Kalijodo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membuat halaman berisi ''''Kalijodo''' adalah sebuah area di sekitar Jalan Kepanduan II, Kelurahan Pejagalan Kecamatan Penjaringan, di sepanjang bantaran timur Banjir Kanal. Secara umum, daer...' Tag: |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
'''Kalijodo''' adalah sebuah area di sekitar Jalan Kepanduan II, [[Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara|Kelurahan Pejagalan Kecamatan Penjaringan]], di sepanjang bantaran timur Banjir Kanal. Secara umum, daerah yang dianggap Kalijodo adalah RT 001, RT 003, RT 004, RT 005 dan RT 006 pada RW 05 Kelurahan Pejagalan.<ref>[http://lib.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=71947 ''Kehidupan pelacur di pemukiman kumuh liar Kalijodo RW 05 Kelurahan Pejagalan Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara]''. dari situs Librari UI</ref> Daerah ini terkenal sebagai sarang hiburan malam dan prostitusi untuk kelas bawah. Ia menjadi terkenal karena sorotan dalam cerita dan film Ca Bau Kan, serta menjadi sasaran penertiban pada masa pemerintahan Gubernur [[Basuki Tjahaja Purnama]].
==Sejarah==
Awalanya nama Kalijodo berasal dari kata Kali dan Jodoh. Tempat ini di masa lalu adalah salah satu tempat perayaan budaya Tionghoa bernama [[peh cun]], yaitu perayaan hari keseratus dalam kalender imlek. Salah satu tradisi dalam perayaan peh cun adalah pesta air. Pesta ini menarik perhatian kalangan muda dan dibiayai oleh orang-orang berada dari kalangan Tionghoa. Pesta air itu diikuti oleh muda-mudi laki-laki dan perempuan yang sama-sama menaiki perahu melintasi kali Angke. Setiap perahu diisi oleh tiga hingga empat perempuan dan laki-laki. Jika laki-laki senang dengan perempuan yang ada di perahu lainnya ia akan melempar kue yang bernama Tiong Cu Pia. Kue ini terbuat dari campuran terigu yang di dalamnya ada kacang hijau. Sebaliknya, jika perempuan menerima, ia akan melempar balik dengan kue serupa. Tradisi ini akhirnya terus berlanjut sebagai ajang mencari jodoh sehingga dari sinilah sebutan Kali Jodoh berasal.
Tradisi ini berhenti di tahun sejak tahun 1958 setelah Wali Kota Jakarta Sudiro yang menjabat diera 1953-1960 melarang perayaan budaya Tionghoa.<ref>[
{{stub}}
|