Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 7:
== Kronologi ==
=== Awal Mula ===
Pada [[1 Januari]] [[1933]], [[Gubernur Jenderal Hindia Belanda]] [[Bonifacius Cornelis de Jonge|Bonifacius Cornelis De Jonge]] mengumumkan kebijakan akan memotong gaji pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda (tentara dan pegawai negeri) sebesar 17%. Penurunan gaji pegawai tersebut merupakan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengurangi defisit anggaran belanja akibat depresi ekonomi<ref>[[Great Depression]]</ref> yang melanda dunia pada saat itu.
Baris 15 ⟶ 17:
Mengetahui bahwa kabar ini sudah tersiar, komandan kapal dan para awak kapal melakukan briefing. “Saya harap jangan sampai kalian meniru contoh yang jelek untuk mengadakan pemogokan juga di kapal ini dengan alasan bahwa kalian tidak dapat menyetujui penurunan gaji,” kata Eikenboom, komandan kapal Hr.Ms. De Zeven Provincien. Pidato bernada ancaman itu tidak menurunkan semangat perlawanan para awak kapal. Paraja dan Rumambi, dua awak kapal berdarah Indonesia, memimpin sebuah gerakan untuk pemberontakan di atas kapal tujuh itu. Diputuskan pula bahwa mereka akan membawa kapal perang milik Belanda ini ke Surabaya. Paraja dan Rumambi mendorong sebuah pertemuan di darat. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain Gosal, Kawilarang, Kaunang, Posuma, Hendrik, Sudiana, Supusepa, Luhulima, Abas, Tuanakotta, Pelupessy, Delakrus, Suparjan, Achmad, Tuhumena, J Parinusa dan Manuputi. Hadir pula Maud Boshart dan pelaut-pelaut Belanda yang setuju dengan rencana pemberontakan.
=== Puncak Pemberontakan ===
Begitulah, pada [[4 Februari]] [[1933]], sekitar pukul 22.00 malam, peluit panjang berbunyi untuk menandai dimulainya pemberontakan. Para awak kapal melakukan pengambil-alihan kendali kapal dari tangan Belanda. Awak kapal keturunan Indonesia dipimpin oleh Paraja dan Gosal, sedangkan awak kapal Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd. ▼
Tanggal 4 Februari 1933, Untuk menenangkan situasi para perwira Belanda malah membuat blunder. Mereka mengadakan pesta di kantin KNIL di Uleelheue, Aceh, dengan membuang duit sebesar 500 [[Gulden]], dan menyediakan nona-nona Belanda untuk berdansa dengan para pelaut pribumi. Tetapi pelaut Indonesia menolak hadir.
Malam harinya, tiba-tiba seorang letnan yang berpesta di darat memerintahkan Boshart membawanya pulang ke kapal. Ternyata perwira jaga di kapal sudah tewas. M Sapiya dalam bukunya, Pemberontakan Kapal Tujuh, mengisahkan bahwa perwira jaga tersebut dibantai Martin Paradja di tangga kapal. Kapal sudah dikuasai awak kapal pribumi Hindia yang bersenjata. Meriam sudah terisi, lampu sein dicopot. Martin Paradja dan Gosal memberi perintah. Raut wajah para marinir pribumi yang bersenjata terlihat sangat keras, tulis Moud Boshart. Seorang perwira, Baron De Vos van Steenwijk, yang semula masih mencoba menguasai ruang marconis, kemudian mundur dan meletakkan senjatanya.
▲Begitulah, pada [[4 Februari]] [[1933]], sekitar pukul 22.00 malam, peluit panjang berbunyi untuk menandai dimulainya pemberontakan. Ketika itu, kapal sedang berlabuh di Pelabuhan Uleelheue, Banda Aceh. Para awak kapal melakukan pengambil-alihan kendali kapal dari tangan Belanda. Awak kapal keturunan Indonesia dipimpin oleh Paraja dan Gosal, sedangkan awak kapal Belanda dipimpin oleh Boshart dan Dooyeweerd. Kelasi Paradja bertindak memegang komando, Kelasi Kelas Satu Kawilarang yang punya pengalaman di [[Eropa]] berfungsi sebagai navigator. Kelasi Rumambi berada di bagian komunikasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan bakar, dan Kopral Gosal yang mengurusi bagian kesehatan.
Pada tanggal 5 Februari, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia, yang memberitahukan bahwa Kapal perang “Zeven Provincien” sudah diambil-alih oleh mereka dan sedang bergerak ke Surabaya. “Maksud kami adalah memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan!” tulis pemberontak dalam siaran persnya.▼
Moud Boshart dalam majalah De Ulienspiegel edisi 3 Februari 1963, sebagaimana dikutip dalam Surat Pembaca nomor 3 Komisi Indonesia CPN: “Saya merasa jenuh, karena semalaman tidak bisa tidur. Keesokan harinya Komandan dengan sia-sia mencoba berunding dan mengambil hati pelaut Indonesia yang sudah mengendalikan sepenuhnya kapal perang Belanda tersebut.” Dua perwira Belanda yang memimpin kapal, Vels dan Bolhouwer, berhasil meloloskan diri dari pemberontak setelah menjebol jendela. Mereka melompat ke laut dan berenang hingga ke daratan.
▲Pada tanggal 5 Februari, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia (Melayu), yang memberitahukan bahwa Kapal perang
=== Reaksi Pemerintah Kolonial ===
Mendengar berita pemberontakan ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda dibuat kalang-kabut. Gubernur Jenderal De Jonge memerintahkan kapal Hr.Ms. Aldebaren untuk mengejar. Begitu kapal Aldebaren mendekat, Kawilarang, yang bertugas di persenjataan, memberikan sinyal akan menembak jika kapal tersebut berani mendekat. Kapal Aldebaren pun mundur dan berhenti mengejar. Namun, Belanda tidak berhenti. Mereka kembali mengirim kapal penyebar ranjau, Hr.Ms. Goudenleeuw, untuk melakukan pengejaran. Tetapi kapal ini tidak berani untuk terlalu mendekat. Penyebabnya, kedua kapal pengejar ini memiliki meriam lebih kecil dan kalah persenjataan dibanding kapal De Zeven Provincien.
Kapal tujuh terus berlayar. Tanggal [[5 Februari]] 1933 kapal sudah berada di [[Pulau Breueh]], lalu [[6 Februari]] 1933 berada di [[Pulau Simeulue]], kemudian singgah di [[Sinabang, Simeulue Timur, Simeulue|Sinabang]] pada [[7 Februari]] 1933, dan akhirnya pada tanggal [[10 Februari]] 1933 kapal De Zeven Provincien sudah sampai di [[Selat Sunda]]. Begitu memasuki Selat Sunda, kapal perang Hr.Ms. Java, dikawal dua kapal torpedo, Hr.Ms. Piet Hien dan Hr.Ms. Evetsen, langsung membayangi gerakan kapal tersebut. Selain itu, untuk benar-benar melumpuhkan pemberontak, dikerahkan juga sebuah pesawat pembom Dornier.
Komandan kapal Hr.Ms. Java, Van Dulm, mengirimkan telegram ultimatum kepada kapal De Zeven Provincien untuk segera menyerah. Tetapi Martin Paradja dan kawan-kawan menolak untuk menyerah. “Kami tidak mau di ganggu dan akan meneruskan pelayaran menuju Surabaya,” demikian reaksi mereka terhadap ultimatum Van Dulm. Sesaat kemudian, pesawat Dornier mulai berputar-putar di atas kapal De Zeven Provincien, lalu mengeluarkan ancaman. Tetapi, Martin Paraja dan kawan-kawan kembali menyatakan menolak untuk menyerah.
Menteri Pertahanan Kerajaan Belanda, Laurentius Nicolaas Deckers, memberikan ijin untuk melakukan penyerangan dengan pesawat militer. Kemudian pada hari Jumat, [[10 Februari]] 1933, tepat jam 09.18 pagi, bom pertama berukuran 50 kg mulai dijatuhkan, tetapi belum mengenai sasaran. Bom kedua dijatuhkan dan tepat mengenai geladak kapal. Pemberontak memberikan perlawanan. Beberapa orang mengalami luka-luka. “J Pelupessy mendapat luka, sedangkan Sugiono kehilangan satu biji matanya,” tulis Maud Boshart dalam memoarnya untuk mengenang kejadian tersebut.
Kapal tersebut ternyata tidak dilengkapi dengan meriam penangkis serangan udara. Martin Paradja tewas pada saat pemboman. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang yang mengganti posisi Paradja sebagai pemimpin, akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera. Total 545 orang awak pribumi dan 81 awak Belanda ditahan. Para pemberontak pribumi yang masih hidup dibawa dengan kapal Hr.Ms. Java dan pemberontak berkebangsaan Belanda dibawa dengan kapal Hr.Ms. Orion menuju Pulau Onrust.
20 orang awak pribumi dan 3 awak Belanda juga dinyatakan tewas akibat serangan itu. Di antara yang gugur adalah Sagino, Amir, Said Bini, Miskam, Gosal, Rumambi, Koliot, Kasueng, Ketutu Kramas, Mohammad Basir, dan Simon. Kawilarang, karena dianggap yang memimpin pemberontakan selepas kematian Paradja, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Begitu juga dengan Maud Boshart, yang dikenai hukuman 16 tahun penjara. Sedangkan yang lainnya dijatuhi hukuman 6 tahun dan 4 tahun.
Para pemberontak kapal De Zeven Provincien akhirnya ditahan di [[Pulau Onrust]], di [[Kepulauan Seribu]], lepas pantai [[Batavia]]. Sebagian besar pemberontak meninggal dan dimakamkan di pulau tersebut.
== Dampak ==
Dampak dari
* [[Gubernur jenderal|Gubernur Jenderal]] [[Bonifacius Cornelis de Jonge|De Jonge]] mendapat serangan atas kebijaksanaannya tersebut dari segala fihak, termasuk dari kelompok orang Eropa yang ada di Hindia Belanda. Terlebih karena adanya beberapa pelaut orang Eropa yang membantu pelaut-pelaut Indonesia itu, seperti Moud Boshart.▼
* Kaum Nasionalis menjadi kambing hitam terhadap terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda lebih ketat lagi mengawasi kegiatan kaum nasionalis tersebut;▼
* Campur tangan pemerintah terhadap semua partai politik yang ada di Hindia Belanda semakin dalam. Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan baru Hatzai Artikelen, domana tokoh-tokoh politik, seperti [[Hatta]] dan [[Sutan Syahrir|jutan ahrir]] dibuang ke [[Boven Digul]], menyusul [[Soekarno]] dibuang ke [[Kabupaten Ende|Ende]]. Pengawasan terhadap gerakan politik diperketat.
* Sejumlah media massa saat itu terkena getahnya juga, di breidel dan pimpinan redaksinya ditahan, seperti Harian Soeara Oemoem milik [[Soetomo|Dr. Soetomo]] dibreidel. Pemimpin redaksinya, Raden Tahir Tjindarboemi, ditahan, diadili, dan dipenjara. Raden Tahir Tjindarboemi, setelah lulus dari [[Nederlandsch Indische Artsen School]] (NIAS) di Surabaya, lebih memilih menjadi wartawan ketimbang menjadi dokter Belanda.
== Referensi ==
▲* [[Gubernur jenderal|Gubernur Jenderal]] [[Bonifacius Cornelis de Jonge|De Jonge]] mendapat serangan atas kebijaksanaannya tersebut dari segala fihak, termasuk dari kelompok orang Eropa yang ada di Hindia Belanda
# Berdikari Online: <nowiki>http://www.berdikarionline.com/mengenang-pemberontakan-kapal-tujuh-zeven-provincien/#ixzz3zJOIqZjw</nowiki>
▲* Kaum Nasionalis menjadi kambing hitam terhadap terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda lebih ketat lagi mengawasi kegiatan kaum nasionalis tersebut
# J. C. H. Blom, "De muiterij op ''De Zeven Provinciën'' (The Mutiny on The Seven Provinces), a comprehensive monograph, originally a doctoral dissertation at [[Leiden University]]; reviewed by Lawrence D. Stokes, ''The American Historical Review'', Vol. 82, No. 2 (Apr. 1977), p. 377.
== Catatan ==
|