Carok: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k ←Suntingan Syaf Anton (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Wagino Bot |
k Bot: Penggantian teks otomatis (-di Abad +pada Abad, -di abad +pada abad, -Di abad +Pada abad, -Di Abad +Pada Abad) |
||
Baris 17:
Pada zaman [[Cakraningrat]], [[Jokotole]] dan [[Panembahan Semolo]] di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan [[pedang]] atau [[keris]]. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda [[Pak Sakera]], seorang mandor [[tebu]] dari [[Pasuruan]] yang hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata.
Carok dalam bahasa [[Kawi]] Kuno artinya perkelahian. Pertengkaran tersebut biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan sering terjadi antar penduduk desa di [[Kabupaten Bangkalan|Bangkalan]], [[Kabupaten Sampang|Sampang]], dan [[Kabupaten Pamekasan|Pamekasan]]. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Jokotole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra [[Sunan Kudus]]
Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakera tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu.
|