Kesultanan Buton: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 217:
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan hal itu sedikti malah tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)
*'''[SABIR, MAHASISWA KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM UIN SYARIF HIDAYTULLAH JAKARTA & KETUA PENGEMBANGAN MINAT DAN BAKAT HIMPUNAN PEMUDA PELAJAR DAN MAHASISWA BUTON INDONESIA/HIPPMIB '06-'08 M]'''
 
 
 
 
[[
'''KEPERCAYAAN REINKARNASI*''']]
 
Satu hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat.
Secara umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
 
Mengenai kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak, orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang lain.
'''
A. Asal-Usul Kepercayaan Pada Reinkarnasi'''
 
Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
 
Bila mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
 
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli (Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu, namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
 
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari 1977, I:46).
 
Bukti kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade, dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit. Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
 
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
 
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
 
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
 
Soal gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16 dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.
 
'''B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi'''
 
'''b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi'''
 
Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan untuk menentukan kapan orang mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan kembali. Di Wolio orang demikian disebut motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang yang punya bakat ini, dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan memanjatkan doa yang tepat.
 
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan Buton: 1984}
 
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
 
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
 
Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
 
Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya akan cacat.
 
Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas).
Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani), yang berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam. Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang tua harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah dalam pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin berkembang menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam ketujuh, alam insan atau alam manusia dicapai.
 
Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
 
Ada juga pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian mayat.
 
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
 
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
 
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
 
Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
 
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
 
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.
 
 
'''b.2. Berubah menjadi binatang'''
 
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
 
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.
 
'''b.3. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak'''
 
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
 
Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
 
'''C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain'''
 
'''c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam'''
 
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
 
Doa-doa Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
 
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
 
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery 1955, I:76).
 
Antara ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang artinya “pergi”.
 
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
 
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
 
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat
 
'''c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur'''
 
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk akal.
 
Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
 
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja. Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam Qur’an, soal ro/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja. Pengetahuan manusia tentan hal itu sedikti malah tak ada. ” (Arberry 1955, I:311-312)
*[SABIR, MAHASISWA KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM UIN SYARIF HIDAYTULLAH JAKARTA & KETUA PENGEMBANGAN MINAT DAN BAKAT HIMPUNAN PEMUDA PELAJAR DAN MAHASISWA BUTON INDONESIA/HIPPMIB '06-'08 M]