Chen De Xiu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k penggantian teks otomatis dengan menggunakan mesin AutoWikiBrowser, replaced: beliau → dia (4), Beliau → Dia (2)
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k ejaan, replaced: terlanjur → telanjur, terlantar → telantar
Baris 30:
Suatu ketika, batu hitam bulat dengan bagian dalam putih, disebut ''Tan'', yang selalu dibawa oleh Tan Tik Siu pecah menjadi dua bagian. Hal tersebut menjadi firasat bahwa akhir hayatnya segera tiba. Ia juga bermimpi utusan Dewi [[Kwan Im]] untuk menjemputnya. Ia meninggalkan pesan-pesan kepada dua keponakan yang mengurusnya, kemudian menulis berbagai catatan wasiat di dalam sebuah buku yang berisi nama-nama orang yang akan beri barang-barang peninggalannya, kemudian berpesan agar di samping klentengnya didirkan sebuah pagoda. Pada suatu siang, pada tahun 1929, seorang tua datang di [[klenteng]] dan bersembahyang di sana. Selesai bersembahyang, seperti biasanya ia masuk ke gua pertapaan untuk menemui Tan Tik Siu, tetapi ia telah wafat. Tan Tik Siu wafat saat berusia 45 tahun.<ref name="scribd"/>
 
Jenasah Tan Tik Siu tidak berubah dan tidak berbau meskipun telah seminggu wafat. Ia diperabukan dengan ritual pemakaman umat [[agama Hindu|Hindu]] di daerah setempat, sesuai dengan pesan sebelum kematiannya. Sesuai pesannya, perabuannya tidak boleh menyisakan tulang yang utuh sehingga membutuhkan waktu selama 17 hari. Setelah datang surat dari kakak kandung Tan Tik Siu untuk meminta sebagian abunya sebagai kenang-kenangan, barulah seluruh tulang melebur menjadi abu sehingga tidak semuanya terlanjurtelanjur dilarung ke laut.<ref name="scribd"/>
 
==Tan Tik Siu dan ilmu Kejawen==
Menurut ''Sjoerja Woelan'' yang mengaku sebagai keturunan ''Eyang Boeyoet'' -guru ilmu [[kejawen]] Tan Tik Sioe, semasa masih remaja, Tan Tik Siu ditemukan anak-anak sebayanya dalam kondisi telantar di ujung Desa [[Sumberagung, Rejotangan, Tulungagung]], dekat Kecamatan [[Kademangan, Blitar]]. Namun, karena kulitnya yang putih -berbeda dengan anak-anak desa setempat yang umumnya berwarna coklat- kendati ia mengenakan pakaian lusuh, dengan cepat beritanya menyebar di seluruh pelosok desa.<ref name="RSP"/>
 
Kisah yang disampaikan ''Sumirin'', juru kunci generasi ketiga (setelah ''Seni'' dan putranya ''Tukirin'') yang menjaga gua Tan Tik Sioe di Sumberagung, Tan Tik Sioe sejak usia anak-anak ditemukan sejumlah anak-anak desa yang sedang menggembalakan kerbau dalam keadaan terlantartelantar di dekat persawahan Desa Sumberagung. Tan Tik Sioe, yang dalam kisah itu diduga menyandang [[autis]], diambil sebagai anak angkat oleh seorang misionaris [[Belanda]] yang dikenal pula sebagai sastrawan. Nama ayah angkatnya disamarkan sebagai Budiman. Selain sebagai misionaris, ia juga pengelola kebun kelapa milik belanda di ''Onderneming Soemberagoeng Afdeeling Toeloengagoeng''. Dari ayah angkat, Tan Tik Sioe menguasai ilmu kesusasteraan yang kemudian dipublikasikan melalui media surat kabar terbitan Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta.<ref name="RSP"/>
 
Selain diajar kesusastraan, Tan Tik Sioe juga diizinkan ayah angkatnya berguru kepada ''Eyang Boejoet'' yang dikenal memiliki ilmu [[kejawen]] tingkat tinggi. Ayah angkatnya juga memberikan tanah di tepi lahan perkebunan kelapa untuk dijadikan gua pertapaannya agar dapat mendalami ilmu yang diajarkan ''Eyang Boejoet''. Pada tahun 1922, Tan Tik Sioe yang berusia 38 tahun sudah berhasil secara sempurna menguasai ''ilmu sabda'' dan ''sangkan paraning dumadi'' dari gurunya. Ia pun kemudian tinggal di ''Gua Gondo Mayeet'' dan menjadi sesosok pertapa yang sakti.<ref name="RSP"/>