Suku Sunda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 106:
Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap ''“silih asih, silih asah, dan silih asuh”'', artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan berikut ini:
* ''Kawas gula eujeung peueut'' yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.
* ''MulahUlah marebutkeun balung tanpa eusi'' yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.
* ''MulahUlah ngaliarkeun taleus ateul'' yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.
* ''MulahUlah nyolok panon buncelik'' yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.
* ''Buruk-buruk papan jati'' yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
 
Baris 114:
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda terpancar dalam ungkapan-ungkapan:
 
* ''Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balareyabalarea'' (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
* ''Bengkung ngariung bongkok ngaronyok'' (bersama-sama dalam suka dan duka).
* ''Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju'' (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun)