Ahmad Khātib as-Sambāsi: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k clean up, replaced: Beliau → Ia, beliau → ia using AWB
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 2:
 
== Kehidupan Awal ==
Ahmad Khatib Sambas dilahirkan di daerah [[Kampung Dagang]], [[Sambas]], [[Kalimantan Barat]], pada bulan shafar 1217 H. bertepatan dengan tahun 1803 M. dari seorang ayah bernama [[Abdul Ghaffar bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin]]. Ahmad Khatib terlahir dari sebuah keluarga perantau dari [[Kampung Sange]]’. Pada masa-masa tersebut, tradisi merantau memang masih menjadi bagian dari cara hidup masyarakat di [[Kalimantan Barat]].
 
Sebagai sebuah daerah yang dibangun oleh Raja Tengah, keturunan dari [[Raja Brunei Darussalam]], pada tahun 1620 M. dan menobatkan diri sebagai sebuah kerajaan sepuluh tahun kemudian. Maka wilayah [[Sambas]] adalah daerah yang telah memiliki ciri-ciri kemusliman khusus sejak [[Raden Sulaiman]] yang bergelar [[Muhammad Tsafiuddin]] dinobatkan sebagai [[Sultan Sambas pertama]].
Baris 10:
Dalam suasana demikianlah, Ahmad Khatib Sambas menjalani masa-masa kecil dan masa remajanya. Di mana sejak kecil, Ahmad khatib Sambas diasuh oleh pamannya yang terkenal sangat alim dan wara’ di wilayah tersebut. Ahmad Khatib Sambas menghabiskan masa remajanya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, ia berguru dari satu guru-ke guru lainnya di wilayah kesultanan Sambas. Salah satu gurunya yang terkenal di wilayah tersebut adalah, [[H. Nuruddin Musthafa]], Imam Masjid Jami’ [[Kesultanan Sambas]].
 
Karena terlihat keistimewaannya terhadap penguasaan ilmu-ilmu keagamaan, Ahmad Khatib Sambas kemudian dikirim oleh orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya ke [[Timur Tengah]], khususnya ke [[Makkah]]. Maka pada tahun 1820 M. Ahmad Khatib Sambas pun berangkat ke tanah suci untuk menuntaskan dahaga keilmuannya. Dari sini kemudian ia menikah dengan seorang wanita Arab keturunan Melayu dan menetap di Makkah. Sejak saat itu, Ahmad Khatib Sambas memutuskan untuk menetap di [[Makkah]] sampai wafat pada tahun 1875 M.
 
Sebagian besar penulis [[Eropa]] membuat catatan salah, ketika mereka menyatakan bahwa sebagian besar [[Ulama Indonesia]] bermusuhan dengan pengikut [[sufi]]. Hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bahwa Syeikh Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai seorang Ulama (dalam arti intelektual), yang juga sebagai seorang [[sufi]] (dalam arti pemuka thariqat) serta seorang pemimpin umat yang memiliki banyak sekali murid di Nusantara. Hal ini dikarenakan perkumpulan [[Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah]] yang didirikannya, telah menarik perhatian sebagian masyarakat muslim [[Indonesia]], khususnya di wilayah [[Madura]], [[Banten]], dan [[Cirebon]], dan tersebar luas hingga ke [[Malaysia]], [[Singapura]], [[Thailand]], dan [[Brunei Darussalam]].
Baris 42:
Survey tentang sejarah [[Tarekat Qadiriyah]] dan [[Tarekat Naqsyabandiyah]] mempunyai hubungan yang erat dengan pembangunan masyarakat Indonesia. Thariqat ini merupakan salah satu keunikan masyarakat muslim Indonesia, bukan karena alasan yang dijelaskan di atas, tetapi praktek-praktek Thariqat ini menghiasi kepercayaan dan budaya masyarakat Indonesia.
 
[[Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah]] secara substansial merupakan aktualisasi seluruh ajaran Islam (Islam Kaffah); dalam segala aspek kehidupan. Tujuan [[Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah]] adalah tujuan Islam itu sendiri. Menurut sumber utamanya, Alquran, Islam sebagai agama diturunkan untuk membawa umat manusia ke jalan yang lurus, jalan keselamatan yang bermuara pada kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (hasanah fi al-dunya dan hasanah fil al-akhirat).
 
== Pandangan Filosofis ==
Pandangan filosofis [[Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah]] mengenai hubungan kemasyarakatan, baik dengan sesama muslim mahupun dengan yang bukan muslim, dapat dilihat dalam bagian uraian Tanbih berikut:
 
1. Terhadap orang-orang yang lebih tinggi dari kita, baik zahir maupun batin, harus kita hormati, begitulah seharusnya hidup rukun saling menghargai.
Baris 51:
2. Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala-galanya jangan sampai terjadi persengketaan, sebaliknya harus bersikap rendah hati bergotong- royong dalam melaksanakan perintah Agama maupun Negara, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaaan, kalau-kalau kita terkena firmanNya “Adzabun Alim” yang artinya duka nestapa untuk selama-lamanya dari dunia hingga akhirat;
 
3. Terhadap orang-orang yang keadaannya di bawah kita, janganlah menghinanya atau berbuat tidak senonoh bersika angkuh, sebaliknya harus bersikap belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya harus dituntun dan dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan memberi keinsafan dalam menginjak jalan kebajikan;
 
4. Terhadap fakir miskin, harus kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan.
{{Indonesia-bio-stub}}
 
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Ulama Indonesia]]
[[Kategori:Cendekiawan Muslim Indonesia]]
 
 
{{Indonesia-bio-stub}}