Suku Dayak: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Syuhada Rasyid (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Syuhada Rasyid (bicara | kontrib)
(Budaya,sejarah, dan beberapa suntigan kecil)
Baris 49:
|related=[[Banjar]], [[Kutai]], [[Sambas]]|region8 = Brunei Darussalam|pop8 = 50.898}}
 
Berdasarkan'''Suku bukti-buktiDayak''' arkeologisadalah nama yang ditemukanoleh dipenduduk [[Guapesisir Niah]]pulau ([[Sarawak]])Borneo dandiberi [[Gua Babi]] ([[Kalimantan Selatan]]),kepada penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni Kalimantan masa kini</ref>asli yang mendiami Pulau [[Kalimantan]] ([[Brunei]], [[Malaysia]] yang terdiri dari [[Sabah]] dan [[Sarawak]], serta [[Indonesia]] yang terdiri dari [[Kalimantan Barat]], [[Kalimantan Timur]], [[Kalimantan Tengah]], dan [[Kalimantan Selatan]]). Ada 3 suku asli Kalimantan yaitu [[rumpun Dayak|Dayak]], [[suku Banjar|Banjar]], [[suku Kutai|Kutai]]Desentralisasi dan otonomi daerah: Naskah akademik dan RUU usulan LIPI|publisher=Yayasan Obor Indonesia|year=2004|isbn=979-98014-1-9}}ISBN 978-979-98014-1-8</ref> Menurut sensus [[Badan Pusat Statistik]] [[Republik Indonesia]] tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu [[Rumpun Dayak|suku Dayak]] Indonesia (405 sub suku bangsa), [[suku Banjar]] dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
'''Suku Dayak'''<ref></ref>) adalah nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman<ref>? Kata "daya" serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya" yang berarti "orang (di) atas, orang hulu".
 
Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di [[Gua Niah]] ([[Sarawak]]) dan [[Gua Babi]] ([[Kalimantan Selatan]]), penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni Kalimantan masa kini</ref> yang mendiami Pulau [[Kalimantan]] ([[Brunei]], [[Malaysia]] yang terdiri dari [[Sabah]] dan [[Sarawak]], serta [[Indonesia]] yang terdiri dari [[Kalimantan Barat]], [[Kalimantan Timur]], [[Kalimantan Tengah]], dan [[Kalimantan Selatan]]). Ada 3 suku asli Kalimantan yaitu [[rumpun Dayak|Dayak]], [[suku Banjar|Banjar]], [[suku Kutai|Kutai]]Desentralisasi dan otonomi daerah: Naskah akademik dan RUU usulan LIPI|publisher=Yayasan Obor Indonesia|year=2004|isbn=979-98014-1-9}}ISBN 978-979-98014-1-8</ref> Menurut sensus [[Badan Pusat Statistik]] [[Republik Indonesia]] tahun 2010, suku bangsa yang terdapat di Kalimantan Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu [[Rumpun Dayak|suku Dayak]] Indonesia (405 sub suku bangsa), [[suku Banjar]] dan suku asal Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar). Dahulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
 
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni [[rumpun Klemantan]] alias Kalimantan, [[rumpun Iban]], [[rumpun Apokayan]] yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, [[rumpun Murut]], [[rumpun Ot Danum-Ngaju]] dan [[rumpun Punan]]. Namun secara ilmiah, para linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:<ref>[http://www.ethnologue.com/map/ID_k__ Indonesia, Kalimantan ]</ref>
Baris 59 ⟶ 57:
* "[[Rumpun bahasa Borneo Utara|Borneo Utara]]" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina serta satu suku yang berdiri dengan nama sukunya sendiri yaitu [[Suku Tidung]].<ref>http://www.ethnologue.com/subgroups/north-borneo</ref>
* "[[Rumpun Bahasa Sulawesi Selatan|Sulawesi Selatan]]" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.<ref>http://www.ethnologue.com/subgroups/tamanic</ref><ref>http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s04.html</ref>
* "[[Rumpun bahasa Melayik|Melayik]]" dituturkan: [[Dayak Meratus]]/Bukit (alias Banjar [[arkhais]]), [[Dayak Iban]] (dan Saq Senganan), [[Dayak Keninjal]], [[Dayak Bamayoh]] (Malayic Dayak), [[Dayak Kendayan]] (Kanayatn). Beberapa suku asal Kalimantan beradat Melayu yang terkait dengan rumpun ini sebagai suku-suku yang berdiri sendiri yaitu [[Suku Banjar]], [[Suku Kutai]], [[Suku Berau]], [[Suku Sambas]], dan [[Suku Kedayan]].<ref>http://www.ethnologue.com/subgroups/malayic</ref><ref>http://press.anu.edu.au//austronesians/austronesians/mobile_devices/ch04s03.html</ref><ref>{{cite book|url = http://books.google.co.id/books?id=wsWX4TTfFAEC&lpg=PA47&dq=Insular%20Southeast%20Asia%20banjar%20kutai%20lakes%20malay&pg=PA47#v=onepage&q&f=false|pages = 47|title = Insular Southeast Asia: linguistic and cultural studies in honour of Bernd Nothofer |first = Fritz |last = Schulze|coauthors = Holger Warnk|publisher = Otto Harrassowitz Verlag |year =2006 2006|isbn = 3447054778}}
ISBN 9783447054775</ref>
 
== Etimologi ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Dajak vrouwen verkopen vruchten vanaf een vlot op de Barito-rivier bij Bandjermasin Zuid-Borneo TMnr 10005854.jpg|thumb|250 px|right| Masyarakat Dayak Barito beragama Islam yang dikenali sebagai [[suku Bakumpai]] di [[sungai Barito]] tempo dulu.]]
Istilah "Dayak" paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang tinggal di pulau itu.<ref>King, 1993:29</ref><ref>{{cite book|pages = 99|url = http://books.google.co.id/books?id=9I62BcuPxfYC&lpg=PA99&dq=Dyak&pg=PA99#v=onepage&q=Dyak&f=false |title = Creation myths of the world: an encyclopedia |volume = 1|first = David Adams |last = Leeming|edition = 2|publisher = ABC-CLIO|year = 2010|isbn = 1598841742}}ISBN 978-1-59884-174-9</ref> Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak berasal dari kata ''daya'' dari [[bahasa Kenyah]], yang berarti hulu [[sungai]] atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa Dayak mungkin juga berasal dari kata ''aja'', sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak sesuai atau yang tak pada tempatnya.<ref>King, 1993:30</ref><ref>{{cite book|url = http://books.google.co.id/books?id=zAqMXcWcb-MC&lpg=PA7&dq=kalimantan%20tenggara&pg=PA8#v=onepage&q=kalimantan%20tenggara&f=false |pages = 8|title = Identitas Dayak|publisher = PT LKiS Pelangi Aksara|first = Yekti|last = Maunati|isbn = 979949298X}}ISBN 978-979-9492-98-2</ref>
 
Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat), sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu).<ref>{{cite book|pages=338 |url=http://books.google.co.id/books?id=rj4KAQAAMAAJ&dq=Benjar&pg=PA338#v=onepage&q=Benjar&f=false |title=London encyclopaedia; or, Universal dictionary of science, art, literature and practical mechanics: comprising a popular view of the present state of knowledge|volume=4|first=Thomas |last=Tegg|publisher=Printed for Thomas Tegg|year=1829}}</ref> Jadi semula istilah orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah [[sungai Kahayan]]) dan [[Biaju Kecil]] (daerah sungai Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan [[Kabupaten Kapuas|Dayak Kecil]], selanjutnya oleh pihak kolonial Belanda hanya kedua daerah inilah yang kemudian secara administratif disebut [[Tanah Dayak]]. Sejak masa itulah istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya<ref>{{cite book|pages=261 |url=http://books.google.co.id/books?id=GRE3AAAAMAAJ&dq=Banjer-masin&pg=PA261#v=onepage&q=Banjer-masin&f=false |title=Foreign missionary chronicle|publisher=s.n. (1838)}}</ref>, khususnya non-Muslim atau non-Melayu.<ref>King, 1993.</ref> Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan.<ref>Rousseau, 1990</ref> Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang ilmuwan [[Belanda]], adalah orang yang pertama kali mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun [[1895]].
Baris 74 ⟶ 73:
Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut ''Nansarunai Usak Jawa''<ref>[http://bahasamaanyan.blogspot.com/2008/08/nansarunai-usak-jawa.html Nansarunai Usak Jawa]</ref><ref>[http://melayuonline.com/ensiclopedy/?a=SnFULzgveVRteDdaM2dl=&l=usak-jawa Usak Jawa]</ref>, yakni kerajaan Nansarunai dari [[Dayak Maanyan]] yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun [[1309]]-[[1389]].<ref>Fridolin Ukur, 1971</ref> Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun [[1520]]).
 
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk [[Islam]] keluar dari suku Dayak dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau [[Suku Banjar|orang Banjar]] dan [[Suku Kutai]]. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah [[Kayu Tangi]], [[Distrik Amuntai|Amuntai]], [[Distrik Margasari|Margasari]], [[Distrik Amandit|Batang Amandit]], [[Distrik Labuan Amas|Batang Labuan Amas]] dan [[Distrik balangan|Batang Balangan]]. Sebagian lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar Hindu yang terkenal adalah [[Lambung Mangkurat]] menurut orang Dayak adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).<ref>{{cite book|pages =216 216|url = http://books.google.co.id/books?id=QyXg_GDYCdMC&lpg=PA216&dq=pangeran%20antasari&pg=PA216#v=onepage&q=pangeran%20antasari&f=false |title = Masihkah Indonesia|first = A. Budi |last = Susanto|publisher = Kanisius|year = 2007|isbn = 9792116575}}ISBN 978-979-21-1657-1</ref>
Di Kalimantan Timur, orang Suku Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai [[Suku Kutai]].{{fact}}
Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa [[Tionghoa]] tercatat mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming yang tercatat dalam buku ''323 Sejarah Dinasti Ming'' (1368-1643). Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin dan disebutkan bahwa seorang Pangeran yang berdarah [[Biaju]] menjadi pengganti Sultan Hidayatullah I . Kunjungan tersebut pada masa [[Sultan Hidayatullah I]] dan penggantinya yaitu [[Sultan Mustain Billah]]. Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang [[Orang Cina Parit|Tionghoa]] mulai menetap di kota Banjarmasin pada suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.<ref>http://eprints.lib.ui.ac.id/12976/1/82338-T6811-Politik%20dan-TOC.pdf</ref>
Baris 91 ⟶ 90:
 
== Dayak pada masa kini ==
[[Berkas:Dayak KanayatnSukudayakkenyah.jpg|thumb|200px200x200px|TradisiTarian suku Dayak KanayatnKenyah dari Kalimantan Timur.]]
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: [[Apokayan]] ([[Kenyah-Kayan-Bahau]]), [[Ot Danum-Ngaju]], [[Iban]], [[Murut]], [[Klemantan]] dan [[Punan]]. Rumpun [[Dayak Punan]] merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, [[mandau]], sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun [[Ot Danum-Ngaju]] biasanya disebut [[lewu]]/[[lebu]] dan pada Dayak lain sering disebut [[banua]]/[[benua (Kalimantan)|benua]]/binua/benuo. Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
 
Baris 153 ⟶ 152:
Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak. Wilayah-wilayah di pesisir Kalimantan dan pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Banjar/Melayu seperti suku Banjar, Melayu-Senganan, Kedayan, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan. Di masa kolonial, orang-orang [[bumiputera]] Kristen dan orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama orang Dayak.
 
Jika kita melihat sejarah pulau Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang ''Melayu'' yang mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa [[Hui]] Muslim [[mazhab Hanafi|Hanafi]] menetap di Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa [[Dinasti Ming]], bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari [[Champa]] ke [[Manila|Maynila]], Kiu kieng (Palembang) maupun ke [[Majapahit]].<ref name="Muljana">{{cite book|pages =61 61|url = http://books.google.co.id/books?id=j9ZOKjMxVdIC&lpg=PA78&dq=suma%20oriental&pg=PA61#v=onepage&q=suma%20oriental&f=false|title = Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara|first =Slamet Slamet|last = Muljana|publisher = PT LKiS Pelangi Aksara|year = 2005|isbn = 9798451163}}ISBN 978-979-8451-16-4</ref> Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang [[Hui]] [[Muslim]] yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya [[bahasa Arab]].<ref>{{cite book|pages =54 54|url = http://books.google.co.id/books?id=edH-asvoPu8C&lpg=PA51&dq=dinasti%20ming&pg=PA54#v=onepage&q=dinasti%20ming&f=false |title = Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara|first =Yuanzhi Yuanzhi|last = Kong|editor = Hembing Wijayakusuma|publisher = Yayasan Obor Indonesia|year = 2000|isbn = 9794613614}}ISBN 978-979-461-361-0</ref> Laporan pedagang-pedagang Tionghoa pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa. Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten. Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal [[26 Juni]] [[1835]], Barnstein, [[penginjil]] pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris.<ref>{{cite book|pages=42 |url=http://books.google.co.id/books?id=rTiifZ-SlaEC&lpg=PA8&dq=Pulau%20KAlimantan&pg=PA9#v=onepage&q=Pulau%20KAlimantan&f=false |title=Tuaiannya sungguh banyak: sejarah Gereja Kalimantan Evanggelis sejak tahun 1835 |first=Fridolin |last= Ukur|publisher= BPK Gunung Mulia |year=2000 |isbn=9789799290588}} ISBN [http://books.google.co.id/books?id=rTiifZ-SlaEC&printsec=copyright#v=onepage&q&f=false 979-9290-58-9]</ref><ref>{{cite journal|url=http://books.google.co.id/books?id=q_UDAAAAQAAJ&dq=banjermasin&pg=PA578#v=onepage&q&f=false |title=Evangelical magazine and missionary chronicle,|volume= 14 |pages=578|publisher= s.n|year=1836|author=Evangelical}}</ref><ref>{{cite book|url = http://books.google.co.id/books?id=ox_pTpB9AjQC&lpg=PA188&dq=kalimantan%20selatan&pg=PA188#v=onepage&q=kalimantan%20selatan&f=true |first = Th. van den |last = End|title = Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita: sejarah gereja di Indonesia|publisher = BPK Gunung Mulia|year = 1987|isbn = 979-415-188-2}}ISBN 978-979-415-188-4</ref><ref>{{cite book|pages=87|url=http://books.google.com/books?id=tZ8PAAAAIAAJ&dq=Banjirmasin&hl=id&pg=PA87#v=onepage&q&f=false |title=Foreign missionary chronicle|volume=5|publisher=Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian Church.}}</ref><ref>{{cite book|pages =149 149|url = http://books.google.co.id/books?id=fnLQ4hmhYOsC&lpg=PA419&dq=Gouvernement%20of%20Borneo&pg=PA419#v=onepage&q=Gouvernement%20of%20Borneo&f=false |title = Catholics in Indonesia, 1808-1942: A modest recovery 1808-1903|first = Karel A. |last = Steenbrink|publisher = KITLV Press|year = 2003|isbn = 9067181412}}ISBN 978-90-6718-141-9</ref>
 
== Konflik ==