Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Dubaya (bicara | kontrib)
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k ejaan, replaced: praktek → praktik
Baris 24:
==Latar belakang==
===Pemerintahan Daendels dan Raffles===
Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal [[Herman Willem Daendels]] di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Perancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai oleh Perancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara lain yang menyebabkan terjadinya [[Herman Willem Daendels#Daendels_di_Hindia_BelandaDaendels di Hindia Belanda|kebencian dari pihak keraton Jawa]]. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan kekuatan militernya, membangun jalur antara [[Anyer]] dan [[Panarukan]], hingga akhirnya terjadi insiden perdagangan kayu jati di daerah ''mancanegara'' (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang menyebabkan terjadinya pemberontakan [[Ronggo Prawirodirjo III|Raden Ronggo]]. Setelah kegagalan pemberontakan Raden Ronggo (1810), Daendels memaksa [[Sultan Hamengkubuwana II]] membayar kerugian perang serta melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan mengalahkan pasukan Belanda.<ref name=carey/>
 
Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin [[Thomas Stamford Bingley Raffles]] memberikan dukungan kepada [[Sultan Hamengkubuwana II]], pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan [[Sultan Hamengkubuwana II]] diturunkan secara tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu [[Hamengkubuwana III|Sultan Hamengkubuwana III]]. Perisitwa ini dikenal dengan nama [[Geger Sepehi]]. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) dibawah Gubernur Jenderal Belanda [[Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen|van der Capellen]]. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya, adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu [[Hamengkubuwana IV]] yang berusia 10 tahun (1814), sementara [[Paku Alam I]] (Patih Danuredjo) bertindak sebagai wali.<ref name=carey/>
Baris 52:
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan [[hujan|penghujan]]; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit [[malaria]], [[disentri]], dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan [[provokator]] mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
 
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti [[Jawa Tengah]] dan sebagian [[Jawa timur]] dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (''open warfare''), maupun metode perang gerilya (''guerrilla warfare'') yang dilaksanakan melalui taktik ''hit and run'' dan penghadangan (''Surpressing''). Perang ini bukan merupakan sebuah ''tribal war'' atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkandipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (''psy-war'') melalui [[insinuasi]] dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (''spionase'') di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
 
Pada tahun [[1827]], Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun [[1829]], [[Kyai Modjo]], pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran [[Mangkubumi]] dan panglima utamanya [[Alibasah Sentot Prawirodirjo]] menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal [[28 Maret]] [[1830]], Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke [[Manado]], kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal [[8 Januari]] [[1855]].