Sejarah Kota Samarinda: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 8:
Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan daerah taklukan (vasal) dari [[Kerajaan Banjar]] yang semula bernama [[Kerajaan Negara Dipa]], ketika dipimpin oleh Maharaja Suryanata, sezaman dengan era Kerajaan Majapahit (abad ke-14—15 M).<ref name="HB">{{cite book |last=Ras |first=Johannes Jacobus |authorlink=Johannes Jacobus Ras |date=1990 |title=Hikayat Banjar |language=bahasa Melayu |publisher=Diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka}}</ref>
Pusat Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama semula di Jahitan Layar, kemudian berpindah ke Tepian Batu pada tahun 1635, setelah itu pindah lagi ke Pemarangan ([[Jembayan, Loa Kulu, Kutai Kartanegara|Jembayan]]) pada tahun 1732, terakhir di [[Tenggarong]] sejak tahun 1781 hingga 1960. Penduduk awal yang mendiami Kalimantan bagian timur adalah [[Suku Kutai]] Kuno yang disebut Melanti termasuk ras [[Melayu Deutero|Melayu Muda]] (Deutro Melayu) sebagai hasil percampuran ras Mongoloid, Melayu, dan Wedoid yang migrasi dari [[Semenanjung Kra]] pada abad ke-2 Sebelum Masehi (SM).<ref
=== Enam kampung awal di Samarinda dan penghuninya ===
Baris 45:
Raja Kutai saat itu, [[Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura]] mengabulkan permintaan tersebut kemudian memberikan lokasi kampung dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan kepada mereka. Kesepakatannya, orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama dalam menghadapi musuh.<ref name="MKSKS 168"/>
Semula rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (sekarang daerah pesisir [[Selili, Samarinda Ilir, Samarinda|Selili]]). Tetapi daerah ini terdapat kesulitan dalam pelayaran karena daerah yang arusnya berputar (berulak) dan banyak kotoran sungai. Selain itu terlindung oleh ketinggian Gunung Selili. Dengan kondisi seperti itu, Raja Kutai memerintahkan La Mohang Daeng Mangkona bersama pengikutnya membuka perkampungan di tanah rendah bagian seberang Samarinda. La Mohang Daeng Mangkona mulai membangun daerah baru itu dengan bantuan seluruh pengikutnya.<ref>Tim Penyusun (2004), p. 168</ref>
Versi ke-2 menurut catatan Kesultanan Kutai Kartanegara, waktu kedatangan rombongan Bugis Wajo di Samarinda pertama kali terjadi pada tahun 1708, pada masa Raja [[Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura|Adji Pangeran Anum Panji Mendapa]]. <ref name="kutai">Kedaton, Demang (1940). ''Silsilah Kutai''. Tenggarong.</ref>
Versi ke-3 menurut berita lisan atau cerita rakyat, rombongan Bugis Wajo merantau ke Samarinda pada masa pemerintahan Raja Kutai [[Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura|Aji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa ing Martadipura]] (1730–1732). Latar belakang hijrahnya La Mohang Daeng Mangkona ke Samarinda Seberang disebabkan kepadatan pemukiman para pendatang Bugis Wajo di Muara [[Sungai Kendilo]], daerah Paser. Sebelumnya, mereka migrasi dari Wajo di bawah pimpinan [[La Madukelleng|La Maddukkelleng]] karena negeri kelahirannya dikuasai oleh [[Kerajaan Bone]] akibat serangan Bone setelah kasus penikaman seorang bangsawan Bone oleh La Maddukkelleng pada sebuah acara pesta sabung ayam.<ref name="MKSKS 168">Tim Penyusun (2004), p. 33</ref>
Versi ke-4 menurut kutipan C.A. Mees, permintaan izin orang Bugis dengan Raja Kutai berlangsung di Jembayan, yang berarti pertemuan ini terjadi minimal pada tahun 1732, sesuai dengan catatan sejarah bahwa pusat kerajaan dari Kutai Lama dipindahkan ke Jembayan pada tahun 1732–1782. Kemudian, pemimpin orang Bugis yang disetujui sebagai Pua Ado adalah Anakoda Tujing, bukan La Mohang Daeng Mangkona.<ref>Mees, pp. 264-265</ref>
Baris 57:
Ada beraneka versi mengenai latar belakang terciptanya nama Samarinda.
Versi pertama berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit/terapung penduduk Bugis Wajo di [[Samarinda Seberang]] yang tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain, sehingga disebut “sama-rendah”, yang juga bermakna tatanan kemasyarakatan yang egaliter.<ref>Tim Penyusun (2004), p. 34</ref>
Versi kedua berdasarkan persamaan ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendah. Sampai awal dasawarsa tahun 1950-an setiap air Sungai Mahakam pasang naik, sebagian besar jalan-jalan di Samarinda selalu terendam air. Terlebih lagi jika sedang pasang besar, ada beberapa jalur jalan yang sama sekali tidak dapat dilintasi kendaraan karena ketinggian air yang merendamnya. Guna menanggulangi masalah tersebut, sejak awal 1950-an dilakukan penurapan lalu jalan ditinggikan hingga berkali-kali. Pada tahun 1978 ketinggian total bertambah 2 meter dari permukaan awal sehingga jalan tidak lagi terendam kecuali Mahakam pasang luar biasa.<ref>Dachlan, Oemar (1978). “''Asal-Usul Nama Samarinda Sejak Zaman sebelum Kemerdekaan, Nama Ini Sudah Terkenal di Seluruh Indonesia''.” Jakarta: Majalah Bulanan Prima, April 1978 dalam Oemar Dachlan, ''Kalimantan Timur dengan Aneka Ragam Permasalahan dan Berbagai Peristiwa Bersejarah yang Mewarnainya'', (Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu, 2000), hlm. 133.</ref>
Baris 75:
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 75 tanggal 16 Agustus 1896 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum A.D.H. Heringa, Samarinda ditetapkan sebagai wilayah Rechtstreeks Gouvernemen Bestuur Gebied alias tempat kedudukan pemerintah Belanda dan merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Wilayah Samarinda yang juga diistilahkan dengan Vierkante-Paal itu meliputi areal seluas ± 2 kilometer persegi, yang terbentang antara sungai Karang Asem Besar (Teluk Lerong) di hulu sampai sungai Karang Mumus di hilir, dengan jarak 500 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Status Vierkante-Paal Samarinda sebenarnya adalah pinjaman dari Kesultanan Kutai, tetapi kemudian diklaim rezim kolonial Belanda.
Tujuh tahun kemudian, tepatnya 28 April 1903, luas wilayah Vierkante-Paal ditambah lagi di bagian hilir dengan memasukkan Sungai Kerbau (sekarang termasuk Kelurahan Selili) dengan jarak 800 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Ketentuan ini ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 25 tanggal 28 April 1903 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum C.B. Nederburg.<ref>Tim Penyusun (1992)
Sekitar tahun 1870 La Jawa gelar Kapitan Jaya memimpin beberapa orang Bugis untuk membuka [[Bugis, Samarinda Kota, Samarinda|Kampung Bugis]] (di kawasan kantor Korem sekarang). Tahun 1880 La Makkaroe Daeng Masikki, seorang Bugis Bone, dihikayatkan membuka pemukiman di [[Jawa, Samarinda Ulu, Samarinda|Kampung Jawa]]. Sementara itu, orang-orang Banjar tidak membentuk kampung khusus Banjar karena penyebaran mereka merata di wilayah Samarinda dan Kesultanan Kutai.
Baris 96:
== Daftar pustaka ==
* {{cite book |last=Mees |first=Constantinus Alting |date=1935 |title=De Kroniek van Koetai |publisher=Santpoort: N.V. Uitgeverij}}
* Tim Penyusun (1992). ''Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa''. Samarinda: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur.
* {{cite book |last=Sarip |first=Muhammad |date=2015 |title=Samarinda Bahari, Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda |publisher=Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari |isbn=978-602-73617-0-6}}▼
* Tim Penyusun (2004). ''Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda''. Samarinda: Pemerintah Kota Samarinda
▲* {{cite book |last=Sarip |first=Muhammad |date=2015 |title=Samarinda Bahari, Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda |publisher=Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari |isbn=978-602-73617-0-6}}
{{Kota di Indonesia|prefix=Sejarah|title=Sejarah kota-kota di Indonesia|state=collapsed}}
|