Boenga Roos dari Tjikembang (novel): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tjmoel (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 88:
 
==Tema novel==
Dalam kata pengantarnya, Kwee menulis bahwa ''Boenga Roos dari Tjikembang'' dimaksudkan untuk membawa pembacanya untuk mempertimbangkan bagaimana nasib sering bertentangan dengan keinginan-keinginan mereka yang terlibat.{{sfn|Kwee|2001|p=300}} Namun pembacaan secara kritis telah menciptakan beragam pendapat. Sidharta mencatat bahwa buku ini penuh dengan mistisisme yang umum pada waktu itu,{{sfn|Sidharta|1996|pp=333–334}} begitu pula ahli kebudayaan Tionghoa John Kwee yang menyebutkan empat contoh: mimpi Marsiti, yang kemudian terbukti menjadi nyata bak ramalan, di mana ia secara paksa dipisahkan dari Aij Tjeng meskipun dia terikat janjinya bahwa mereka tak akan pernah berpisah; sebuah ide tentang bersatu-kembalinya seseorang dengan orang yang dicintai setelah kematian; roh Marsiti yang menghadiri pernikahan putrinya, dan adegan menjelang akhir novel ini di mana roh Marsiti memandu putri Roosminah untuk memetik bunga untuk Aij Tjeng dan Gwat Nio.{{sfn|Kwee|1989|pp=178–179}} Sutedja-Liem, dalam nada yang sama, menekankan kekuatan mistis yang tampaknya dimiliki Marsiti. Dia menyimpulkan bahwa pengabaian [[Realisme sastra|realisme]] ini memberikan buku ini (yang mengandung pesan "modern"), sebagai "anti-modern".{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=269}} [[Nio Joe Lan]], dalam buku sejarah sastra Melayu Tionghoa yang ditulisnya, mencatat bahwa Kwee adalah satu-satunya penulis roman dari etnis Tionghoa di Hindia Belanda yang juga menulis tentang [[filsafat Timur]] (terutama [[filsafat CinaTionghoa]]). Dia menemukan bahwa mistisisme telah menjadi tema umum dalam karya Kwee, mencatat hal ini telah sangat berkembang dengan baik dalam novel Kwee di kemudian hari, ''[[Soemangetnja Boenga Tjempaka]]''.{{sfn|Nio|1962|p=108}}
 
Berprinsip pada hal ini, Eric Oey dari ''[[University of California, Berkeley]]'', menulis bahwa mistisisme novel ini terbangun menjadi sebuah promosi [[teosofi]] dan idealisme [[Buddhisme]]: Aij Tjeng dan Gwat Nio terjun dalam keduanya, yang kemudian meninggalkan kehidupan materialistik mereka untuk menjadi lebih spiritual. Pada akhirnya, ia menulis, konsep tentang [[reinkarnasi]] diajukan ketika Roosminah ditemukan setelah kematian Lily.{{sfn|Oey|1989|pp=246–247}} Faruk dari [[Universitas Gadjah Mada]] juga mencatat konsep reinkarnasi novel ini, dengan penekanan yang diulang pada hubungan paralel (baik fisik dan psikologis) di antara saudara se-ayah; Marsiti dan Gwat Nio, begitu pula Lily dan Roosminah.{{sfn|Faruk|2007|pp=264–266}} Ahli kebudayaan Tionghoa [[Myra Sidharta]], berdasarkan keterkaitan yang sama antara Marsiti dan Gwat Nio, tidak berpendapat mengenai ide reinkarnasi, melainkan menulis bahwa hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam cinta seorang ''[[nyai]]'' dan seorang istri yang dinikahi secara resmi.{{sfn|Sidharta|1989|pp=75–76}}