sebagai pemimpin militer yang miskin, dan sebaliknya terbelakang. Perpindahan mereka yang relatif terlambat ke Islam juga mengakibatkan mereka hanya menemukan peran militer berpangkat rendah, karena posisi yang lebih tinggi telah diisi oleh orang-orang dari suku lain.{{Sfn|Blankinship|1994|pp=55–56}} Dengan demikian, Blankinship memandang bahwa ajaran Khawarij sebagai protes politik yang mengatasnamakan semangat keagamaan, dan menganggap Khawarij tidak lebih dari pemberontak.{{Sfn|Blankinship|1994|p=294 n. 50}} Watt menyatakan bahwa orang Arab utara yang tidak memiliki pengalaman administrasi dan pemerintahan pusat, lebih rentan terseret ajaran Khawarij dibandingkan dengan orang Arab selatan. Budaya dan pemikiran kolektif orang Arab selatan dipengaruhi oleh [[Sejarah kuno Yaman|kerajaan kuno]] di [[Arab Selatan|Arabia Selatan]], di mana raja dipandang sebagai pemimpin karismatik dengan kualitas manusia setengah dewa. Akibatnya, mereka lebih tertarik pada ajaran Syiah daripada Khawarij.{{Sfn|Watt|1973|pp=43–44}}
 
==Warisan==
===Analisis sejarah===
Menurut [[Rudolf Ernst Brünnow]] (1858–1917), sejarawan akademis pertama yang mempelajari kaum Khawarij secara sistematis,{{Sfn|Hagemann|2021|p=9}} orang-orang {{transliterasi|ar|qurra}} mendukung usul arbitrase karena sebagai orang yang beriman kepada Al-Qur'an, mereka merasa berkewajiban untuk menanggapi seruan yang menjadikan Al-Qur'an sebagai hukum. Orang-orang yang menolak hasil perjanjian arbitrase tersebut adalah orang Arab Badui yang terpisah dari orang-orang {{transliterasi|ar|qurra}} yang menetap di Kufah dan Basrah pasca penaklukan Irak. Orang-orang Arab Badui menganggap diri mereka telah mengabdikan diri untuk tujuan Islam dan berpendapat bahwa arbitrase oleh Ali dan Muawiyah sebagai kezaliman yang akut. Hal itulah yang mendorong mereka untuk memisahkan diri dan kemudian melakukan pemberontakan terbuka.{{Sfn|Brünnow|1884|pp=15–17}}
 
[[Studi Oriental|orientalis]] [[Julius Wellhausen]] (1844–1918) mengkritik hipotesis Brünnow karena semua orang-orang Arab Basrah dan Kufah pada waktu itu adalah Badui, dan karena Brünnow menganggap Badui ini sebagai orang yang saleh, dia akhirnya membedakan mereka dari orang-orang {{transliterasi|ar|qurra}}. Oleh karena itu, Wellhausen berpendapat bahwa kaum yang mendorong Ali untuk melakukan arbitrase adalah kelompok yang sama dengan mereka yang menolak arbitrase. Mereka awalnya menerima arbitrase Al-Qur'an, tetapi beberapa kemudian menyadari dan mengakui bahwa hal itu adalah kesalahan, kemudian bertobat serta menuntut Ali untuk melakukan hal yang sama. Dalam pandangan Wellhausen, kaum Khawarij berasal dari orang-orang {{transliterasi|ar|qurra}}.{{Sfn|Wellhausen|1901|pp=8–11}} Dia berpendapat bahwa dogmatisme Khawarij didasarkan pada penegakan aturan Allah di Bumi yang mana prinsip tersebut diambil terlalu jauh oleh kaum Khawarij:{{Sfn|Wellhausen|1901|pp=13–17}} "Dengan memperketat prinsip-prinsip Islam, prinsip-prinsip tersebut bahkan diambil di luar Islam itu sendiri".{{Sfn |Wellhausen|1901|pp=15–16}} Mereka lebih mengutamakan hukum Allah daripada integritas umat karena menurut mereka, umat secara terbuka telah menentang perintah Tuhan. Wellhausen menolak anggapan kaum Khawarij sebagai anarkis. Hal itu karena mereka berusaha membangun komunitas saleh mereka sendiri. Namun tujuan mereka tidak praktis dan bertentangan dengan budaya.{{Sfn|Wellhausen|1901|pp=13–17}}
 
Menurut Donner, orang-orang {{transliterasi|ar|qurra}} mungkin dimotivasi oleh ketakutan bahwa arbitrase dapat mengakibatkan mereka dimintai pertanggungjawaban atas keterlibatan mereka dalam pembunuhan Utsman.{{Sfn|Donner|2010|p=162}} Menganalisis puisi Khawarij awal, Donner lebih jauh menyatakan bahwa Khawarij adalah orang beriman yang saleh yang sering memperlihatkan kesalehan mereka dalam aktivisme militan.{{Sfn|Donner|1997|p=14}} Pandangan dunia keagamaan mereka didasarkan pada nilai-nilai Al-Qur'an, dan mereka mungkin adalah "orang-orang beriman sejati" dan "perwakilan otentik dari komunitas paling awal" Muslim, bukan sekte yang berbeda seperti yang ditulis oleh sumber-sumber sejarah.{{Sfn|Donner|1997|p=16}} Militansi mereka mungkin saja disebabkan oleh pengharapan hari akhir yang akan segera terjadi, tetapi tingkat kekerasan dalam pemberontakan mereka dan kerinduan ekstrem mereka untuk mati syahid tidak dapat dijelaskan semata-mata atas dasar kepercayaan pada akhirat. Dalam pandangan Donner, perilaku mereka yang seperti itu lebih menyiratkan tingkat kedaruratan daripada hanya semata karena akhirat.{{Sfn|Donner|1997|pp=17–18}}{{Sfn|Donner|2010|p=164}}
 
Beberapa sejarawan modern juga menolak pandangan tradisional bahwa Khawarij berasal dari perang Siffin sebagai protes militan terhadap arbitrase tanpa alasan yang mendasar sebelumnya.{{Sfn|Robinson|2000|p=111}}{{Sfn|Hagemann|2021|pp= 10–11, 13}} Menurut Crone, kisah sengketa arbitrase kurang memadai dan mungkin saja ada lebih banyak perselisihan antara Ali dengan orang-orang Khawarij daripada yang dilaporkan dalam sumber.{{Sfn|Crone|2004|p =54}} [[G. R. Hawting]] berpendapat bahwa penggunaan slogan {{transliterasi|ar|la hukma illa allah}} oleh kaum Khawarij untuk mencela arbitrase sebenarnya ditulis oleh sumber-sumber Muslim sesudah keberadaan Khawarij itu sendiri. Dalam pandangannya, kaum Khawarij awalnya menganut slogan tersebut di tengah perselisihan agama di kalangan umat Islam atas otoritas kitab suci untuk menolak otoritas {{transliterasi|ar|sunnah}} dan hukum lisan demi Al-Qur'an.{{Sfn|Hawting|1978|p=461}}
 
Sejarawan M. A. Shaban dan [[Martin Hinds]] menganggap faktor sosial ekonomi sebagai akar dari pemberontakan Khawarij.{{Sfn|Hagemann|2021|pp=10–11}} Menolak anggapan bahwa orang-orang {{transliterasi|ar|qurra}} adalah para pembaca Al-Qur'an, Shaban berpendapat bahwa mereka sebenarnya penduduk desa yang telah memperoleh status di Irak selama kekhalifahan Umar atas kesetiaan mereka kepada Khalifah selama [[Perang Riddah]]. Mereka tidak puas dengan kebijakan ekonomi Utsman{{Efn|name=RepFN}} dan melihat kekhalifahan Ali sebagai sarana untuk memulihkan status mereka. Ketika Ali setuju untuk berbicara dengan Muawiyah, mereka merasa status mereka terancam dan akibatnya memberontak. Menurut Shaban, peran utama dalam memaksa Ali untuk menerima arbitrase tidak dimainkan oleh orang-orang {{transliterasi|ar|qurra}} tetapi oleh para kepala suku, karena para kepala suku tersebut mendapat keuntungan dari kebijakan Utsman. Mereka bukanlah pendukung Ali yang antusias, dan menganggap perang yang berkelanjutan bertentangan dengan kepentingan mereka.{{Sfn|Shaban|1971|pp=50–51, 70, 75–76}} Dalam tesis Shaban, pemberontakan Khawarij setelah Perang Siffin juga memiliki asal usul ekonomi.{{Sfn|Hagemann|2021|pp=10–11}} Dalam pandangan Hinds, status {{transliterasi|ar|qurra}} didasarkan pada partisipasi mereka dalam penaklukan awal Islam di Irak dan Suriah. Mereka berharap Ali akan melanjutkan kebijakan Umar dan karenanya mendukungnya. Mereka mendukung arbitrase karena mereka menganggap itu akan mengakhiri perang, dengan Ali mempertahankan kekhalifahan dan kembali ke Madinah serta meninggalkan pemerintahan Irak di tangan penduduk setempat, termasuk mereka sendiri. Mereka mengecam arbitrase setelah menyadari bahwa Ali tidak diakui sebagai khalifah dalam dokumen tersebut, dan bahwa para arbiter dapat menggunakan penilaian mereka sendiri selain prinsip-prinsip Al-Qur'an.{{Sfn|Hinds|1971|pp=363–365}}{{Sfn|Hagemann|2021|pp=10–11}}
 
Dalam pandangan Watt, bukan alasan agama atau faktor ekonomi yang memunculkan kaum Khawarij.{{Sfn|Timani|2008|pp=57–58}} Dia berpendapat adalah bahwa ajaran Khawarij tak lebih sekadar reaksi penolakan terhadap negara terorganisir yang baru didirikan atas kebiasaan orang-orang Badui yang nomaden. Para pengembara, yang terbiasa dengan gaya hidup mandiri di padang pasir, tiba-tiba menemukan kebebasan mereka dibatasi oleh birokrasi yang kuat dari "mesin administrasi yang luas".{{Sfn|Watt|1973|pp=11, 20}} Pemberontakan mereka di perang Siffin tak lain hanyalah ekspresi penolakan terhadap kontrol negara.{{Sfn|Timani|2008|p=58}} Sejak saat itu, orang-orang Khawarij berusaha untuk menciptakan kembali struktur kesukuan pra-Islam dan gaya hidup Badui yang mereka cari legitimasinya berdasarkan agama.{{Sfn|Watt |1973|p=20}} Sejarawan [[Hugh N. Kennedy]] menggambarkan Khawarij sebagai orang-orang yang sangat saleh yang tidak puas dengan kesatuan antara politik dengan agama, dan merasa bahwa agama itu dieksploitasi untuk keuntungan pribadi. Dengan demikian mereka menolak baik gaya hidup masyarakat kesukuan tradisional maupun gaya hidup perkotaan yang dipaksakan oleh negara kepada rakyat dengan memindahkan mereka ke kota-kota garnisun. Gerakan tersebut merupakan upaya untuk menemukan jalan ketiga, yaitu masyarakat nomaden yang independen, egaliter, berdasarkan agama murni.{{Sfn|Kennedy|2016|p=68}} Islamis [[Chase F. Robinson]] menggambarkan orang Khawarij awal sebagai komandan tentara yang tidak puas dengan pengikut suku, dan mengadopsi ajaran Khawarij untuk menutupi perilaku premanisme mereka.{{Sfn|Robinson|2000|pp=123–124}}
 
Hagemann dan Verkinderen membedakan antara ajaran Khawarij intelektual dan ajaran Khawarij yang militan. Dalam pandangan mereka, ajaran intelektual Khawarij berkaitan dengan aturan Tuhan dan penolakan terhadap pemerintahan yang korup. Sedangkan ajaran Khawarij yang militan tidak selalu berasal dari pemikiran Khawarij intelektual. Dalam banyak kasus, ajaran Khawarij yang militan sering muncul oleh berbagai hal seperti peningkatan pajak, penguasaan negara atas sumber daya, dan diskriminasi terhadap {{transliterasi|ar|mawali}}. Mereka menjelaskan keragaman pandangan oleh sejarawan lain yang berasal dari fokus sejarawan pada satu kelompok Khawarij tertentu dengan asumsi bahwa kelompok tersebut mewakili gerakan Khawarij secara umum.{{Sfn|Hagemann|Verkinderen|2020|pp=501–502}}
 
===Kontribusi terhadap teologi Muslim===
Menurut Della Vida, terlepas dari pandangan tentang Khawarij yang populer, gerakan Khawarij tidak semata-mata ada tanpa dasar intelektual.{{Sfn|Della Vida|1978|p=1077}} Wellhausen berpendapat bahwa dogmatisme Khawarij memengaruhi perkembangan teologi Muslim arus utama, khususnya perdebatan mereka dalam kaitannya dengan iman dan amal, serta kepemimpinan yang sah.{{Sfn|Wellhausen|1901|p=17}} Dalam pandangan Della Vida, [[Muktazilah]], aliran pemikiran rasionalis pada awal Islam yang berasal pada abad kedelapan memiliki kemungkinan dipengaruhi oleh Khawarij. Pengaruh terhadap dogma arus utama bisa jadi merupakan adaptasi langsung dari beberapa gagasan Khawarij, atau bahwa pandangan Khawarij mengkonfrontasi para teolog arus utama dengan pertanyaan seputar iman.{{Sfn|Della Vida|1978|p=1077}}
 
Pada abad kedelapan dan kesembilan, Khawarij, khususnya Ibadi, mendorong para teolog berkontribusi pada perdebatan mengenai masalah [[Tauhid|kesatuan ilahi]] versus kejamakan sifat-sifat ilahi, dan [[predestinasi]] versus [[kehendak bebas]].{{Sfn|Madelung|1979|pp=127–129}} Mengenai sifat-sifat ketuhanan, orang Ibadi sependapat dengan Mu'tazilah bahwa sifat-sifat hakikat (sifat-sifat yang harus dimiliki Tuhan; mis. pengetahuan dan kekuasaan) berbeda dengan sifat-sifat perbuatan (yang ada di luar dirinya; seperti ciptaan dan ucapan),{{Sfn|Madelung|1979|pp=121, 127}} tetapi orang Ibadi juga berpendapat bahwa kehendak ilahi adalah sifat dari hakikat. Dengan demikian Tuhan berkehendak dari kekekalan, yang berarti bahwa segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya. Akibatnya, orang Ibadi menolak doktrin kehendak bebas manusia. Menurut [[Wilferd Madelung]], kemungkinan besar kelompok Ibadi adalah kelompok pertama yang memegang pandangan tentang kehendak Tuhan sebagai atribut esensi yang akhirnya diadopsi oleh para teolog Sunni. Para teolog Khawarij juga menolak [[mujassimah]] (penyerupaan Tuhan dengan makhluk), dan setuju dengan Muktazilah tentang sifat kemakhlukan Al-Quran.{{Sfn|Madelung|1979 |pp=127–129}}
 
Khawarij adalah kelompok pertama yang mendeklarasikan Muslim selain dirinya sebagai {{transliterasi|ar|kuffar}}, yang mana sebutan tersebut sebelumnya diperuntukkan bagi non-Muslim. Pengaruh ini menyebabkan transformasi konsep {{transliterasi|ar|kufur}} dalam teologi Sunni selanjutnya. Selain kafir, {{transliterasi|ar|kufur}} juga dimaknai sebagai kesesatan dan bid'ah.{{Sfn|Kenney|2006|p=34}} Dalam pandangan Watt, kaum Khawarij bersikeras pada aturan menurut Al-Qur'an dan mencegah negara Muslim awal berubah menjadi negara Arab yang murni sekuler. Umat Islam lainnya akhirnya mengadopsi pandangan ini bahwa semua kehidupan politik dan sosial umat Islam harus didasarkan pada hukum ilahi ([[Syariah]]) yang berasal dari Al-Qur'an, meskipun mereka menambahkan {{transliterasi|| ar|[[Sunnah|sunah]]}} Nabi Muhammad.{{Sfn|Watt|1985|p=12}}
 
==Catatan==