Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Menolak perubahan teks terakhir (oleh 112.215.44.214) dan mengembalikan revisi 10432937 oleh Ganesha Ungel
Baris 73:
#Kebijakan monopoli gerbang cukai (bandar) oleh Belanda (1816) menyebabkan biaya fiskal yang harus dikeluarkan pengusaha Tionghoa meningkat tajam dan berdampak pada para petani Jawa yang mereka pekerjakan.<ref name=carey/>
#Larangan Pangeran Diponegoro untuk menjalin relasi politik dengan etnis Tionghoa sesuai peringatan leluhurnya yaitu Sultan Mangkubumi.<ref name=carey/>
#Anggapan Pangeran Diponegoro yang ditulis dalam Babadnya bahwa dirinya tergoda oleh tukang pijat beretnis Tionghoa pada malam sebelum perang Gawok (Oktober 1986) sehingga menyebabkan dirinya kehilangan kekebalan tubuhnya (mendapat luka saat perang) dan mengalami kekalahan.<ref name=carey/>
#Kekalahan Tumenggung Sosrodilogo, bupati Bojonegoro sekaligus saudara ipar pangeran, di bulan Januari 1828 dianggap Diponegoro disebabkan Sosrodilogo telah menjamahi seorang [[peranakan Tionghoa]] di Lasem.<ref name=carey/>
 
Penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Jawa Tengah dan Jawa Timur terjadi semenjak awal peperangan. Catatan Payen, seorang arsitek di Yogyakarta, menyebutkan bahwa komunitas Tionghoa di Yogyakarta mendapatdibantai perlakuantanpa istimewamempedulikan sebagaiwanita wargamaupun kelasanak-anak. atasKomunitas satuTionghoa kelasdi dibawahBagelen etnissempat Belandabertahan karenahingga memenuhitahun kewajiban1827 membayarsebelum pajakakhirnya diungsikan ke Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan upetiLasem) kepadaikut Belandamemasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa di [[Bagelen, Purworejo|Bagelen]] saat penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa yang mengungsi agar kembali.<ref name=carey/>
Komunitas Tionghoa di Bagelen sempat bertahan hingga tahun 1827 sebelum akhirnya diungsikan ke Wonosobo. Meskipun demikian, masyarakat Tionghoa di pesisir pantai utara (sekitar Tuban dan Lasem) ikut memasok pasukan Diponegoro dengan senjata, uang, dan opium (pada masa tersebut penduduk Jawa banyak yang kecanduan opium, termasuk pasukan Diponegoro). Setelah perang berakhir, kerukunan antara komunitas Tionghoa dan masyarakat lain di Jawa tidak dapat kembali seperti semula karena timbulnya rasa saling curiga akibat trauma selama perang, misalnya peristiwa di [[Bagelen, Purworejo|Bagelen]] saat penduduk Jawa lokal meminta komunitas Tionghoa yang mengungsi agar kembali.<ref name=carey/>
 
{{commons category|Java War}}