Dyah Pitaloka Citraresmi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib) k →Gugurnya Sang Putri: minor cosmetic change |
Wagino Bot (bicara | kontrib) k minor cosmetic change |
||
Baris 1:
'''Dyah Pitaloka Citraresmi''' atau Citra Rashmi (1340-1357) adalah putri [[Kerajaan Sunda]]. Menurut [[Pararaton]], ia dijodohkan dengan [[Hayam Wuruk]], raja [[Majapahit]] yang sangat berhasrat untuk menjadikannya sebagai permaisuri.<ref name="end">{{cite book
== Lamaran Pernikahan ==
Hayam Wuruk, raja Majapahit, mungkin dengan didasari alasan politik, ingin menjadikan putri Citra Rashmi (Pitaloka) sebagai istrinya.<ref name="end">{{cite book
Pada tahun 1357 rombongan kerajaan Sunda tiba di Majapahit setelah melayari Laut Jawa. Rombongan kerajaan Sunda mendirikan pesanggrahan di Lapangan Bubat di bagian utara [[Trowulan]], Ibu Kota Majapahit. Mereka menantikan jemputan dari pihak Majapahit serta upacara kerajaan yang pantas layaknya pernikahan agung kerajaan. Akan tetapi [[Gajah Mada]], Mahapatih Majapahit, memandang peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menaklukan Sunda dibawah kemaharajaan Majapahit, dan bersikeras bahwa Sang Putri tidak akan diangkat menjadi [[Ratu]] Majapahit, tetapi hanya menjadi [[Selir]] yang dipersembahkan untuk Raja Majapahit, sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Majapahit. Raja Sunda amat murka dan merasa dipermalukan oleh tuntutan Gajah Mada yang sungguh keterlaluan ini.
== Gugurnya Sang Putri ==
Akibat ketegangan ini terjadi pertempuran antar rombongan kerajaan Sunda melawan tentara Majapahit. Rombongan kerajaan Sunda berniat untuk ''bela pati'' melakukan [[puputan]] demi membela kehormatan mereka di Lapangan Bubat. Meskipun memberikan perlawanan dengan gagah berani, rombongan kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya gugur dalam kepungan tentara Majapahit. Hampir seluruh rombongan kerajaan Sunda ditumpas dengan kejam dalam tragedi ini.<ref>{{cite book
Menurut tradisi, kematian Dyah Pitaloka diratapi oleh Hayam Wuruk serta segenap rakyat Kerajaan Sunda yang kehilangan sebagian besar keluarga kerajaannya. Oleh masyarakat Sunda kematian Sang Putri dan Raja Sunda dihormati dan dipandang sebagai suatu keberanian dan tindakan mulia untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Ayah Sang Putri, Prabu Maharaja Lingga Buana disanjung dan dihormati oleh masyarakat Sunda dengan gelar "Prabu Wangi" ([[Bahasa Sunda]]: Raja yang memiliki nama yang harum) karena tindakan heroiknya membela kehormatan negaranya melawan Majapahit. Keturunannya, raja-raja Sunda yang kemudian, diberi gelar "[[Siliwangi]]" (dari kata Silih Wangi dalam bahasa Sunda berarti: Penerus Prabu Wangi). Tragedi ini sangat merusak hubungan antara kedua kerajaan ini yang berakibat permusuhan hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan kedua negara ini tidak pernah pulih kembali seperti sediakala.<ref name="end">{{cite book
Kisah Putri Dyah Pitaloka dan Perang Bubat menjadi tema utama dalam [[Kidung Sunda]]. Catatan sejarah mengenai peristiwa Pasunda Bubat disebutkan dalam [[Pararaton]], akan tetapi sama sekali tidak disinggung dalam naskah [[Nagarakretagama]].
|