Peristiwa Talangsari 1989: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k Azwar Kaili: ejaan, replaced: praktek → praktik (3)
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k ejaan, replaced: sekedar → sekadar (3)
Baris 33:
Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan [[MMI (Majelis Mujahidin Indonesia)]]. Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai Ketua MMI Wilayah [[DKI Jakarta]]. Ketika [[Abu Bakar Ba’asyir]] mundur dari MMI dan mendirikan [[Jama’ah Ansharut Tauhid]], Haris Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.
 
Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang mengalir ke Lampung, menghasilkan radikalisme ala Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke [[Tanjung Priok]] (kasus Tanjung Priok 1984). Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan gerakan radikal yang disandingkan dengan doktrin agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah NII yang tidak sekedarsekadar bercita-cita mendirikan negara ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui sebuah upaya sistematis dan terencana yang berdarah-darah sekalipun.
 
Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di [[JW Marriott]] dan [[Ritz Carlton]] pada 17 Juli 2009.
Baris 47:
Kedua, melalui sosok Warsito yang tewas dalam kasus Talangsari (7 Februari 1989). Azwar mengeksploitasi almarhum Warsito untuk ‘memeras’ [[Hendropriyono]]. Almarhum Warsito diposisikan sebagai korban. Padahal, meski usianya masih belasan, Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid. Akibat binaan Abdullah, Warsito dan beberapa teman sebayanya menjadi sosok yang militan. Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid, dan secara resmi menjadi anggota jama’ah sekurangnya sejak tahun 1988.
 
Keberangkatan Warsito ke Cihideung bukan sekedarsekadar mau nyantri, tetapi memang untuk mati syahid, dalam sebuah peperangan yang sudah direncanakan oleh komunitas Warsidi dan sejumlah muhajirin dari Jawa. Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama Zulkarnaen dan Zulfikar (anak Pak Sediono) serta Isrul Koto (anak Pak Zamzuri), pamitan kepada orangtua masing-masing untuk berjihad ke Talangsari.
 
Menurut ingatan Zulfikar, sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, Warsito menyampaikan sebuah pesan kepada adiknya agar merawat ayam-ayam peliharaan miliknya. Pesan itu –yang kemudian menjadi pesan terakhir Warsito, berbunyi: “… seandainya saya mati dik, tolong dirawat ayam-ayam ini…” Hal ini menunjukkan bahwa Warsito memang sudah siap mati syahid, karena kepergiannya ke Talangsari semata-mata untuk berperang dalam rangka jihad.
Baris 129:
Karena lima terlalu sedikit, maka Jayus ‘menyewa’ 14 warga di luar masyarakat Talangsari untuk ditenteng ke Kantor Komnas HAM Jakarta, dan disuruh mengaku sebagai korban Talangsari. Tipu-daya licik Jayus itu ternyata membuat marah warga asli Talangsari. Maka, mereka pun melayangkan sepucuk surat kepada pengurus GIN (Gerakan Islah Nasional). Isinya, agar GIN mencegah Jayus yang membawa warga bukan asli Talangsari untuk menghadap Komnas HAM di Jakarta.
 
Jayus tidak sekedarsekadar membawa korban Talangsari palsu, ia juga membawa Suroso yang domisilinya berdekatan dengan tempat kejadian. Kelebihan Suroso, ia pandai bicara dan lebih cerdas dibanding para korban Talangsari palsu lainnya. Bila Suroso bisa diperalat Jayus, Sukidi tidak demikian. Melalui Joko, Jayus berusaha membujuk Sukidi (mantan Kadus Talangsari III) menjadi fasilitator pertemuan antara Jayus dan Hendropriyono, namun tidak berhasil.
 
Sayang, Pak Sukidi tidak sudi karena menilai Jayus hanya memperalat dirinya dan kasus Talangsari bagi kepentingan Jayus pribadi. (Keterangan langsung dari Pak Sukidi mantan Kadus Talangsari).