Galela, Halmahera Utara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k clean up using AWB
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 19:
== SEJARAH GALELA TOBELO ==
 
Menurut laporan Portugis, penduduk pemukiman Tobelo, Galela, terutama Tobaru, adalah pelaku kekejaman dan kekerasan tanpa belas kasihan yang mana mereka menyerang pemukIman orang Moro sepanjang abad ke-16. “Di pulau ini hidup orang-orang yang disebut Tavaros (Tobaru). Mereka orang-orang primitif yang kesenangannya hanya ada dalam membunuh siapapun yang bisa dibunuh. Dan dikabarkan seringkali mereka membunuh istri dan anak-anaknya jika tidak menemukan orang lain yang bisa dibunuh”. Sementara orang Tobaru hidup di lembah sungai Ibu, orang Galela tinggal di pemukiman dengan nama Galela, di tepi Danau Galela dan berada di bawah pemerintahan penguasa Gamkonora di pantai barat jazirah utara Halmahera. Mereka berulangkali menyerang pemukiman orang Moro di Mamuya dan pada tahun 1606 juga menyerang Tolo.
 
Nama Tobelo muncul pertama kalinya pada tahun 1606, ketika orang Moro di Samafo dan Cawa mengungsi ke Tolo untuk menghindari serangan dari penduduk pemukiman bernama Tobelo yang letaknya delapan mil di pedalaman. Lima puluh tahun kemudian, dua pemukiman Tobelo di catat yaitu Tobelo-tia, dan Tobelo-tai. Keduanya terletak di pedalaman, jauh dari jangkauan penguasa Gamkonora dan Ternate. Tahun 1686, Tobelo-tia digambarkan terletak di tepi sebuah danau (diduga sebagai Danau Lina) di pedalaman sebelah utara distrik Kao. Pemukiman tersebut dibagi dalam delapan wilayah dan merupakan wilayah bawahan dari penguasa Gamkonora yang diwakili oleh seorang “hukum”. Sumber yang sama menjelaskan bahwa Tobelo-tai terletak satu hari berlayar ke selatan dari Galela. Dalam peta yang digambar oleh Isaac de Graaf, hanya tiga pemukiman di sepanjang jazirah utara yang dicatat : Galeta (Galela), Tomueway (di lokasi desa Mawea sekarang ini) dan Tubella (Tobelo),terletak di Danau Lina.
Baris 28:
(kemudian tidak ada catatan sejarah tentang Tobelo selama sekitar 150 tahun)
 
Baru pada tahun 1855 nama Tobelo kembali muncul, saat penduduk “kampong Tobelo” menolak untuk menyerahkan seorang bajak laut bernama bernama Laba kepada komandan kapal perang “Vesuvius”. Sang komandan kemudian memerintahkan untuk memborbardir kampung tersebut. Di lokasi tersebut,dikenal sebagai “Berera Ma Nguku” (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Tobelo) yang saat ini letaknya di desa Gamhoku (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Ternate). Setelah penghancuran, penduduknya dipindahkan ke lokasi yang berhadapan dengan pulau Kumo, dimana Gubernur Belanda untuk Maluku memerintahkan membangun pemukiman baru. Kampung ini dikenal sebagai “Berera Ma Hungi” (‘kampug baru’ dari bahasa Tobelo) dan sekarang dikenal dengan nama dari bahasa Ternate yaitu Gamsungi, dengan arti yang sama (kampung baru). Tapi pada saat itu, pemukiman orang Tobelo sudah menyebar di sepanjang pantai daerah Tobelo sekarang dan beberapa bagian pulau Morotai. Tahun 1856, penduduk Tobelo dikabarkan hidup di sembilan domain (negeri atau hoana) yang mana empat diantaranya dihuni yaitu Liena (Lina), Liebatto (Huboto), Laboewah-lamo (Hibua Lamo) dan Nomo (Momulati). Negeri-negeri yang lain ditambahkan pada ke-empat negeri ini dan “tidak lagi menyandang nama negeri”. Pengurangan dari sembilan ke empat negeri ini kemudian dihubungkan dengan administrasi pemerintah Belanda. Campen melaporkan pada tahun 1883 bahwa kesembilan negeri (hoana) ini adalah Katana,Mawea,Patja,Jaro,Saboea Lamo,Lina,Sibotto, Momulati dan Mede tapi “pemerintahan kita (Belanda) membuat pembagian yang sewenang-wenang ke dalam tujuh bagian (hoana), kemudian menjadi lima, dan sekarang...... pembagian ke dalam empat negeri dikembangkan”. Keempat negeri , yaitu Momulati, Lina, Sibotto dan Saboea Lamo, bersama-sama membentuk ibu kota (hoofplast) Tobello. Sebagai tambahan, Campen menyusun daftar dua puluh empat pemukiman Tobelo, hampir semuanya dinamai sesuai dengan nama sungai, atau bentukan pantai (tanjung,teluk atau pulau) dimana mereka tinggal. Dan satu abad kemudian, pada awal 1980-an, ini adalah bentuk yang mana orang Tobelo mengidentifikasi wilayahnya: dua puluh dua pemukiman, yang semuanya terletak di pinggir pantai dan dinamai sesuai dengan kali,sungai, atau teluk dimana mereka tinggal, dikelompokkan ke dalam empat (atau lima) wilayah domain (ma hoana) yaitu Lina, Huboto, Momulati, dan Hibua Lamo (hoana Hibua Lamo berasal dari hoana Gura dan kemudian menggantikan hoana tersebut). Bersama-sama, keempat hoana ini membentuk O Tobelohoka manga ngi, “wilayah Tobelo”.
 
== ORANG MORO DI BUMI HALMAHERA ==
Baris 34:
Ketika Portugis tiba di maluku pada pertengahan abad ke-16, mereka menemukan bahwa pantai timur Halmahera, yang disebut Morotia, dan pulau Morotai dihuni oleh orang-orang yang dikenal sebagai “Orang Moro”.Di wilayah -yang sekarang ini dihuni oleh orang Tobelo dan Galela- orang Moro banyak membangun perkampungan di pesisir pantai. Pada tahun 1556, ada 46 atau 47 perkampungan Moro, yang masing-masing kampung berpenduduk sekitar 700 sampai 800 penduduk. Di jazirah utara,perkampungan Moro ditemukan dari Tanjung Bisoa di utara sampai Cawa di selatan - dekat kota Tobelo sekarang ini. Pulau Morotai dan pulau Rau yang lebih kecil dihuni secara eksklusif oleh orang Moro. Pada tahun 1588 ada sekitar 29 pemukiman di sana. Jumlah yang sama dilaporkan pada pada tahun 1608.
 
Populasi orang Moro sangat besar dibandingkan dengan suku-suku di dekatnya, bahkan jika kita mambaca perhitungan dari misionaris Portugis dengan kritis. Pertengahan abad ke 16 , menurut perkiraan yang paling konservatif orang Moro berjumlah sekurang-kurangnya 20.000 orang. Jumlah populasi yang signifikan ini adalah bukti dari kenyataan bahwa, setelah orang Moro menhilang pada pertengahan abad ke-17, jumlah populasi penduduk yang tersisa di Halmahera berkurang sangat drastis.
 
Pemukiman orang Moro terletak jauh dari suku tetangga mereka seperti Tobelo, Galela dan Tobaru di satu pihak. Pemukiman dari ketiga suku ini terletak jauh di pedalaman dan tidak masuk dalam dalam empat pemukiman utama (Tolo, Sugala, Mamuya di Morotia dan Cawo di Morotai) yang merupakan wilayah orang Moro pada tahun 1536, dan pemukiman Tobelo, Galela, dan Tobaru juga tidak dimasukkan dalam pembagian delapan distrik yang dilakukan tahun 1588 (Sugala, Sakita, Mamuya, Tolo, Cawa, Sopi, Mira dan Cawo). Sangaji yang di tunjuk untuk distrik-distrik Moro ini tidak memiliki otoritas terhadap Tobelo, Galela dan Tobaru.
 
Negeri Moro memiliki hubungan dalam hal pemberian upeti (tributary relationship) dengan Ternate. Mereka menyediakan persediaan makanan bagi Ternate, dan juga bagi Jailolo dan Tidore dalam jumlah yang lebih kecil. Pada tahun 1536 dilaporkan bahwa “...raja-raja Maluku memiliki sebuah negeri yang dibagi-bagi di antara mereka...raja-raja itu tidak memiliki persediaan atau hasil alam untuk menopang kerajaan mereka kecuali yang mereka datangkan dari Moro dimana ada banyak beras dan sagu, daging dan ayam... orang-orang Moro adalah hamba (escravos) dari raja-raja ini”. Dalam pembagian wilayah Moro, Ternate mendapatan bagian terbesar. Tampaknya orang Moro juga berpartisipasi dalam ekspedisi militer Ternate. Sekitar 5000 sampai 6000 penduduk Moro di Mamuya dan Tolo dikabarkan mengambil bagian dalam pasukan Ternate yang membantu Gubernur Portugis Tristao de Ataide untuk menaklukkan Jailolo dan mengalahkan pasukan Spanyol pada tahun 1533.
Baris 42:
Portugis kemudian membangun pertahanan yang kuat di Mamuya. Hal ini kemudian memulai gangguan bagi “tributary relationship” antara Moro dan Ternate, karena setelah itu para penduduk Moro “menolak untuk memberikan suplai makanan” bagi Ternate.
 
Tahun 1536 Katarabumi, penguasa Jailolo, didukung oleh persekutuan dengan Tidore dan Bacan mengusir Portugis dari Moro dan menaklukkan negeri Moro. Para prajurit Tobaru dari lembah sungai Ibu mengambil bagian aktif. Sumber-sumber Portugis mengungkapkan mereka (orang Tobaru) sangat ditakuti karena kemampuan untuk bergerak di dalam hutan tanpa terlihat dan menyerang dengan tiba-tiba. “mereka dikabarkan bisa menghilang (turn themselves invisible)”. Pada tahun berikutnya, pasukan Portugis berhasil merebut kembali negeri Moro (kecuali Sugala). Tapi pada tahun berikutnya, penduduk Moro di Tolo dan Mamuya menderita terutama oleh serangan Tobaru, dan penduduk Moro di Morotai karena serangan Jailolo.
 
Sekitar dekade 1540-an, Jailolo telah menaklukkan pemukiman Moro di Tolo, sebuah pemukiman yang digambarkan oleh Rebelo sebagai “yang terbesar, yang paling banyak penduduknya, dan terkuat dari antara seluruh pemukiman di kepulauan Moro”. Pada 1549 Sultan Hairun dari Ternate bertolak untuk merebut kembali Moro dengan bantuan Portugis. Sementara melakukan pengepungan, gunung di dekat Tolo meletus. Tolo kembali direbut dan para tentara pendudukan dari Jailolo dikejar ke pegunungan.
Baris 49:
 
Pada tahun 1606, ketika Belanda telah mengusir Portugis dari Tidore,sebuah armada Spanyol mendekati Ternate yang disambut dengan tembakan dari sebuah kapal Belanda.Dengan bantuan Tidore, Spanyol merebut Ternate.
Segera setelah pimpinan Spanyol membuang Sultan Ternate ke Filipina, Tidore memperoleh kesempatan untuk sekali lagi menjarahi negeri Moro.Penduduk Moro masih juga diserang dari pedalaman. Di Tolo,misalnya, penduduk Samafo dan Cawa mengungsi untuk menyelamatkan diri dari serangan orang-orang Tobelo dan Galela yang bermukim 8 mil di pedalaman. Hal ini memaksa Spanyol untuk menempatkan pasukan untuk melindungi “penduduk yang bersahabat dari serangan orang Tobelo dan Galela”. Mereka kemudian ditarik kembali untuk mempertahankan Tidore dari serangan pasukan gabungan Belanda dan Ternate. Seorang misionaris bernama Simi membujuk penduduk Tolo untuk mengungsi ke Morotai tetapi mereka memilih berangkat ke Bicoli. Sementara berkemah di pantai Bicoli,mereka ditangkap oleh pasukan Ternate. Tolo dimusnahkan sama sekali. Tahun 1617 dikabarkan tempat tersebut diliputi hutan dan tidak menunjukkan tanda-tanda pernah dihuni.
 
Ketakutan menghadapi nasib yang sama, penduduk Moro di pulau Morotai bersekutu dengan Ternate tapi tidak ada faedahnya. Sesudah pasukan Spanyol ditarik, di bawah pimpinan Sultan Modafar dari Ternate (berkuasa dari 1610-1627), penduduk Cawo,Sopi, Mira dan Sakita dipindahkan ke Dodinga dan Jailolo. Di bawah pengganti Modafar, sisa 800 orang Moro dijadikan budak di Ternate. Sebelumnya, sebagian penduduk yang dipindahkan ke Tidore “dimana putra mahkota Tidore telah melakukan serangan besar-besaran ...dan memperoleh banyak tawanan, laki-laki, perempuan dan anak-anak, dan menjadikan mereka budak Tidore.
Baris 56:
 
DIKUTIP DARI : TOBELO, MORO, TERNATE: THE COSMOLOGICAL VALORIZATION OF HISTORICAL EVENTS
J.D.M. PLATENKAMP
 
== LEGENDATELAGA BIRU GALELA, HALMAHERA UTARA ==
Baris 90:
Telaga Biru kini kembali menangis dan bertanya adakah orang yang dapat bertahan jika di dalam matanya kemasukan butiran pasir atau terkena pedihnya air sabun. Jika masih ada maka jangan wariskan derita ini pada anak cucumu. Ingat dan camkan bahwa negeri ini adalah pinjaman dari anak cucu kita!
 
== CANGA - CANGA I Bajak Laut Tobelo-Galela) ==
Pada abad ke-19, beberapa perairan penting di Indonesia dihantui oleh perompakan-perompakan yang dilakukan para bajak laut. Aksi-aksi para bajak laut ini sangat memusingkan Pemerintah Kolonial Belanda dan angkatan lautnya. Perairan-perairan yang menjadi sasaran operasi bajak laut antara lain perairan Manado, Kepulauan Sulawesi Tenggara, pantai timur Sulawesi, Nusa Tenggara, pantai utara Jawa Timur, serta Maluku. Sampai paruh pertama abad ke-19 ini, pelaku perompakan terutama terdiri dari orang-orang Filipina Selatan, yakni orang Balangigi, Mindanao dan Sulu.
 
Baris 97:
Bajak laut Mindanao yang terkenal ketika itu adalah gerombolan yang dipimpin Syarif Takala. Gerombolan ini beroperasi di sekitar pantai timur Kalimantan dan Sulawesi Utara. Pada 1835, Syarif Takala tertangkap di Batu Putih oleh kapal perang Heldin, dan bersamanya ikut diringkus anak buahnya yang baru selesai beroperasi di Sungai Berau. Ketika ditangkap, Syarif Takala baru saja menikahi puteri Sultan Paji Alam dari Kesultanan Panjang.
 
Disamping gerombolan Syarif Takala, ada gerombolan bajak laut Filipina terkenal lainnya pimpinan Dato Kaiya, yang juga berhasil diringkus Belanda. Baik Syarif Takala maupun Dato Kaiya diseret ke pengadilan kemudian dihukum.
 
Setelah tertangkapnya kedua pentolan bajak laut Filipina itu, perompakan di perairan Kalimantan mereda untuk sementara waktu. Tetapi, dengan ketatnya patroli angkatan laut di kawasan tersebut, para bajak laut Filipina Selatan memindahkan daerah operasinya ke perairan Nusa Tenggara – Flores, Bima dan sekitarnya – serta Kepulauan Maluku.
Baris 154:
 
Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. Berbeda dengan sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. Sebuah pusat kekuasaan tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tapi dapat melakukan tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya.
Bagi sebuah pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak tidak bersekutu melawan mereka.Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan dengan pengikut bersenjatanya untuk melakukan aktifitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan . Pantai timur Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensinya, ketiganya merasakan dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil yang fluktuatif.
 
Pada tahun 1743, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang.
Dengan perluasan kekuasaan oleh kekuasaan kolonial pada awal abad ke -19, perompakan dianggap sebagai tindakan kriminal dan harus dibasmi. Belanda harus berurusan tidak hanya dengan perompakan tetapi juga dengan sistem ekonomi dan politik yang melibatkan para perompak. Perompakan adalah sebuah cara untuk meningkatkan upeti, meningkatkan kekayaan dan membiayai perang yang terjadi dalam skala besar di timur Nusantara pada era Perang Nuku melawan VOC.
 
Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo II, Muhammad Asgar yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.
 
Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores, yang juga terdiri dari bekas pengikut Nuku. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.
Baris 170:
Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai dimana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.
 
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi pemukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
 
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005
Baris 182:
 
Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. Berbeda dengan sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. Sebuah pusat kekuasaan tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tapi dapat melakukan tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya.
Bagi sebuah pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak tidak bersekutu melawan mereka.Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan dengan pengikut bersenjatanya untuk melakukan aktifitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan . Pantai timur Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensinya, ketiganya merasakan dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil yang fluktuatif.
 
Pada tahun 1743, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang.
Dengan perluasan kekuasaan oleh kekuasaan kolonial pada awal abad ke -19, perompakan dianggap sebagai tindakan kriminal dan harus dibasmi. Belanda harus berurusan tidak hanya dengan perompakan tetapi juga dengan sistem ekonomi dan politik yang melibatkan para perompak. Perompakan adalah sebuah cara untuk meningkatkan upeti, meningkatkan kekayaan dan membiayai perang yang terjadi dalam skala besar di timur Nusantara pada era Perang Nuku melawan VOC.
 
Pada dekade 1820-an dan 1830-an beberapa beberapa usaha yang kemudian gagal dilakukan untuk mengubah kelompok perompak semi-nomadik menjadi masyarakat nelayan dan petani yang menetap dengan jalan negosiasi dan pemberian lahan. Usaha terbesar ialah di era pengganti Nuku, raja Jailolo II, Muhammad Asgar yang diberikan tanah di pantai utara Seram . Disini ribuan pengikut raja Jailolo yang hidup berkelana selama Perang Nuku diharapkan menetap secara permanen. Tanah yang kurang subur menyebabkan kekurangan makanan dan juga diduga karena kontak yang terus-menerus dengan para perompak menyebabkan usaha ini berakhir dalam kegagalan.
 
Dua usaha yang serupa dalam skala yang lebih kecil dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk memukimkan dan menenangkan perompak Tobelo di sekitar Flores, yang juga terdiri dari bekas pengikut Nuku. Yang pertama dilakukan oleh Daeng Magasing, bangsawan dari Bonerate yang memiliki hubungan dengan para bajak laut. Dia menggunakan kearifan lokal dan statusnya untuk berhubungan dengan para perompak dan memukimkan mereka di Tanah Jampea. Pulau kecil di Selatan Selayar ini kehabisan penduduk karena serangan yang berkelanjutan. Disini para perompak akan dimukimkan dan diharapkan menjadi petani dan hidup dengan damai dalam perlindungan pemerintah Belanda. Pada tahun 1830, 15 orang pemimpin bajak laut Tobelo menandatangani perjanjian damai yang diperkuat dengan sumpah dengan Daeng Magasing. Tiga tahun kemudian usaha ini gagal karena terbukti bahwa Daeng Magasing sendiri terlibat dalam aksi pembajakan dengan menggunakan suplai yang diberikan oleh Belanda.
Baris 198:
Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai dimana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.
 
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi pemukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
 
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005