Boenga Roos dari Tjikembang (novel): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 32:
Terinspirasi oleh lirik lagu ber[[bahasa Inggris]] "''If Those Lips Could Only Speak''" ({{lang-id|"Jika Bibir Itu Dapat Berbicara"}}) dan [[sandiwara]] "''[[Impian di Tengah Musim]]''" karya [[William Shakespeare]], ''Boenga Roos Bahasa Dari Tjikembang'' awalnya ditulis sebagai cerita garis besar untuk grup drama panggung Union Dalia. Kwee mencampurkan beberapa bahasa lainnya, khususnya [[bahasa Belanda|Belanda]], [[Bahasa Sunda|Sunda]], dan Inggris; ia memasukkan dua kutipan dari puisi bahasa Inggris dan satu lagi dari lagu bahasa Inggris. Novel ini telah ditafsirkan berbagai sebagai suatu promosi [[teosofi]], sebuah risalah pada konsep [[reinkarnasi]] [[Buddhisme]], panggilan untuk pendidikan, sebuah ode penghormatan untuk para ''[[nyai]]'', dan kecaman terhadap bagaimana mereka diperlakukan kala itu.
 
Novel ini awalnya diterbitkan sebagai [[cerita bersambung]] di majalah ''Panorama'' milik Kwee; cerita ini segera terbukti menjadi karyanya yang paling populer. Tahun 1930 telah ditemukan beberapa adaptasi drama panggung yang tidak resmi, sehingga membuat Kwee meminta para pembacanya untuk membantu dia menegakkan [[hak cipta]]nya atas karyanya tersebut. Karya ini difilmkan dua kali, pertama yaitu ''[[Boenga Roos dari Tjikembang (film 1931)|Boenga Roos dari Tjikembang]]'' (1931) oleh [[The Teng Chun]] kemudian ''[[Bunga Roos]]'' (1975) oleh [[Fred Young]]. Buku ini, meskipun tidak dianggap sebagai bagian dari kanon sastra Indonesia, memiliki peringkat di antara karya paling dicetak ulang dalam [[sastra Melayu Tionghoa]]. Karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda dan Inggris.
 
== Alur ==
Oh Aij Tjeng adalah seorang pria [[Tionghoa Indonesia|Tionghoa]] muda yang mengelola sebuah perkebunan di [[Jawa Barat]]. Dia tinggal di sana dengan ''[[nyai]]''-nya, seorang wanita [[Suku Sunda|Sunda]] bernama Marsiti. Keduanya sangat mencintai satu sama lain dan berjanji untuk setia selamanya. Namun, tidak lama setelah itu, ayah Aij Tjeng, Oh Pin Loh datang untuk memberitahu Aij Tjeng bahwa ia telah [[pertunangan|ditunangkan]] dengan Gwat Nio, putri dari Liok Keng Djim, pemilik perkebunan tersebut. Marsiti pun diusir pergi oleh Oh tua. Aij Tjeng memerintahkan Tirta, pelayannya untuk menemukan Marsiti, namun ia pun ikut menghilang. Setelah menikah, Aij Tjeng menemukan dalam diri Gwat Nio semua sifat sama yang membuatnya jatuh cinta dengan Marsiti, bahkan lebih halus. Dia jatuh cinta dengan Gwat Nio dan mulai melupakan Marsiti.
 
Tidak lama kemudian Keng Djim memanggil Aij Tjeng dan Gwat Nio menjelang kematiannya, di mana ia mengaku bahwa ia baru-baru ini mengetahui bahwa Marsiti adalah putrinya dari ''nyai''-nya, seorang [[pribumi]] yang dimilikinya saat muda, dan bahwa Marsiti baru saja meninggal. Dengan demikian, ia sangat menyesal bahwa ia dan Pin Loh telah mengusirnya dari perkebunannya. Keng Djim mengisyaratkan bahwa dia mempunyai rahasia lain untuk dibagikan, namun meninggal sebelum dia bisa mengungkapkannya. Aij Tjeng mencari ayahnya, untuk menanyakan rahasia tersebut, tetapi menemukan bahwa ayahnya juga telah meninggal.
Baris 47:
Lima tahun kemudian, Bian Koen dan Roosminah tinggal di Gunung Mulia dengan dua anak mereka. Saat Aij Tjeng dan Gwat Nio mengunjungi, putri mereka, Elsy (dibimbing oleh roh Marsiti) membawakan mereka bunga dari pohon yang telah ditanam Marsiti. Keluarga tersebut menganggapnya sebagai tanda cintanya.
 
== Penulisan ==
''Boenga Roos Dari Tjikembang'' ditulis oleh jurnalis [[Kwee Tek Hoay]]. Lahir dari seorang pedagang tekstil etnis Tionghoa dan istri pribuminya,{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=273}} Kwee dibesarkan dalam [[budaya Tionghoa]] dan sekolah yang berfokus pada modernitas. Pada saat ia menulis novel ini, Kwee adalah seorang pendukung aktif teologi [[Buddhisme]]. Namun, ia juga banyak menulis tentang tema yang berkaitan dengan pribumi{{sfn|JCG, Kwee Tek Hoay}} dan adalah seorang pengamat sosial yang tajam.{{sfn|The Jakarta Post 2000, Chinese-Indonesian writers}} Kwee banyak membaca dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Melayu; Ia mendapat banyak pengaruh dari bacaan-bacaan ini setelah menjadi penulis.{{sfn|Sidharta|1996|pp=333–334}} Novel pertamanya, ''Djadi Korbannja "Perempoean Hina"'', diterbitkan pada tahun 1924.{{sfn|Sumardjo|1989|p=92}}
 
Baris 54:
''Boenga Roos Dari Tjikembang'' dibagi menjadi tujuh belas bab{{sfn|Kwee|1930|p=100}} dan cetakan pertama panjangnya 157 halaman.{{sfn|Sidharta|1989|p=307}} Dengan demikian, novel ini jauh lebih pendek dari beberapa karya lain Kwee. ''[[Drama Dari Merapi]]'' panjangnya 620 halaman, sementara ''[[Drama di Boven Digoel]]'', karya terpanjangnya, adalah 718 halaman.{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=273}} Penterjemah George A. Fowler menulis bahwa, dibandingkan karya tulis yang diterbitkan oleh [[Balai Pustaka]], buku ini tidak mengalami [[penyuntingan salinan]] profesional sebelum publikasinya; ini adalah umum untuk karya [[sastra Melayu Tionghoa]] kala itu, yang "tidak pernah, atau memang menginginkan filter 'selera sastra' editor Eropa yang korektif dan preskriptif".{{sfn|Fowler|2013b|p=xxix}}
 
== Gaya penulisan ==
''Boenga Roos Dari Tjikembang'' ditulis dalam bahasa [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|Melayu rendah]], karena umum untuk karya-karya penulis kontemporer Tionghoa di [[Hindia Belanda]].{{sfn|Sumardjo|1989|p=100}} Kritikus sastra Indonesia [[Jakob Sumardjo]] menulis bahwa dengan penggunaan bahasa ini oleh Kwee, yang umum dalam masyarakat kontemporer kala itu, karya ini adalah lebih "modern" dibandingkan sebagian besar publikasi Balai Pustaka yang lebih formal, mungkin dengan perkecualian ''[[Salah Asuhan]]'' karya [[Abdoel Moeis]] (yang diterbitkan pada tahun berikutnya): karya ini tetap fokus pada peristiwa penting, yang diperlukan untuk memajukan cerita secara keseluruhan.{{sfn|Sumardjo|1989|p=101}} Buku ini menggunakan kata-kata non-Melayu dengan biasa: Sumardjo menghitung 87 kata-kata [[bahasa Belanda]], 60 dari [[bahasa Sunda]], dan 14 dari [[bahasa Inggris]].{{sfn|Sumardjo|1989|p=120}}
 
Baris 87:
|}
 
== Tema novel ==
Dalam kata pengantarnya, Kwee menulis bahwa ''Boenga Roos dari Tjikembang'' dimaksudkan untuk membawa pembacanya untuk mempertimbangkan bagaimana nasib sering bertentangan dengan keinginan-keinginan mereka yang terlibat.{{sfn|Kwee|2001|p=300}} Namun pembacaan secara kritis telah menciptakan beragam pendapat. Sidharta mencatat bahwa buku ini penuh dengan mistisisme yang umum pada waktu itu,{{sfn|Sidharta|1996|pp=333–334}} begitu pula ahli kebudayaan Tionghoa John Kwee yang menyebutkan empat contoh: mimpi Marsiti, yang kemudian terbukti menjadi nyata bak ramalan, di mana ia secara paksa dipisahkan dari Aij Tjeng meskipun dia terikat janjinya bahwa mereka tak akan pernah berpisah; sebuah ide tentang bersatu-kembalinya seseorang dengan orang yang dicintai setelah kematian; roh Marsiti yang menghadiri pernikahan putrinya, dan adegan menjelang akhir novel ini di mana roh Marsiti memandu putri Roosminah untuk memetik bunga untuk Aij Tjeng dan Gwat Nio.{{sfn|Kwee|1989|pp=178–179}} Sutedja-Liem, dalam nada yang sama, menekankan kekuatan mistis yang tampaknya dimiliki Marsiti. Dia menyimpulkan bahwa pengabaian [[Realisme sastra|realisme]] ini memberikan buku ini (yang mengandung pesan "modern"), sebagai "anti-modern".{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=269}} [[Nio Joe Lan]], dalam buku sejarah sastra Melayu Tionghoa yang ditulisnya, mencatat bahwa Kwee adalah satu-satunya penulis roman dari etnis Tionghoa di Hindia Belanda yang juga menulis tentang [[filsafat Timur]] (terutama [[filsafat Tionghoa]]). Dia menemukan bahwa mistisisme telah menjadi tema umum dalam karya Kwee, mencatat hal ini telah sangat berkembang dengan baik dalam novel Kwee di kemudian hari, ''[[Soemangetnja Boenga Tjempaka]]''.{{sfn|Nio|1962|p=108}}
 
Baris 96:
Sidharta berpendapat bahwa novel ini ditulis sebagai argumen bahwa [[keabsahan (hukum)|anak-anak tidak sah]] dari para ''nyai'' pun mampu berkembang normal layaknya manusia pada umumnya, bila mendapat pendidikan yang layak.{{sfn|Sidharta|1996|pp=333–334}} Sutedja-Liem juga menemukan bahwa kebutuhan akan pendidikan (termasuk pemahaman tentang musik) adalah sesuatu yang tersirat dan ditemukan dalam novel ini. Namun, tidak seperti Sidharta, dia menganggap pesan ini diarahkan tidak hanya pada anak-anak para ''nyai'', tetapi wanita pada umumnya.{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=271}} Bahwa hanya dengan mendapat pendidikan dan mengikuti [[etiket]] Tinghoa dan Eropa lah seorang perempuan dapat dianggap benar-benar "modern".{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=273}}
 
== Sejarah penerbitan ==
''Boenga Roos Dari Tjikembang'' awalnya diterbitkan pada tahun 1927, sebagai [[cerita bersambung]] di majalah ''Panorama'' milik Kwee, berjalan dari bulan Maret sampai September.{{sfn|Sidharta|1989|p=307}} Cerita ini disusun sebagai buku di akhir tahun tersebut dan diterbitkan oleh ''Hoa Siang In Kiok''.{{sfn|Sidharta|1989|p=307}} Cetakan ini, dengan slogan "Roh manoesia djadi mateng dalem tangis / ''The soul ripens in tears''" di sampulnya,{{sfn|Sumardjo|1989|p=101}} terjual habis.{{sfn|Kwee|1930|p=IV}} Namun, Kwee berpendapat bahwa "pekerjaan mengarang cerita Melayu ... tidak memberi hasil yang cukup untuk hidup" .{{efn|Asli: "''... pakerdjaan mengarang tjerita Melajoe ... tida membri hatsil jang bole dipake idoep.''"}}{{sfn|Kwee|1930|p=II}}
 
Buku ini kemudian terbukti menjadi salah satu novel Kwee yang paling populer , dan merupakan salah satu karya yang paling sering dicetak ulang dalam sastra Melayu Tionghoa.{{sfn|Sidharta|2001|pp=xx–xxi}} Cetakan kedua buku ini adalah pada tahun 1930, oleh Panorama,{{sfn|Kwee|1930|p=V}}, dan pencetakan ketiga oleh Swastika pada tahun 1963;{{sfn|Sidharta|1989|p=307}} pada saat itu novel ini adalah satu-satunya karya sastra Melayu Tionghoa yang telah diterbitkan ulang setelah [[Revolusi Nasional Indonesia]] (1945-1949).{{sfn|Kwee|1989|p=172}} Sidharta mencatat pencetakan keempat pada tahun 1972, meskipun dia tidak mencatat nama penerbitnya.{{sfn|Sidharta|1996|pp=333–334}} Sebuah versi pencetakan baru yang mengadaptasi [[EYD|reformasi ejaan 1972]], dimuat dalam jilid kedua dari ''Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia'', sebuah buku antologi sastra Melayu Tionghoa.{{sfn|Kwee|2001|p=297}}
 
Beberapa terjemahan novel ini telah dibuat. Pada tahun 2007 ''Boenga Roos Dari Tjikembang'' diterjemahkan ke bahasa Belanda sebagai ''De roos uit Tjikembang'' oleh Sutedja-Liem; edisi ini diterbitkan oleh [[Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde|KITLV]].{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=269}} Pada tahun 2013 [[Yayasan Lontar]] menerbitkan sebuah terjemahan bahasa Inggris oleh Fowler dengan judul ''The Rose of Cikembang''.{{sfn|Kwee|Fowler|2013|p=cover}}
 
== Tanggapan ==
[[Berkas:Dardanella advertisement, Boenga Roos dari Tjikembang.jpg|thumb|alt=Advertensi koran|Sebuah iklan untuk penampilan ''Boenga Roos dari Tjikembang'' di ''[[Royal Bioscoop]]'', [[Medan]] oleh grup sandiwara [[Dardanella]], 1930.]]
 
Baris 114:
Novel ini, seperti halnya dengan semua hasil karya tulis dalam [[Bahasa dagang dan kreol Melayu|bahasa Melayu rendah]] kala itu, belum dianggap sebagai bagian dari kanon sastra Indonesia.{{sfn|Sumardjo|1989|p=100}} Dalam tesis doktoratnya, J. Francisco B. Benitez berpendapat mengenai penyebab sosio-politik hal ini. Pemerintah kolonial Belanda kala itu menggunakan [[Bahasa Melayu|bahasa Melayu tinggi]] sebagai "bahasa administrasi", bahasa untuk urusan sehari-hari, sementara kaum nasionalis Indonesia lalu menyesuaikan bahasa ini untuk membantu membangun sebuah budaya nasional. Sastra Melayu Tionghoa, yang ditulis dalam Melayu "rendah" kemudian menjadi kian terpinggirkan.{{sfn|Benitez|2004|pp=82–83}} Namun Sumardjo melihat pertanyaan tentang klasifikasi: meskipun Melayu rendah adalah [[lingua franca]] Hindia Belanda kala itu, bahasa ini bukan bahasa Indonesia, dan karena itu, ia bertanya apakah karya dalam bahasa Melayu rendah harus diklasifikasikan sebagai sastra lokal, sastra Indonesia, atau hanya sastra Melayu Tionghoa.{{sfn|Sumardjo|1989|p=100}}
 
== Catatan kaki ==
{{notelist}}
 
== Referensi ==
{{reflist|30em}}
 
== Referensi ==
{{refbegin|40em}}
* {{cite thesis
|url=http://sunzi.lib.hku.hk/ER/detail/hkul/3516232
|type=Ph.D. thesis
Baris 133:
|ref=harv
}} {{subscription required}}
* {{cite book
|title=[[Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa]]
|trans_title=
Baris 169:
| ref = {{sfnRef|Filmindonesia.or.id, Bunga Roos}}
}}
* {{cite news
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2000/05/26/chineseindonesian-writers-told-tales-life-around-them.html/
|title=Chinese-Indonesian writers told tales of life around them
Baris 179:
|date=26 May 2000
}}
* {{Cite book
|title=Belenggu Pasca-Kolonialisme
|trans_title=Shackles of Post-Colonialism
Baris 189:
|ref=harv
}}
* {{Cite book
|chapter=Introduction
|pages=vii–xxviii
Baris 200:
|ref=harv
}}
* {{Cite book
|chapter=Translator's Note
|pages=xxix–xxx
Baris 211:
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Kwee
|first=John
Baris 228:
|ref=harv
}}
* {{Cite book
|title=Boenga Roos dari Tjikembang
|trans_title=The Rose of Tjikembang
Baris 239:
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Kwee
|first=Tek Hoay
Baris 259:
|ref=harv
}}
* {{Cite book
|title=The Rose of Cikembang
|last1=Kwee
Baris 271:
|ref=harv
}}
* {{cite web
|url=http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1555/Kwee-Tek-Hoay
|title=Kwee Tek Hoay
Baris 282:
|ref={{sfnRef|JCG, Kwee Tek Hoay}}
}}
* {{Cite book
|title=Sastera Indonesia-Tionghoa
|trans_title=
Baris 294:
|year=1962
}}
* {{cite book
|last=Oey
|first=Eric
Baris 311:
|ref=harv
}}
* {{cite news
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/31/remembering-overlooked-auteur.html/
|title=Remembering an overlooked auteur
Baris 323:
|date=31 Januari 2012
}}
* {{cite book
|last=Sidharta
|first=Myra
Baris 340:
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Sidharta
|first=Myra
Baris 357:
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Sidharta
|first=Myra
Baris 374:
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Sidharta
|first=Myra
Baris 394:
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Sumardjo
|first=Jakob
Baris 411:
|ref=harv
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=ch7pIrYoF3kC
|title=Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches
Baris 423:
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Sutedja-Liem
|first=Maya