Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib) k minor cosmetic change |
|||
Baris 82:
Tahun berikutnya Soegija minta agar bisa mengikuti pelajaran agama Katolik. Menurut dia, ini agar ia bisa menggunakan fasilitas sekolah dengan sepenuhnya. Gurunya, Pater Mertens, menyatakan bahwa Soegija memerlukan izin orang tua sebelum ia bisa bergabung. Kendati orang tuanya tidak merestui, Soegija masih diizinkan mengikuti pelajaran. Soegija menjadi tertarik dengan soal [[Tritunggal]], dan meminta keterangan dari beberapa guru. Van Lith mengutip karya-karya [[Thomas Aquinas]], sementara Mertens membahas Tritunggal berdasarkan karya [[Agustinus dari Hippo]]. Mertens menyatakan bahwa manusia tidak dimaksud untuk benar-benar memahami Tuhan, sebab pengetahuan manusia terbatas.{{sfn|Subanar|2003|pp=38–40}} Soegija, yang menjadi semakin tertarik, minta agar [[baptis|dibaptis]]; ia mengutip cerita Kristus dan Para Dokter untuk menunjukkan mengapa ia tidak memerlukan restu orang tua. Para romo menyetujui pembaptisan itu, dan Soegija dibaptis pada 24 Desember 1910; ia mengambil nama baptis Albertus,{{sfn|Subanar|2003|pp=38–40}} berdasarkan nama [[Albertus Magnus]].{{sfn|Subanar|2003|p=91}} Saat liburan Natal, Soegija menceritakan hal ini kepada keluarganya. Meski ayah dan ibunya bisa menerima, dan bahkan mungkin merestui,{{efn|adik perempuan Soegija konon belajar di sekolah Katolik di Muntilan saat meninggal. Subanar menganggap ini sebagai bukti bahwa keluarga Soegija dapat merestui perpindahan agama itu {{harv|Subanar|2003|p=41}}.}} keluarga besar Soegija tidak mau berurusan dengannya lagi.{{sfn|Subanar|2003|p=41}}
Soegija terus melanjutkan pelajarannya di Xaverius. Menurut Pater G. Budi Subanar, seorang dosen [[ilmu teologi]] di [[Universitas Sanata Dharma]], dalam periode ini salah satu guru mengajarkan Perintah Keempat dari [[Doktrin Katolik mengenai Sepuluh Perintah Allah|Sepuluh Perintah Allah]] dengan pengertian bahwa seseorang tidak boleh hanya menghormati ayah dan ibu kandung, melainkan semua nenek moyangnya; ini memberi pengertian [[nasionalis]] kepada para siswa.{{sfn|Subanar|2003|p=44}} Pada kesempatan lain, Xaverius dikunjungi seorang misionaris [[Kapusin]] – yang secara fisik jauh berbeda dari para guru Yesuit – membuat Soegija mempertimbangkan untuk menjadi seorang pastor, sebuah gagasan yang diterima orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=46–48}} Pada 1915 Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius, lalu menjadi guru di sana selama satu tahun. Pada 1916 di masuk di [[seminari]] Xaverius; ada dua anak pribumi lain yang masuk seminari tahun itu. Soegija lulus pada 1919, setelah mempelajari [[bahasa Perancis]], [[bahasa Latin|Latin]], [[bahasa Yunani|Yunani]], dan [[sastra]].{{sfn|Subanar|2003|pp=52–53}}
== Jalan menuju imamat ==
|