Baradatu, Way Kanan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Zwobot (bicara | kontrib)
k bot Menambah: jv:Baradatu, Way Kanan
Reindra (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 14:
'''Baradatu''' adalah sebuah [[kecamatan]] di [[Kabupaten Way Kanan]], [[Lampung]], [[Indonesia]].
 
Baradatu berada di tepi Jalan Lintas Tengah Sumatera yang menghubungkan Lampung hingga Palembang. Kota kecil ini cukup penting terutama karena menjadi semacam 'halte' bagi bus jurusan Rajabasa-Kasui yang melintasi rute tidak kurang dari 200 KM melintasi kota-kota utama di Lampung seperti Bandar Lampung, Natar, Bandarjaya, dan Kotabumi.
 
==Lokasi==
Kota kecil ini merupakan kecamatan paling ramai di Kabupaten Way Kanan. Boleh dibilang, pusat perekonomian kabupaten berada di kecamatan ini. Baradatu memiliki sebuah Pasar Inpres di Desa Tiuh Balak, sebuah Pasar Pagi (termasuk 'terminal kecil', dan Tempat Pemungutan Retribusi (TPR)) di Desa Tiuh Balak Pasar, ibukota Baradatu (dalam Bahasa Lampung 'tiuh' berarti 'desa', 'balak' berarti 'besar'). Selain sebagai pusat perekonomian kabupaten, Baradatu juga dikenal sebagai pusat pendidikan di wilayah Way Kanan. Baradatu memiliki sebuah SMA negeri, empat SMP negeri serta sejumlah sekolah swasta, di antaranya RA, MI, MTs, dan MA milik Yayasan Mathla'ul Anwar, SMP milik Muhammadiyah, SMK milik Yayasan Pendidikan 17 serta beberapa waktu kemarin berdiri kelas jauh (filial) dari Universitas Bandar Lampung (UBL) dan STKIP Metro.
 
Baradatu berada di tepi [[Jalan Lintas Tengah Sumatera]] yang menghubungkan [[Lampung]] hingga [[Palembang]]. Kota kecil ini cukup penting terutama karena menjadi semacam 'halte' bagi bus jurusan Rajabasa-Kasui yang melintasi rute tidak kurang dari 200 KMkm, melintasi kota-kota utama di [[Lampung]] seperti [[Bandar Lampung]], [[Natar]], Bandarjaya[[Bandar Jaya]], dan [[Kotabumi]].
 
Sejarah dan Budaya
Sejarah panjang Baradatu di mulai sejak jaman kolonial belanda, sejak kota ini mulai dihuni penduduk. Pada awalnya Baradatu berstatus Negeri (semacam desa di masa lalu) yang berada di bawah kekuasaan Kawedanaan Blambangan Umpu. Negeri Baradatu membawahi kampung-kampung Gunung Labuhan, Tiuh Balak, Gunung Katun, Cugah dan Banjarmasin (di tepi Way Besay; dalam Bahasa Lampung 'way' berarti 'sungai' dan 'besay' berarti besar). Penduduk Baradatu semakin bertambah dengan datangnya gelombang pendatang, utamanya dari tanah Jawa. Pendatang yang bermukim di Baradatu ini sebagian besar merupakan transmigran. Terdapat dua pola transmigran yang mulai migrasi sejak tahun 1957-1958 ini. Pola pertama, Transmigrasi Umum (TU) yang kebanyakan bermukim di kampung-kampung sebelah barat Jalan Lintas Tengah Sumatera yang baru di bentuk kemudian. Kampung-kampung itu saat ini bernama Taman Asri, Campur Asri dan Mekar Asri. Penduduk pendatang ini banyak yang berasal dari Yogyakarta, Surabaya, Bojonegoro, termasuk Bandung dan Sumedang. Oleh penduduk pendatang, nama-nama kota asal ini masih digunakan sebagai penanda lokasi tempat tinggal mereka. Secara administratif nomenklatur yang dipakai adalah nama desa semisal Taman Asri. Namun, di wilayah Taman Asri terdapat kantong (enclave) penduduk yang berasal dari Surabaya atau Bojonegoro sehingga mereka lebih suka menyebut tinggal di 'Surabaya' atau 'Bojonegoro' ketimbang tinggal di Taman Asri. Daerah kantong ini kira-kira seluas Rukun Warga (RW).
 
==Ekonomi==
Pola kedua penduduk pendatang tergabung dalam Transmigrasi Veteran (Transvet) Tahun 1959 dan 1961. Transmigran pola ini bermukin di wilayah sebelah selatan Jalan Lintas Tengah Sumatera. Saat ini mereka bermukim di Desa Bhakti Negara, Setia Negara dan Gedung Rejo. Transmigran ini kebanyakan berasal dari Solo, Yogyakarta, Kedu, Madiun, dan Kediri. Seperti halnya penduduk transmigrasi umum, mereka mengidentifiksi sebagai orang 'Solo' atau 'Madiun' untuk menyebut 'RW' mereka.
 
Kota kecil ini merupakan kecamatan paling ramai di [[Kabupaten Way Kanan]]. Boleh dibilang, pusat perekonomian kabupaten berada di kecamatan ini. Baradatu memiliki sebuah Pasar Inpres di Desa Tiuh Balak, sebuah Pasar Pagi (termasuk 'terminal kecil', dan Tempat Pemungutan Retribusi (TPR)) di Desa Tiuh Balak Pasar, ibukota Baradatu (dalam Bahasa Lampung 'tiuh' berarti 'desa', 'balak' berarti 'besar').
(Identifikasi ini paralel dengan identifikasi penduduk Surakarta yang menyebut dirinya sebagai 'Orang Sala/Solo' (Wong Solo). Secara administratif wilayahnya bernama Surakarta, tetapi lebih dikenal sebagai Solo. tidak pernah ada misalnya, bus jurusan Surakarta-Jakarta, karena yang ada bus Solo-Jakarta. Untuk menyebut nama wilayah, kadang penduduk Baradatu mengidentifikasinya dari nama perempatan. Semisal Desa Gunung Labuhan (sekarang Kecamatan Gunung Labuhan), lebih dikenal penduduk sebagai Simpang Tulung Buyut. Karena Gunung Labuhan berada di perempatan Jalan Lintas Tengah Sumatera dengan jalan yang menuju Desa Gunung Labuhan).
 
 
==Pendidikan==
 
Kota kecil ini merupakan kecamatan paling ramai di Kabupaten Way Kanan. Boleh dibilang, pusat perekonomian kabupaten berada di kecamatan ini. Baradatu memiliki sebuah Pasar Inpres di Desa Tiuh Balak, sebuah Pasar Pagi (termasuk 'terminal kecil', dan Tempat Pemungutan Retribusi (TPR)) di Desa Tiuh Balak Pasar, ibukota Baradatu (dalam Bahasa Lampung 'tiuh' berarti 'desa', 'balak' berarti 'besar'). Selain sebagai pusat perekonomian kabupaten, Baradatu juga dikenal sebagai pusat pendidikan di wilayah Way Kanan. Baradatu memiliki sebuah SMA negeri, empat SMP negeri serta sejumlah sekolah swasta, di antaranya RA, MI, MTs, dan MA milik Yayasan Mathla'ul Anwar, SMP milik [[Muhammadiyah]], SMK milik Yayasan Pendidikan 17 serta beberapa waktu kemarin berdiri kelas jauh (filial) dari Universitas Bandar Lampung (UBL) dan STKIP Metro.
 
 
==Sejarah dan Budaya==
 
Sejarah panjang Baradatu di mulai sejak jaman kolonial [[Belanda]], sejak kota ini mulai dihuni penduduk. Pada awalnya Baradatu berstatus Negeri (semacam desa di masa lalu) yang berada di bawah kekuasaan Kawedanaan [[Blambangan Umpu]]. Negeri Baradatu membawahi kampung-kampung [[Gunung Labuhan]], [[Tiuh Balak]], [[Gunung Katun]], [[Cugah]], dan Banjarmasin (di tepi [[Way Besay]]; dalam [[Bahasa Lampung]] 'way' berarti 'sungai' dan 'besay' berarti besar).
 
Penduduk Baradatu semakin bertambah dengan datangnya gelombang pendatang, utamanya dari tanah [[Jawa]]. Pendatang yang bermukim di Baradatu ini sebagian besar merupakan transmigran. Terdapat dua pola transmigran yang mulai migrasi sejak tahun 1957-1958 ini.
 
Sejarah panjang Baradatu di mulai sejak jaman kolonial belanda, sejak kota ini mulai dihuni penduduk. Pada awalnya Baradatu berstatus Negeri (semacam desa di masa lalu) yang berada di bawah kekuasaan Kawedanaan Blambangan Umpu. Negeri Baradatu membawahi kampung-kampung Gunung Labuhan, Tiuh Balak, Gunung Katun, Cugah dan Banjarmasin (di tepi Way Besay; dalam Bahasa Lampung 'way' berarti 'sungai' dan 'besay' berarti besar). Penduduk Baradatu semakin bertambah dengan datangnya gelombang pendatang, utamanya dari tanah Jawa. Pendatang yang bermukim di Baradatu ini sebagian besar merupakan transmigran. Terdapat dua pola transmigran yang mulai migrasi sejak tahun 1957-1958 ini. Pola pertama, [[Transmigrasi Umum]] (TU) yang kebanyakan bermukim di kampung-kampung sebelah barat [[Jalan Lintas Tengah Sumatera]] yang baru di bentukdibentuk kemudian. Kampung-kampung itu saat ini bernama [[Taman Asri]], [[Campur Asri]], dan [[Mekar Asri]]. Penduduk pendatang ini banyak yang berasal dari Yogyakarta, Surabaya, Bojonegoro, termasuk Bandung dan Sumedang. Oleh penduduk pendatang, nama-nama kota asal ini masih digunakan sebagai penanda lokasi tempat tinggal mereka. Secara administratif [[nomenklatur]] yang dipakai adalah nama desa semisal [[Taman Asri]]. Namun, di wilayah Taman Asri terdapat kantong (enclave) penduduk yang berasal dari Surabaya atau Bojonegoro sehingga mereka lebih suka menyebut tinggal di 'Surabaya' atau 'Bojonegoro' ketimbang tinggal di Taman Asri. Daerah kantong ini kira-kira seluas Rukun Warga (RW).
 
Pola kedua penduduk pendatang tergabung dalam [[Transmigrasi Veteran]] (Transvet) Tahun 1959 dan 1961. Transmigran pola ini bermukin di wilayah sebelah selatan [[Jalan Lintas Tengah Sumatera]]. Saat ini mereka bermukim di [[Desa Bhakti Negara]], [[Setia Negara]], dan [[Gedung Rejo]]. Transmigran ini kebanyakan berasal dari [[Solo]], [[Yogyakarta]], [[Kedu]], [[Madiun]], dan [[Kediri]]. Seperti halnya penduduk transmigrasi umum, mereka mengidentifiksimengidentifikasi sebagai orang '[[Solo']] atau '[[Madiun']] untuk menyebut 'RW' mereka.
 
(Identifikasi ini paralel dengan identifikasi penduduk [[Surakarta]] yang menyebut dirinya sebagai 'Orang Sala/Solo' (Wong Solo). Secara administratif wilayahnya bernama Surakarta, tetapi lebih dikenal sebagai Solo. tidak pernah ada misalnya, bus jurusan Surakarta-Jakarta, karena yang ada bus Solo-Jakarta. Untuk menyebut nama wilayah, kadang penduduk Baradatu mengidentifikasinya dari nama perempatan. Semisal Desa Gunung Labuhan (sekarang Kecamatan Gunung Labuhan), lebih dikenal penduduk sebagai Simpang Tulung Buyut. Karena Gunung Labuhan berada di perempatan Jalan Lintas Tengah Sumatera dengan jalan yang menuju Desa Gunung Labuhan).
 
Pembauran antara penduduk lokal dengan transmigran berjalan tanpa kendala yang berarti. Generasi kedua dan ketiga dari transmigran bahkan sudah mulai tidak dapat berbahasa jawa, termasuk Bahasa Jawa Ngoko. Ritus-ritus dan tradisi yang masih dilakukan transmigran generasi pertama misalnya, tidak lagi dilakukan generasi selanjutnya. Transmigran dan penduduk lokal sejatinya telah bersintesa dalam kebudayaan baru, mengadopsi budaya lokal, budaya pendatang, dan 'budaya nasional'.
Baris 31 ⟶ 47:
 
 
==Wisata==
 
Baradatu tidak banyak memiliki potensi wisata. Satu dasawarsa yang lalu, banyak penduduk yang bertamasya ke Air Terjun. Air Terjun ini belum diberi nama, karena memang tidak dikelola dengan baik. Air Terjun ini berada di Desa Bhakti Negara, dekat 'RW' Semarang. Sehingga penduduk sering menyebutnya Air Terjun Semarang. Adapula yang menyebutnya Air Terjun Kayuagung, karena pada tahun 1970-an, di sekitar air terjun ini bermukim sekira 15 kepala keluarga. Mereka menamakan wilayahnya sebagai Kampung Kayuagung. Namun, sejak tahun 1990-an penduduk Kayuagung banyak yang pindah ke Desa Tiuh Balak Pasar di ibukota kecamatan. Tidak ada penduduk yang tinggal di Kayuagung lagi, kecuali kebun lada dan kopi penduduk. Perpindahan ini sesuatu yang umum terjadi. Penduduk Kayuagung banyak berasal dari sukubangsa Ogan Baturaja (Sumatera Selatan). Penduduk Ogan banyak yang membuka 'hutan', berdiam di sana sembari mengolahnya menjadi ladang lada, atau kopi hingga menghasilkan. Setelah mulai berbuah, mereka biasanya bermigrasi ke daerah-daerah yang lebih ramai.