Tajdid: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k Tajdid dalam Muhammadiyah: ejaan, replaced: dari pada → daripada, praktek → praktik
Baris 12:
aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi.
 
Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah,termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktekpraktik keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri ini. Kecenderungan yang bersifat reaktif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi mulai terlihat. Pembetulan arah kiblat dalam pelaksanaan shalat, misalnya, menjadi bukti betapa reaktifnya tokoh Muhammadiyah saat itu. Jargon yang diusung saat itu adalah “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah” secara apa adanya terutama dalam masalah aqidah dan ibadah mahdlah. Munculnya istilah TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Churafat) merupakan akibat dari gerakan pemurnian periode ini. Produk pemikiran yang dihasilkan oleh Majlis Tarjih didominasi oleh upaya memurnikan bidang akidah dan ibadah itu. Periode ini berlangsung sampai tahun enam puluhan.
 
Kemudian pada awal tahun enam puluhan sampai tahun sembilan puluhan sudah mulai terasa bagaimana pentingnya untuk membuat dasar dan teori penyelesaian masalah yang dihadapi oleh umat Islam yang didominasi oleh persoalan mu’amalah dunyawiyyah, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan bahkan masalah politik sekalipun. Pedoman bertarjih dalam bentuk kaidah lajnah tarjih mulai disusun pada awal tahun tujuh puluhan. Dalam kaidah ini disebutkan, bahwa tugas pokok lajnha tarjih adalah melakukan pemurnian dalam bidan aqidah dan ibadah serta menyusun rumusan dan
Baris 25:
 
Rumusan tajdîd di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadits, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Qur'an dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami al-Qur'an dan Hadits. Namun, kata-kata "yang dijiwai ajaran Islam" memberi kesan bahwa akal cukup
terbatas dalam meyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash al-Qur'an dan Hadits. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zhâhir nash, maka kehendak nash harus didahulukan dari padadaripada pemahaman akal.
 
Ada yang berpendapat, bahwa dalam Muhammadiyah fungsi akal tidak dominan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan fiqih. Agaknya pendapat itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Memang benar bahwa Majlis Tarjih Muhammadiyah menegaskan kenisbian akal dalam memahami nash