Islam di Myanmar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-diantara +di antara , -Diantara +Di antara)
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k top: ejaan, replaced: sekedar → sekadar
Baris 5:
BAB I
PENDAHULUAN
 
 
A. Sejarah Islam Di Myanmar
Islam di Myanmar termasuk dalam agama minoritas, dengan presentase sekitar 4% dari jumlah penduduk di seluruh Myanmar.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
 
 
1. Sejarah
Baris 37 ⟶ 19:
Sebagian besar Muslim di Myanmar bekerja sebagai penjelajah, pelaut, saudagar dan tentara. Beberapa di antaranya juga bekerja sebagai penasehat politik Kerajaan Burma. Muslim Persia menemukan Myanmar setelah menjelajahi daerah selatan Cina. Koloni muslim Persia di Myanmar ini tercatat di buku Chronicles of China di 860. Umat muslim asli Myanmar disebut Pathi dan muslim Cina disebut Panthay. Konon, nama Panthay berasal dari kata Parsi. Kemudian, komunitas muslim bertambah di daerah Pegu, Tenasserim, dan Pathein. Tapi komunitas muslim ini mulai berkurang seiring dengan bertambahnya populasi asli Myanmar. Pada abad ke-19, daerah Pathein dikuasai oleh tiga raja muslim India.
Pada zaman Raja Bagan yaitu Narathihpate (1255-1286), pasukan muslim Tatar pimpinan Kublai Khan dan menguasai Nga Saung Chan. Kemudian, pasukan Kublai Khan ini menyerang daerah Kerajaan Bagan. Selama peperangan ini, Kolonel Nasrudin juga menguasai daerah Bamau.
 
 
b. Asal Muasal Islam DiMyanmar
Baris 70 ⟶ 51:
Akibat penindasan dan diskriminasi yang mereka alami, setelah perang dunia II kaum muslim ini menuntut agar bagian utara dari wilayah Arakan yaitu Buthidaung dan Maungdaw yang mereka tempati dimasukkan ke Pakistan. Namun pemerintah menolak tuntutan tersebut, sehingga terjadilah perselisihan bersenjata antara pasukan “Mujahid” yang dibentuk oleh muslim Rohingya dengan pasukan pemerintah.
h. Mengambil Jalan Tengah, Berusaha Mencari Ketenangan
Etnis muslim lainnya yaitu Hui-hui di Myanmar semakin menunjukkan kecenderungan membaur, sehingga mereka tidak terlalu terlihat sebagai sebuah komunitas muslim yang menonjol. Hal ini dilakukan sekedarsekadar demi kepentingan pragmatis akibat trauma pembantaian di berbagai daerah. Jumlah mereka pun terbilang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok muslim lainnya yang membentuk komunitas tersendiri sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Mereka kebanyakan berprofesi sebagai pedagang dan penyedia jasa di kota belahan tengah dan utara negeri itu. Selain itu kecenderungan kelompok Huihui untuk memilih pasangan perkawinan dari kelompok Burma yang lain yang meningkat tahun 1970-an, membuat Huihui sudah sangat membaur sekali dengan masyarakat Myanmar, sehingga etnis muslim ini mungkin sudah tidak begitu relevan dalam kajian perkembangan masyarakat muslim di Myanmar saat ini.