Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Quoth nevermore (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Den Mazze (bicara | kontrib)
←Membatalkan revisi 999032 oleh Quoth nevermore (Bicara)
Baris 1:
<center>
{{rapikan}}
'''TULISAN DI HALAMAN INI SEDANG DALAM PERBAIKAN DAN PENGEMBANGAN SECARA BERTAHAP. PERLU BEBERAPA WAKTU UNTUK MENYELESAIKAN. HARAP PENGGUNA/PEMBACA MAKLUM.TERIMA KASIH.'''
<!--Tulisan Anda tidak sesuai standar penulisan di Wikipedia, harap tidak menghapus tag "rapikan" sebelum Anda menulisnya dengan rapi dan sesuai gaya penulisan di Wikipedia, lihat contoh di artikel-artikel lainnya -->
</center>
'''Daerah Istimewa Yogyakarta''' termasuk salah satu provinsi tertua yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari jaman sebelum kemerdekaan yang kemudian diakui oleh [[Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia|BPUPKI]] dan [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia|PPKI]].
 
== 1749 - 1945 ==
Pada tahun [[1749]], setelah menderita sakit parah yang berkepanjangan, Raja Mataram kesembilan, Susuhunan Paku Buwono II, menandatangani sebuah perjanjian yang menyerahkan Kerajaan Mataram kepada [[Vereenigde Oostindische Compagnie|VOC]] yang diwakili oleh Gubernur Jawa. Dengan demikian Kerajaan Mataram bukan lagi negara berdaulat penuh, melainkan kerajaan protektorat dari VOC. Namun perjanjian tersebut hanya di atas kertas dan baru dilaksanakan sepenuhnya setelah kedatangan Gubernur Jenderal [[Herman Willem Daendels]] serta Gubernur Jenderal Inggris Sir [[Thomas Stamford Raffles]].
 
Dengan status protektorat itulah [[Kesultanan Yogyakarta]] (mulai [[1812]]) dan juga [[Kadipaten Paku Alaman]] (mulai [[1813]]) diberi hak oleh pemerintah penjajahan Inggris untuk memerintah daerahnya sendiri dengan pengawasan ketat dari gubermen di Buitenzorg Batavia. Keadaan ini diteruskan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang menerima kekuasaan dari Inggris pada [[1816]] dengan sebutan ''Zelfbestuurende Lanschappen''.
 
'''Daerah Istimewa Yogyakarta''' (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Negara Republik Indonesia setelah [[Jawa Timur]], yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari jaman sebelum kemerdekaan. [[Kesultanan Yogyakarta]] dan juga [[Kadipaten Paku Alaman]], sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/''Dependent state''” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari [[VOC]] , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), [[Hindia Belanda]] (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai ''Zelfbestuurende Lanschappen'' dan oleh Jepang disebut dengan ''Koti/Kooti''. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh ''The Founding Fathers'' Bangsa Indonesia yang duduk dalam [[Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia|BPUPKI]] dan [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia|PPKI]] sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara<ref name="bah">Saafrudin Bahar et. al. (ed), 1993</ref>.
Predikat sebagai ''Zelfbestuur'' bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa masalah yang berarti karena Hindia Belanda maupun Belanda sama-sama berbentuk monarki. Status ini tidak dihapus pada [[1942]] oleh Tentara Angkatan Darat XVI Jepang di Jawa, melainkan dialihkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang dan Asia Timur Raya dengan sebutan ''Kooti''. Pada tahun [[1943]] Hamengkubuwono IX Yogyakarta Koo mengajukan sebuah konsep Kemaharajaan Jawa kepada Dai Nippon di [[Jakarta]]. Dalam sidang kedua ''Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai'' 10-15 Juli 1945 disepakati bahwa kooti akan menjadi daerah yang memiliki otonomi khusus atau status istimewa.
 
==Periode I: 1945 - 1946==
Sementara itu di Yogyakarta, sejak 1942 [[Hamengku Buwono IX]] secara pelan mengambil kekuasaan yang ada di tangan ''Pepatih Dalem'' (berfungsi sebagai kepala pemerintahan sehari-hari) dengan cara memindahkan kantor Pepatih Dalem dari ''nDalem Kepatihan'' (Istana Perdana Menteri) ke Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.{{fact}} Hal ini menyebabkan pihak ''Kooti Zimukyoku'' jika ingin berhubungan dengan ''Pepatih Dalem'' harus dengan izin Sultan. Dengan demikian Hamengku Buwono IX dapat mengetahui seluruh kegiatan pemerintahan sehari-hari yang diselenggarakan oleh Pepatih Dalem bersama-sama ''Koti Zimukyoku Tyookan''. Ketika ''Pepatih Dalem'' KPHH Danurejo VIII diberhentikan dengan hormat atas permohonan sendiri pada 14 Juli 1945, Sultan Hamengku Buwono IX tidak mengangkat ''Pepatih Dalem'' untuk menggantikannya. Sultan HB IX lebih memilih untuk mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan sehari-hari yang sebelumnya ada di tangan Pepatih Dalem. Untuk membantu melaksanakan kekuasaan tersebut Sultan HB IX membentuk beberapa Departemen Pemerintahan yang disebut dengan Paniradya yang dikepalai oleh Paniradyapati. Pembaruan pemerintahan ini diumumkan pada 1 Agustus 1945.
===Pada Mulanya...===
Tanggal 18<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref>Achiel Suyanto, 2007</ref> atau 19<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref> Agustus 1945, Sultan [[Hamengku Buwono IX]] (HB IX) dan Sri Paduka [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada [[Soekarno]]-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan Penguasa [[Jepang]] ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' dan ''Jawa Saiko Sikikan'' beserta stafnya<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Pada [[19 Agustus]] [[1945]] ''Yogyakarta Kooti Hookookai'' mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.
 
===Sebuah Jalan Tengah===
== 1945 - 1946 ==
TanggalDi 18Jakarta Agustuspada 1945,[[19 Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketuaAgustus]] [[BPUPKI1945]]) dan ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' dan ''Jawa Saiko Sikikan'' beserta stafnya. Keesokannya di Jakarta, terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan ''Kooti''<ref name="bah">Saafrudin Bahar et. al. (ed), 1993</ref>. Sebenarnya kedudukan ''Kooti'' sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci.<ref>PembagianPasal 18 UUD Indonesia yang pertama yang disahkan sehari sebelumnya berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan ''hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa''. (Pasal 18 UUD 1945)</ref>. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari ''Yogyakarta Kooti'', meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh [[Soekarno]] karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada ''Kooti'', sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
 
DalamKetua sidangPanitia ituKecil BPHPPKI Puruboyo,untuk wakilPerancang dariSusunan ''Yogyakarta Kooti'', meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan otonom,Daerah dan hubunganKementerian denganNegara Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh [[Soekarno]] karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Koti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, [[Oto Iskandardinata]], mengemukakandalam sidang itu menanggapi bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitiaPanitia kecilKecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada ''beleid'' Presiden.{{fact}} Akhirnya dengan dukungan [[Mohammad Hatta]], Suroso, Suryohamijoyo, dan Supomo[[Soepomo]], kedudukan ''Kooti'' ditetapkan ''status quo'' sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empatkedua Kopenguasa Jawa.tahta [[Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Paku Alaman]]<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah ia mengetahui sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
 
===Sabda Raja===
Pada tanggal 1 September, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan pembicaraan dengan [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederlandsch Indische'' setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja
Pada tanggal [[1 September]] [[1945]], Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan [[Ki Hajar Dewantoro]] serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan {{ke wikisource|Amanat 5 September 1945}}. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam [[Republik Indonesia]]. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
 
Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederland Indie'' setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, '''Raja Kerajaan Luwu''' akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
Pada saat itu wilayah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta meliputi:
#Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
#Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
#Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
#Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
#Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
 
===Pemerintahan dan Wilayah===
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>:
#Kabupaten [[Kota Yogyakarta]] dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
#Kabupaten [[Sleman]] dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
#Kabupaten [[Bantul]] dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
#Kabupaten [[Gunung Kidul]] dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
#Kabupaten [[Kulon Progo]] dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
 
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>:
#Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
#Kabupaten [[Adikarto]] dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
 
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan daerahhanya administratifwilayah biasaadministratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950. Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja [[Komite Nasional Indonesia]] Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya HB IX dan PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat.
 
===Monarki dan Demokrasi===
Pada saat itu terdapat beberapa birokrasi pemerintahan yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (''Kooti Zimukyoku'') sebagai wakil pemerintah Pusat, Departemen Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat desa.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada [[29 Oktober]] [[1945]] dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan {{ke wikisource|Amanat 30 Oktober 1945}}) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref><ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekrit kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekrit. Selain itu dekrit tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
 
Seiring dengan berjalannya waktu<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref><ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (''Kooti Zimukyoku'') sebagai wakil pemerintah Pusat, ''Paniradya'' (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada [[16 Februari]] [[1946]] dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat ''kalurahan'' (sebutan pemerintah desa saat itu).
Sementara itu BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua raja, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah:
 
===Merancang Masa Depan===
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>:
#Kedudukan Yogyakarta
#Kekuasaan Pemerintahan
Baris 47 ⟶ 53:
#Aturan Tambahan
 
==Periode II:1946 - 1950 ==
===Sebuah Daerah Istimewa===
Sebagai realisasi keputusan sidang paripurna KNID tanggal [[24 April]] [[1946]], pada 18 Mei 1946 diumumkan Maklumat No. 18 yang mengatur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan. Maklumat ini menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya Undang-undang yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada [[18 Mei]] [[1946]] mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat {{ke wikisource|Maklumat Yogyakarta No. 18}})<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref><ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada [[24 April]] [[1946]]<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
 
Dalam maklumat ini secara resmi nama [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman)<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Tidak dipungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref><ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
 
===Pemegang Kekuasaan===
Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh [[DPRD]] (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah ''collegial bestuur'' atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkap{{ke wikisource|Maklumat Yogyakarta No. 18}}).
 
Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
 
===Pemda Kota Yogyakarta===
Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan ''Haminte''-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak [[5 Januari]] [[1946]] Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. [[Soedarisman Poerwokoesoemo]] diangkat menjadi Walikota ''Haminte''-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Walikota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi [[Agresi Militer Belanda I]]<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
 
===Pengaturan Yang Tertunda===
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum<ref>Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. '''(Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)'''</ref><ref>'''(5)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. '''(6)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. '''(Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)'''</ref> maupun penjelasannya<ref>Tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. '''(Petikan Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)'''</ref><ref>Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan ''Zelfbestuurende landschappen''. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. '''(Petikan Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)'''</ref>. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi [[Agresi Militer Belanda II]] pada [[19 Desember]] [[1948]] yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Pasca Serangan Oemoem [[1 Maret]] [[1949]], Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
 
==Periode III: 1950 - 1965==
===Aturan Legal===
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil [[Konferensi Meja Bundar|KMB]], Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai [[17 Agustus]] [[1950]].
 
====Daerah Istimewa Yogyakarta====
DIY secara formal dibentuk dengan {{ke wikisource|UU No. 3 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan {{ke wikisource|UU No. 19 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai [[15 Agustus]] [[1950]] dengan {{ke wikisource|PP No. 31 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi<ref>'''(1)''' Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. '''(2)''' Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. '''(Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)'''</ref>. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional<ref name=joyb>Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>.
 
====Kabupaten dan Kota====
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan {{ke wikisource|UU No. 15 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 44) dan {{ke wikisource|UU No. 16 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan {{ke wikisource|PP No. 32 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten [[Bantul]] (beribukota Bantul), [[Sleman]] (beribukota Sleman), [[Gunung Kidul]] (beribukota [[Wonosari]]), [[Kulon Progo]] (beribukota Sentolo), [[Adikarto]] (beribukota [[Wates]]), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Nomor 18 Tahun 1951}} (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
 
===Tahta Untuk Rakyat===
====Pemilu Lokal Pertama====
Pada tahun [[1951]], diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
 
====Pemisahan Istana dan Negara====
Perubahan yang cukup penting<ref name="joyb">Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah [[Negara Gung]] yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan ''Kori'' dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota<ref name="joyb">Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>. Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari ''Kanayakan'' yang memerintah ''Nagari Dalem'' (dahulu dikepalai oleh ''Pepatih Dalem'')<ref="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Sementara wilayah [[Mancanegara]], yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: [[Madiun]], [[Pacitan]], [[Tulung Agung]], dan [[Trenggalek]] yang dikenal sebagai ''Metaraman'' dilepas ke Republik Indonesia<ref name="joyb">Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>.
 
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di ''Cepuri'' Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi<ref name="joyb">Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>.
Perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan. Dalam maklumat tersebut ditetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (HB IX dan PA VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah ''collegial bestuur'' atau direktorial karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden.
 
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut ''Parentah Hageng Karaton'' dipimpin oleh GP Hangabehi<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Proses pemisahan antara negara (''Nagari Dalem'') dan istana (''Karaton Dalem'') tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan ''Nagari Dalem'' berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan ''Karaton'' (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Reorganisasi pemerintahan daerah pun segera dijalankan. Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Adipati Paku Alam VIII menjadi Wakil Kepala Daerah Istimewa. Walaupun pada prakteknya, PA VIII sering melaksanakan tugas Kepala Daerah saat HB IX menjadi Menteri Negara Indonesia maupun RIS sejak 1946-1951. Pegawai-pegawai Daerah yang terdiri dari berbagai birokrasi yang berbeda (birokrasi pemerintahan monarki dan birokrasi bentukan KNID) disatukan dalam Jawatan (Dinas) Daerah. DPRD-DPRD segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
 
===Masa-Masa Keemasan===
Pada [[1947]], dikeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta yang diusulkan oleh Dewan Kota Yogyakarta. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari HB IX. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch yang turut pergi mengungsi bersama Presiden karena terjadi [[Agresi Militer Belanda I]].
====Implementasi UUDS 1950====
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 [[UUD Sementara 1950]]. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum<ref>Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. '''(Pasal 3 UU No 1/1957)'''</ref><ref>'''(1)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: ''a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I''. '''(2)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). '''(3)''' Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. '''(Petikan Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)'''</ref> maupun penjelasannya<ref>Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. '''(Petikan Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)'''</ref>. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948)<ref>Propinsi/Daerah Istimewa setingkat Propinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU RI No 22 tahun 1948 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra akan tetapi sejak berlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan Daerah Tingkat ke II/Daerah Istimewa Tingkat II termaksud dalam UU ini. '''(Petikan Pasal 73 ayat (1) UU No 1/1957)'''</ref>.
 
====Penyatuan Wilayah====
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut diatur kedudukan Daerah Istimewa.<ref>Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. (Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)</ref><ref>Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)</ref><ref>Dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. (Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)</ref><ref>Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan “Zelfbestuurende landschappen”. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. (Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)</ref>
Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tanggal 24 September 1952, daerah-daerah [[enclave]] Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari Prov [[Jateng]] dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah DIY dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Drt No. 5 Tahun 1957}} (LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi {{ke wikisource|UU No. 14 Tahun 1958}} (LN 1958 No. 33, TLN 1562).
 
====Pasca Dekrit Presiden====
Walaupun demikian, pemerintah pusat belum mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Setelah serangan umum 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Baru setelah KMB ditandatangani, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) mengeluarkan beberapa UU dan Perpu untuk membentuk Provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera.
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah [[Dekrit Presiden 5 Juli 1959]], Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap [[UUD 1945]] yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda<ref>'''(1)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. '''(2)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. '''(Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)'''</ref>. Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
 
==Periode 1950IV: 1965- 1965 1998==
===Redupnya Bintang Kejayaan===
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangat singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948.<ref>Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)</ref>
Tanggal [[1 September]] [[1965]], sebulan sebelum terjadi [[G30S/PKI]], Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi <ref>Pada saat berlakunya UU ini, maka: Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta [[Daerah Istimewa Aceh]] berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Provinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. '''(Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)''' </ref> (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara ''de facto'' maupun ''de jure'' yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan<ref>Daerah-daerah swapraja yang ''de facto'' maupun ''de jure'' dinyatakan hapus. '''(Petikan Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)'''</ref>. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat<ref>Sifat istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5). '''(Petikan Pasal 88 ayat (2) sub a dan b UU No 18/1965)'''</ref>. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi [[Aceh]] maupun [[Yogyakarta]] di kemudian hari <ref>Daerah yang bersifat istimewa disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta dan sebutan Daerah Istimewa Aceh berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah. Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus. '''(Petikan Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965)'''</ref>. Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.
 
===Ala Orde Baru===
Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi kabupaten-kabupaten [[Bantul]] (beribukota Bantul), [[Sleman]] (beribukota Sleman), Gunungkidul (beribukota Wonosari), [[Kulon Progo]] (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota [[Wates]]), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi [[Wakil Presiden Indonesia]]. Otomatis beliau tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan<ref>Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. '''(Pasal 91 sub b UU No 5/1974)'''</ref>. Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi ''Abdi Dalem Keprajan'' (lihat periode I dan III di atas).
 
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.
Pada tahun [[1951]], diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.{{fact|date=September 2007}} Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (HB IX dan PA VIII). Namun kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.
 
===The Last Emperor===
Sekalipun DIY telah berintegrasi dengan Indonesia, tetapi birokrasi pemerintahan monarki tidak dihapuskan begitu saja, mengingat dari 1945 sampai 1950 birokrasi ini menjadi tulang punggung birokrasi DIY. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh ''Pepatih Dalem''). Sedikit demi sedikit birokrasi ini dipisahkan dari birokrasi monarki (Keraton). Pada dasarnya kedua birokrasi ini dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi.
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Beliau wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja [[Kesultanan Yogyakarta]] terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan [[Hamengku Buwono X]] (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka [[Paku Alam VIII]], Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa<ref name="ari">Ariobimo Nusantara (ed), 1999</ref>.
 
Pada saat reformasi, tanggal [[20 Mei]] [[1998]], sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (''former president'') [[Presiden Soeharto]], Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak [[ABRI]] (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut ''Pisowanan Agung''<ref name="ari">Ariobimo Nusantara (ed), 1999</ref>. Beberapa bulan setelahnya beliau menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Masalah yang timbul antara lain adalah status kepegawaian antara pegawai kerajaan (Abdi Dalem) dengan pegawai pemda yang baru (bukan dari Abdi Dalem). Walaupun demikian setelah memakan waktu yang sangat lama akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Kraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
 
==Periode V: 1998-sekarang (2007)==
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang pemerintah daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUD Sementara.</ref>Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. (Pasal 3 UU No 1/1957)</ref><ref>Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)</ref><ref>Provinsi/Daerah Istimewa setingkat Provinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU RI No 22 tahun 1948 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra akan tetapi sejak berlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan Daerah Tingkat ke II/Daerah Istimewa Tingkat II termaksud dalam UU ini. (Pasal 73 ayat (1) UU No 1/1957)</ref><ref>Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)</ref>
===Kemana Biduk Kan Berlayar===
====Penetapan vs Pemilihan I====
Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003<ref name="ari">Ariobimo Nusantara (ed), 1999</ref>.
 
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka [[Paku Alam IX]] naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta dengan UU 22/1948. Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562).
 
====Di Atas Kertas I====
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa juga tidak banyak berbeda.<ref>Kepala Daerah Istimewadiangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. (Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)</ref>
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY<ref>Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini. '''(Petikan Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999)'''</ref>. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya . <ref>Keistimewaan untuk Provinsi [[Daerah Istimewa Aceh]] dan Provinsi [[Daerah Istimewa Yogyakarta]], sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan atas UU ini. '''(Pasal 122 UU No 22/1999)'''</ref>.
 
Pada tahun 2000, [[MPR]] RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang<ref>Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945[kedua/setelah perubahan 1-4])</ref>.
== 1965 - 1998 ==
Pada tahun 1965, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi). Dalam UU ini pula seluruh swapraja yang masih ada baik secara ''de facto'' maupun ''de jure'' yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta di kemudian hari.<ref>Pada saat berlakunya UU ini, maka: a. Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Provinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. (Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)</ref><ref>Sifat istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5). (Pasal 88 ayat (2) sub a dan b UU No 18/1965)</ref><ref>Daerah-daerah swapraja yang de facto maupun de jure dinyatakan hapus. (Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)</ref><ref>Daerah yang bersifat istimewa disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta dan sebutan Daerah Istimewa Aceh berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah. Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus. (Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965)</ref>
 
====Layu Sebelum Berkembang====
Kebijakan ini juga diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan.<ref>Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. (Pasal 91 sub b UU No 5/1974)</ref>
Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002<ref name="hbx">HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007</ref>. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov [[Papua]] dengan dikembalikan lagi ke daerah<ref name="hbx">HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007</ref>. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi [[Nanggroe Aceh Darussalam]] (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).
 
====Penetapan vs Pemilihan II====
Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria yang pada 1982 juga disamakan dengan daerah lain, dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi ''Abdi Dalem Keprajan''.
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi Sultan HB X dan Sri Paduka PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008.
 
====Di Atas Kertas II====
Setelah berhenti dari Wakil Presiden pada 1978, Hamengkubuwono IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena pada 1988 ia meninggal. Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Ngayogyakarta terlama antara 1939-1988. Dengan wafatnya Hamengku Buwono IX Pemerintah Pusat tidak mengangkat Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Pelaksana Tugas Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.
Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus<ref>Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. '''(Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)'''</ref><ref>Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. ('''Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)'''</ref><ref>'''(1)''' Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. '''(2)''' Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. '''(Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)'''</ref> seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI [[Jakarta]], dan Papua<ref>Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. '''(Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)'''</ref>. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya<ref name="hbx">HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007</ref>.
 
===Berbakti Bagi Ibu Pertiwi<ref>Diambil dari Judul Orasi Budaya Sultan HB X pada 7 April 2007 di Pagelaran Keraton Yogyakarta.</ref>===
Pada saat terjadi berbagai kerusuhan tahun 1998, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah teraman di Indonesia.{{fact|date=September 2007}} Tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri Presiden Soeharto, Sultan [[Hamengku Buwono X]] bersama-sama dengan [[Paku Alam VIII]] mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Hageng.
====Sabda Pandhita Ratu<ref>Sebuah ungkapan umum dari Jawa yang selengkapnya berbunyi “''Sabda Pandhita Ratu, Tan Kena Wola-wali''”. Ungkapan ini bermakna bahwa ucapan (baca statement) seorang raja (baca pemimpin) tidak bisa diubah (baca tidak boleh inkonsisten antara satu dengan yang lain), kalau sudah diputuskan harus terjadi. Dengan kata lain seorang pemimpin harus konsisten dengan ucapannya, tidak boleh hari ini mengatakan “''ya''” besok mengatakan “''tidak''” ataupun sebaliknya.</ref>====
Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada [[7 April]] [[2007]], Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah<ref>Pernyataan bersejarah Sultan: "Selanjutnya setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual memohon petunjuk-Nya, maka saya harus mengambil ketegasan Sikap Spiritual Kultural yang saya tuangkan dalam sebuah Pernyataan Sejarah, sebagai berikut: 1. Dengan tulus ikhlas saya menyatakan tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY pada purna masa jabatan tahun 2003-2008 nanti. 2. Selanjutnya saya titipkan masyarakat DIY kepada Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY yang akan datang." '''(Kompas Yogyakarta 9 April 2007)'''</ref>lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008<ref>HB X, 2007</ref>.
 
Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Sofian Effendi<ref name="k0904">Kompas 09 April 2007</ref> (rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo Santoso<ref name="k0904">Kompas 09 April 2007</ref> pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.
Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Ia tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
 
Bagi Roy Suryo<ref>Kompas Yogyakarta 09 April 2007A</ref> pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut. Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry Zudianto<ref name="kj0409">Kompas Yogyakarta 09 April 2007C</ref> (Walikota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
== 1998 - sekarang ==
Meninggalnya [[Paku Alam VIII]] menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY, terutama masalah kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Masalah utama adalah
# apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sepeninggal Paku Alam VIII berasal dari Pewaris Tahta atau terbuka untuk siapa saja
# apakah dipilih oleh DPRD atau diangkat secara langsung (tanpa pemilihan) oleh Presiden Indonesia
# apakah masa jabatan Gubernur seumur hidup, seperti Sultan HB IX dan PA VIII, atau selama masa jabatan tertentu (selama 5 tahun).{{fact|date=September 2007}}
 
Warga Bantul<ref name="kr0904">Kedaulatan Rakyat 09 April 2007</ref> siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan<ref name="kj0409">Kompas Yogyakarta 09 April 2007C</ref>.
Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003. Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Paku Alam IX tidak berjalan mulus, maka HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 [[Paku Alam IX]] naik tahta, namun beliau belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
 
Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta<ref>Kompas Yogyakarta 19 April 2007</ref>.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya.<ref>Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan atas UU ini. (Pasal 122 UU No 22/1999)</ref><ref>Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini. (Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999)</ref>
 
====Dari, Oleh, dan Untuk Rakyat<ref>Makna demokrasi yang dikemukakan oleh A. Lincoln presiden Amerika Serikat terdahulu (former presiden of US)</ref>====
Pada tahun 2000, MPR RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.<ref>Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945)</ref>
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas<ref>Kompas Yogyakarta 19 April 2007</ref> pada [[13 April]] [[2007]] menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar dari pada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung<ref>Kedaulatan Rakyat 19 April 2007</ref>.
 
Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas<ref>Kompas Yogyakarta 20 April 2007</ref> pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).
PemProv DIY maupun DPRD DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi, namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov Papua yang telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).
 
===Menyongsong Masa Depan===
Ketika masa jabatan Sultan HB X berakhir di tahun 2003, kejadian di tahun 1998 terulang kembali. DPRD Prov DI Yogyakarta menginginkan pemilihan Gubernur sesuai UU 22/1999. Namun kebanyakan masyarakat menghendaki agar HB X dan PA IX ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur. Sekali lagi HB X dan PA IX diangkat menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan masa jabatan 2003-2008. Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY diisyaratkan akan diatur secara khusus. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD.<ref>Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 2 ayat (1) dan (8) UU No 32/2004)</ref><ref>Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. (Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)</ref><ref>Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)</ref><ref>Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. (Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)</ref>
Sementara itu [[Dewan Perwakilan Daerah]] [[Republik Indonesia]] PAH I membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi (anggota DPD mewakili prov DIY) untuk menjaring aspirasi mengenai keistimewaan<ref>Kompas Yogyakarta 10 April 2007</ref>. Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) FISIPOL UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan hasilnya di depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007<ref>Kedaulatan Rakyat 15 Juni 2007</ref>. Akhirnya pada 2 Juli 2007<ref>Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref> diadakan uji sahih RUUK. Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo<ref>Joyokusumo atau selengkapnya Gusti Bendoro Pangeran Hario Joyokusumo yang lebih sering disapa Gusti Joyo adalah salah seorang Rayi Dalem (Adik Raja). Beliau adalah Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pejabat Tinggi di Lembaga Tinggi Keraton Yogyakarta (lihat pemisahan Istana dan Negara di atas). Selain itu beliau adalah anggota DPR RI (masa bakti 1999-2004 dan 2004-2009) mewakili DIY dan berasal dari Partai Golkar.</ref>, tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah Akademik dan PAH I DPD RI Jawahir Thontowi. Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan adanya sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu kelompok dan Pemda di kelompok satunya.
 
Depdagri menyatakan RUU Keistimewaan DIY sudah selesai tinggal diserahkan ke DPR RI. Targetnya sebelum Pilkada DIY, RUU itu sudah menjadi UU<ref>Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007</ref>. Dan DPD RI pun mengesahkan Amandemen UU 3/1950 untuk selanjutnya diserahkan kepada DPR RI<ref>Kedaulatan Rakyat 20 September 2007</ref>. Akhirnya Sultan HB X pun berharap seluruh draft tersebut segera masuk ke DPR RI untuk dibahas dan segera diselesaikan. Mendagri Mardiyanto sendiri, menurut Sultan HB X, berharap sebelum akhir 2007 draft RUUK DIY sudah masuk ke DPR RI<ref>Kedaulatan Rakyat 22 September 2007</ref>.
Masalah semakin melebar dengan pertanyaan keistimewaan DIY. Sebagian besar masyarakat, dalam sebuah jajak pendapat surat kabar, berpendapat keistimewaan terletak pada kepemimpinan DIY di tangan dinasti Hamengku Buwono dan Paku Alam.{{fact|date=September 2007}} Di tengah pro dan kontra masyarakat, pada 7 April 2007, Sultan mengeluarkan pernyataan lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008. Akhirnya Pemerintah Pusat berjanji untuk menyelesaikan UU yang mengatur keistimewaan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2008.
 
== Daftar pustaka Bacaan==
# Achiel Suyanto. (2007) "Keistimewaan DIY dalam Tinjauan Sosio-Yuridis" ''Kedaulatan Rakyat'' (19 April 2007).
* P.J. Suwarno. (1994) Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis. Yogyakarta: Kanisius
*# SaafroedinA. Ariobimo BaharNusantara (ed). (19921999) Risalah''Sri SidangSultan BPUPKI-PPKIHamengku 29Buwono MeiX: 1945-19meneguhkan Agustustahta 1945.untuk Edisi keduarakyat''. Jakarta: SetNeg RIGrasindo
# HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007 [Sultan HB X Soal Kepemimpinan; Jangan Ada Dualisme di DIY]
* Soedarisman Poerwokoesoemo. (1984) Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
# HB X (2007) "Berbaktibagi Ibu Pertiwi". ''Kedaulatan Rakyat'' (9 April 2007).
* Peraturan tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1948; UU 1/1957; PenPres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974; UU 22/1999; dan UU 32/2004)
# Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 [Kesitimewaan Tidak di UU 3/50 ; DIY Bukan Monarkhi Konstitusi].
* Peraturan tentang pembentukan DIY, kabupaten dan kota dalam lingkungannya (UU 3/1950; UU 15/1950; UU 16/1950; UU 19/1950; PP 31/1950; PP 32/1950; UU 18/1951; UU Drt 5/1957; UU 14/1958)
# Joyokusumo (2007) "Kraton, Otonomi Daerah dan Good Governance di DIY (tulisan bersambung)" ''Kedaulatan Rakyat''(23,24,26 Februari 2007).
# Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 [Kesitimewaan Tidak di UU 3/50 ; DIY Bukan Monarkhi Konstitusi].
# Kedaulatan Rakyat 05 Juni 2007 [Draft RUUK DIY Tak Minta Status Keistimewaan; Joyokusumo Tolak Konsep JIP].
# Kedaulatan Rakyat 09 April 2007 [Rakyat Bantul Siap Gelar ‘Pisowanan Agung’].
# Kedaulatan Rakyat 19 April 2007 [Jika Untuk Jabatan Lebih Tinggi Rakyat Dukung Langkah Sultan].
# Kedaulatan Rakyat 20 September 2007 [Hari Ini DPD Sahkan RUUK DIY ; Gubernur/Wagub DIY Dipilih Langsung].
# Kedaulatan Rakyat 22 September 2007 [Banyaknya Draft RUUK DIY; Memperkaya Materi Pembahasan].
# Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007 [Sekjen Depdagri Pastikan : Pilkada DIY 2008 Gunakan UUK].
# Kompas 09 April 2007 [Posisi Sultan Harus di Atas Gubernur].
# Kompas 19 April 2007 [Sultan Akan Ke Kancah Nasional : penolakan jadi gubernur lagi merupakan hasil pergulatan panjang].
# Kompas Yogyakarta 09 April 2007A [Pernyataan Sultan, Sentilan bagi Masyarakat].
# Kompas Yogyakarta 09 April 2007B [Ulang Tahun Ngarso Dalem yang Sarat Makna].
# Kompas Yogyakarta 09 April 2007C [“Saya Merasa Terharu dan Bangga”].
# Kompas Yogyakarta 10 April 2007 [DPD akan menjaring aspirasi ke masyarakat].
# Kompas Yogyakarta 19 April 2007 [Indikator Kompas: Lebih Setuju Gubernur Dijabat Kalangan Keraton].
# Kompas Yogyakarta 20 April 2007 [Indikator Kompas: Fakta Sejarah Boboti Keistimewaan DIY].
# Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan DIY Beserta Kabupaten dan Kota dalam Lingkungannya (UU 3/1950; UU 15/1950; UU 16/1950; UU 19/1950; PP 31/1950; PP 32/1950; UU 18/1951; UU Drt 5/1957; UU 14/1958).
# Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1948; UU 1/1957; PenPres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974; UU 22/1999; dan UU 32/2004).
# P.J. Suwarno (1994)''Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis''. Yogyakarta: Kanisius.
# Saafroedin Bahar et. al. (ed). (1993) ''Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945''. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI.
# Soedarisman Poerwokoeoemo. (1984) ''Daerah Istimewa Yogyakarta''. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
# UUD 1945 pertama (baca: sebelum perubahan) dan UUD 1945 kedua (baca: setelah perubahan ke 1-4)
 
== Rujukan ==