Ignostisisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k Referensi: minor cosmetic change
Wagino Bot (bicara | kontrib)
Baris 8:
Dalam Bahasa Inggris, ''ignosticism'' (ignostisisme) dan ''theological noncognitivism'' ([[nonkognitivisme teologis]]) secara garis besar bersinonimi;<ref>Conifer, ''Theological Noncognitivism'': "Theological noncognitivism is usually taken to be the view that the sentence 'God exists' is cognitively meaningless."</ref> namun hubungan ignostisisme dengan pandangan nonteistik lainnya tidak terlalu jelas. [[Paul Kurtz]] berpandangan bahwa ignostisisme cocok dengan [[ateisme lemah]] dan [[agnostisisme]],<ref>Kurtz, ''New Skepticism'', 220: "Both [atheism and agnosticism] are consistent with igtheism, which finds the belief in a metaphysical, transcendent being basically incoherent and unintelligible."</ref> sementara filsuf lainnya berpandangan bahwa ignostisisme sama sekali berbeda.
 
Terma ''ignostisisme'' diperkenalkan oleh [[Sherwin Wine]], seorang [[rabbi]], pada tahun 1960. Terma ''igteisme'' diperkenalkan oleh humanis sekuler [[Paul Kurtz]] dalam buku yang diterbitkan tahun 1992 berjudul ''The New Skepticism''.<ref>{{cite news |url=http://www.economist.com/blogs/johnson/2010/07/definitions_1 |title=isms of the week: Agnosticism and Ignosticism |accessdate=December 19, 2011 | work=The Economist |date=2010-07-28}}</ref>
 
Dalam sebuah bab di bukunya yang diterbitkan tahun 1936 berjudul ''Language, Truth, and Logic'', [[A.J. Ayer]] berargumen bahwa seseorang tidak dapat membicarakan eksistensi Tuhan, atau bahkan kemungkinan keberadaan Tuhan, karena konsepnya itu sendiri tidak dapat diverifikasi dan dengan demikian tidak bermakna.<ref>Ayer, ''Language'', 115: "There can be no way of proving that the existence of a God … is even probable. … For if the existence of such a god were probable, then the proposition that he existed would be an empirical hypothesis. And in that case it would be possible to deduce from it, and other empirical hypotheses, certain experimental propositions which were not deducible from those other hypotheses alone. But in fact this is not possible."</ref> Ayer menulis bahwa hal ini membuat ateisme, agnostisisme, pun teisme, menjadi terkesampingkan karena ketiga posisi tersebut menyatakan bahwa kalimat ''Tuhan itu ada'' memiliki makna.<ref>Ayer, ''Language'', 115–16</ref> Beralasan pada tidak bermaknanya klaim-klaim teistik, Ayer berpandangan bahwa "tidak ada alasan logis untuk melawankan agama dan ilmu alam",<ref>Ayer, ''Language'', 117</ref> karena teisme tidak memiliki proposisi apapun yang dapat difalsifikasi dengan [[metode ilmiah]].