Islam dan anarkisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-di Abad +pada Abad, -di abad +pada abad, -Di abad +Pada abad, -Di Abad +Pada Abad)
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-di \[\[Abad +pada [[Abad , -di \[\[abad +pada [[abad , -Di \[\[abad +Pada [[abad, -Di \[\[Abad +Pada [[Abad)
Baris 48:
Ketika Sunni dan Syi’ah disibukkan dengan pengembangan pemerintahan yang berdasarkan Islam, ide-ide pembebasan dalam Islam diteruskan oleh kebanyakan kaum Sufisme, yang bertahan pada ilmu kebatinan dari Islam. Sufisme telah sangat dikenal pada zaman kerajaan Islam. Perkembangan kaum Sufi terinspirasikan dibawah filsafat ketimuran, dan anti penguasa juga ide-ide revolusionernya dapat didengar sampai sekarang. Banyak perintah Sufi dan nasihatnya menyebutkan tentang perjuangan untuk persamaan hak kaum perempuan dan keadilan sosial.
 
Sufisme juga menghasilkan banyak puisi-puisi dan tulisan-tulisan Islami dimana dalam literatur-literatur tersebut kecenderungan anarkisme sangat terlihat. Salah satu penyair Sufi yang terkenal adalah [[Farid al-Din Attar]] dari [[Persia]] dipada [[abad ke-13]]. Dalam salah satu bukunya ''“Muslim Saints and Mystics: Episodes from the Tadhkirat al-Auliya’ (Memorial of the Saints)”'', Attar menceritakan kisah dari seorang guru Sufi, [[Fozail-e Iyaz]] (yang diperkirakan hidup dipada [[abad ke-8]]) dan Khalifah Abbasid ke-5, [[Harun al-Rashid]]. Ketika Harun mencari orang di kerajaannya yang dapat memberitahukan kebenaran tentang dirinya, Harun menemukan Fozail, yang mana satu-satunya orang yang bebicara jujur dan tanpa ragu. Fozail memberitahukan bahwa dia menghargai ketidakadaan kekuasaan mutlak di dalam kerajaan Islam, dan dia mengatakan ''“Berserah diri kepada Tuhan, walau hanya untuk sebentar, lebih baik daripada beribu-ribu tahun mematuhi perintah raja Harun”''. Walaupun banyak contoh kecenderungan anti pemerintahaan dalam sejarah Islam, perkembangan utama yang dapat terlihat terjadi pada abad ke-20, dimana adanya pengenalan terhadap makna liberalisasi dalam Islam dan penyatuan dari pergerakan radikal Islam kiri.
 
Seorang [[kartunis]] dari [[Perancis]] [[Gustave-Henri Jossot]], seorang kontributor yang berkala pada sebuah majalah anarkis, berpindah agama ke Islam pada tahun [[1913]], dia menemukan bahwa Islam adalah ''“Simpel, tanpa pendeta, tanpa dogma, dan hampir tanpa upacara-upacara keagamaan”'', dengan alasan tersebut dia pindah agama. Setelah perubahan itu, dia terus mengkritik tentang konsep tanah suci, memperjuangkan hak-hak yang sama untuk semua orang, menolak aksi-aksi politik, kekerasan dan institusi pendidikan formal. Dia menolak aksi-aksi sosial, dengan alasan logis bahwa suatu perubahan hanya dapat terjadi pada suatu tingkatan individu, dimulai dari diri sendiri.