Nugroho Notosusanto: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Marfiadi (bicara | kontrib)
Marfiadi (bicara | kontrib)
Baris 37:
==Nugroho Notosusanto sebagai Sastrawan==
 
Pengarang yang dimasukkan [[H.B. Jassin]] ke dalam golongan sastrawan Angkatan 66 termasuk juga sastrawan angkatan baru (periode 501950-an) menurut versi [[Ajip Rosidi]] di antaranya adalah Nugroho Notosusanto.
 
Di antara pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Sebagian besar pengarang waktu itu hanya menulis cerpen dan sajak, tetapi Nugroho banyak menulis esai. Nugroho menyelami zamannya, terutama tentang sastra dan kebudayaan. Tulisan-tulisan yang berisi pembelaan para sastrawan muda, yaitu ketika terdengar suara-suara tentang krisis kesusastraan, menyebabkan Nugroho Notosusanto tertarik dalam dunia sastra Indonesia. Nugroholah yang memprakarsai simposium sastra FSUI pada tahun 1953; yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958.
 
Bakat Nugroho dalam mengarang sudah terlihat ketika masih kecil. Ia mempunyai kesenangan mengarang cerita bersama Budi Darma. Cerita Nugroho selalu bernapas perjuangan. Pada waktu itu Republik Indonesia memang sedang diduduki oleh Belanda. Dari cerita-cerita yang dihasilkan Nugroho waktu itu, tampak benar semangat nasionalismenya. Menurut ayahnya, Nugroho mempunyai jiwa [[nasionalisme]] yang besar.
 
Sebagai sastrawan, pada mulanya Nugroho menghasilkan sajak dan sebagian besar pernah dimuat di harian Kompas. Oleh karena tidak pernah mendapat kepuasan dalam menulis sajak, Nugroho kemudian mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai. Karyanya pernah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar seperti Gelora, Kompas, Mahasiwa, Indonesia, Cerita, Siasat, Nasional, Budaya, dan Kisah. Di samping itu, Nugroho juga menghasilkan karya terjemahan. Hasil terjemahan Nugroho, yaitu Kisah [[Perang Salib]] di Eropa (1968) dari [[Dwight D. Eisenhower]], Crusade in Europe, Understanding Histotry: A Primer of Historical Method. Terjemahan tentang bahasa dan sejarah, yaitu Kisah daripada Bahasa, 1971 (Mario Pei, The Story of Language), dan Mengerti Sejarah. Karena Nugroho cukup lama dalam kemiliteran, ia dapat membeberkan peristiwa-peristiwa militer, perang serta suka-dukanya hidup, seperti dalam cerpennya yang berjudul ‘Jembatan’, “Piyama”, “Doa Selamat Tinggal”, “Latah”, dan “Karanggeneng’. Dalam cerpen ini bahasa yang digunakan padat dan sering ada kata-kata kasar. Nugroho juga dapat bercerita dengan bahasa yang halus, seperti yang terdapat pada cerpen yang berjudul “Nini.” Cerpen yang berjudul “Nini” ini bertema seorang anak yang cacat dan ditinggal meninggal oleh ibunya, tetapi masih mengingat-ingat kebaikan ibunya. Cerpen ini bahasanya sederhana dan isinya mudah dimengerti pembaca. Isi cerpen ini tentang seorang ayah mencintai anaknya yang cacat dan yang mirip dengan almarhumah istrinya.
Baris 51:
Kumpulan cerpen Hujan Kepagian berisi enam cerita pendek yang semuanya menceritakan masa perjuangan menghadapi [[agresi Belanda]]. Buku ini cukup memberi gambaran tentang berbagai segi pengalainan manusia yang mengandung ketegangan, penderitaan, pendambaan, dan sesalan yang sering terjadi dalam peperangan. Dari sini tampak bahwa Nugroho mempunyai bakat observasi yang tajam.
 
Bukunya yang berjudul Tiga Kota berisi sembilan [[cerita pendek]] yang ditulis antara tahun 1953-1954, judul Tiga Kota diambil karena latar cerita terjadi di tiga kota, yaitu [[Rembang]], [[Yogyakarta]], dan [[Jakarta]], kota yang paling banyak memberinya inspirasi untuk lahirnya cerita. Rembang melatari cerita kenangan “Mbah Danu”, “Penganten”, dan “Tayuban”. [[Yogyakarta]] dan [[Jakarta]] melatari cerita “Jeep 04-1001 Hilang” dan “Vickers Jepang.” Oleh karena itu, kumpulan [[cerpen]] tersebut diberi judul Tiga Kota. Cerpen-cerpen yang terkandung dalam Tiga Kota ini pada umumnya sangat menarik, tidak hanya karena penuturan cerita yang lancar dan dipaparkan dengan gaya akuan, tetapi juga karena penulis sendiri mengalami peristiwa yang dituturkannya. Dengan demikian, cerpen-cerpen itu kelihatan hidup. Kumpulan cerpen Tiga Kota, ini sedikitnya merekam kehidupan pribadi penulis.
 
Dalam [[seminar]] kesusastraan yang diselenggarakan oleh FSUI tahun 1963, Nugroho membawakan makalahnya yang berjudul “Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia.” Ia mengemukakan bahwa sesudah tahun 1950 ada periode kesusastraan baru yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periodisasi sebelumnya. Menurut Nugroho, pengarang yang aktif mulai menulis pada periode 1950-an adalah mereka yang mempunyai tradisi Indonesia sebagai titik tolaknya, dan juga mempunyai pandangan yang luas ke seluruh dunia.