Abdurrahman Wahid: Perbedaan antara revisi

[revisi terperiksa][revisi terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k minor cosmetic change
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k tidy up, replaced: dimana → di mana (2), nasehat → nasihat (6), Praktek → Praktik, subyek → subjek, Jendral → Jenderal (3)
Baris 92:
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; ia suka menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton pertandingan [[sepak bola]]. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun 1965, Gus Dur kecewa; ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.<ref>Barton (2002), halaman 88</ref>
 
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa [[Gerakan 30 September]] (G30S) terjadi. Mayor JendralJenderal [[Suharto]] menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan komunis dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan. <ref>Barton (2002), halaman 89</ref>
 
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G30S sangat mengganggu dirinya.<ref name=Barton99>Barton (2002), ''Biografi Gus Dur'', LKiS, halaman 99</ref> Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang belajar.<ref name=Barton99/> Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di [[Universitas Baghdad]].<ref>Barton (2002), ''Biografi Gus Dur'', LKiS, halaman 102</ref> Wahid pindah ke [[Irak]] dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar. Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Baris 105:
Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Gusdur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 Gusdur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
 
Pada tahun 1977, Gusdur bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas PraktekPraktik dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Gusdur mengajar subyeksubjek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas.
 
== Nahdlatul Ulama ==
=== Awal keterlibatan ===
Latar belakang keluarga Wahid segera berarti. Ia akan diminta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan PenasehatPenasihat Agama NU. Namun, Wahid akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga.<ref>Barton (2002), halaman 112</ref> Karena mengambil pekerjaan ini, Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan PenasehatPenasihat Agama, Wahid memimpin dirinya sebagai reforman NU.
 
Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Wahid berkampanye untuk [[Partai Persatuan Pembangunan]] (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya.<ref>Barton (2002), halaman 133-134</ref> Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti JendralJenderal [[Moerdani|Benny Moerdani]].
 
=== Mereformasi NU ===
Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan PenasehatPenasihat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Wahid) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU [[Idham Chalid]] dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi kekuasaan dari [[Soekarno]] ke [[Soeharto]] awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionil. Dengan himbauan Wahid, Idham membatalkan kemundurannya dan Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya. <ref>Barton (2002), halaman 136</ref>
 
Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh [[Majelis Permusyawaratan Rakyat]] (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan [[Pancasila]] sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti [[Quran]] dan [[Sunnah]] untuk pembenaran dan akhirnya, pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara.<ref>Barton, halaman 138</ref> Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada terhambat dengan terlibat dalam politik.
Baris 131:
 
=== Masa jabatan ketiga dan menuju reformasi ===
Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan [[Harmoko]] berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur. Ketika musyawarah nasional diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh [[ABRI]] dalam tindakan intimidasi.<ref>Barton (2002), halaman 203</ref> Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Gus Dur tetap terpilih sebagai ketua NU untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Gus Dur memulai aliansi politik dengan [[Megawati Soekarnoputri]] dari [[Partai Demokrasi Indonesia]] (PDI). Megawati yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto. Wahid menasehatimenasihati Megawati untuk berhati-hati dan menolak dipilih sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Megawati mengacuhkannya dan harus membayar mahal ketika pada Juli 1996 markas PDInya diambil alih oleh pendukung Ketua PDI yang didukung pemerintah, Soerjadi.
 
Melihat apa yang terjadi terhadap Megawati, Gus Dur berpikir bahwa pilihan terbaiknya sekarang adalah mundur secara politik dengan mendukung pemerintah. Pada November 1996, Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Gus Dur sebagai ketua NU dan beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Gus Dur.<ref>Barton (2002), halaman 221-222</ref> Pada saat yang sama, Gus Dur membiarkan pilihannya untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan [[Amien Rais]], anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Baris 139:
== Reformasi ==
=== Pembentukan PKB dan Pernyataan Ciganjur ===
Salah satu dampak jatuhnya Soeharto adalah pembentukan partai politik baru. Di bawah rezim Soeharto, hanya terdapat tiga partai politik: Golkar, PPP dan PDI. Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik mulai terbentuk, dengan yang paling penting adalah [[Partai Amanat Nasional]] (PAN) bentukan Amien dan [[Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan]] (PDI-P) bentukan Megawati. Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk partai politik baru. Ia tidak langsung mengimplementasikan ide tersebut. Namun pada Juli 1998 Gus Dur mulai menanggapi ide tersebut karena mendirikan partai politik merupakan satu-satunya cara untuk melawan Golkar dalam pemilihan umum. Wahid menyetujui pembentukan PKB dan menjadi Ketua Dewan PenasehatPenasihat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Meskipun partai tersebut didominasi anggota NU, Gus Dur menyatakan bahwa partai tersebut terbuka untuk semua orang.
 
Pada November 1998, dalam pertemuan di Ciganjur, Gus Dur, bersama dengan Megawati, Amien, dan Sultan [[Hamengkubuwono X]] kembali menyatakan komitmen mereka untuk reformasi. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat pemilihan presiden.
Baris 168:
Pada Januari 2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke [[Swiss]] untuk menghadiri [[Forum Ekonomi Dunia]] dan mengunjungi [[Arab Saudi]] dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi [[Kerajaan Inggris|Inggris]], [[Perancis]], [[Belanda]], [[Jerman]], dan [[Italia]]. Dalam perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi [[India]], [[Korea Selatan]], [[Thailand]], dan [[Brunei Darussalam]]. Pada bulan Maret, Gus Dur mengunjungi [[Timor Leste]]. Di bulan April, Wahid mengunjungi [[Afrika Selatan]] dalam perjalanan menuju [[Kuba]] untuk menghadiri pertemuan [[G-77]], sebelum kembali melewati [[Kota Meksiko]] dan [[Hong Kong]]. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi Amerika, Jepang, dan Perancis dengan [[Iran]], [[Pakistan]], dan [[Mesir]] sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang dikunjunginya.<ref>Barton (2002), halaman 294, hal. 297-298, hal.308</ref>
 
Ketika Gus Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta JendralJenderal [[Wiranto]] mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.<ref>{{cite book|last = Conceicao|first = J.F|title = Indonesia's Six Years of Living Dangerously|publisher = Horizon Books|date = 2005|location = Singapore|pages = 18|id = ISBN 981-05-2307-6 }}</ref>
 
Ketika Gus Dur kembali ke Jakarta, Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan Perdagangan [[Jusuf Kalla]] dan Menteri Negara BUMN [[Laksamana Sukardi]]. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat.<ref>Barton (2002), halaman 302</ref> Hal ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Baris 192:
|accessdate = 2006-12-31 }}</ref> Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji.<ref>Barton (2002), halaman 352</ref> Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi [[Australia]].
 
Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam [[anarkisme]]. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.<ref>Barton (2002), halaman 348</ref> Pertemuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimanadi mana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa ''walk out'' dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di [[Pasuruan]].<ref>Barton (2002), halaman 351-352</ref> Namun, demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.
 
Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia [[Yusril Ihza Mahendra]] dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur.<ref>{{Citation|title=Yusril Ihza Minta Gus Dur Mundur|newspaper=Gatra|year=2001|date=2 Februari 2001|url=http://www.gatra.com/artikel.php?id=3661|accessdate = 5 Oktober 2009}}</ref> Menteri Kehutanan [[Nurmahmudi Ismail]] juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan [[Partai Keadilan]],<ref>{{Citation|title=Presiden: Dia Memenuhi Tiga Kriteria|newspaper=Tempo Interaktif|year=2001|date=17 Maret 2001|url=http://tempo.co.id/hg/nasional/2001/03/17/brk,20010317-02,id.html|accessdate = 5 Oktober 2009}}</ref> yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Baris 201:
== Aktivitas setelah kepresidenan ==
=== Perpecahan pada tubuh PKB ===
Sebelum Sidang Khusus MPR, anggota PKB setuju untuk tidak hadir sebagai lambang solidaritas. Namun, [[Matori Abdul Djalil]], ketua PKB, bersikeras hadir karena ia adalah Wakil Ketua MPR. Dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Syuro, Gus Dur menjatuhkan posisi Matori sebagai Ketua PKB pada tanggal 15 Agustus 2001 dan melarangnya ikut serta dalam aktivitas partai sebelum mencabut keanggotaan Matori pada bulan November.<ref>[http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2001/11/15/brk,20011115-05,id.html Tempo Interaktif: Matori dipecat dari PKB]</ref> Pada tanggal 14 Januari 2002, Matori mengadakan Munas Khusus yang dihadiri oleh pendukungnya di PKB. Munas tersebut memilihnya kembali sebagai ketua PKB. Gus Dur membalasnya dengan mengadakan Munasnya sendiri pada tanggal 17 Januari, sehari setelah Munas Matori selesai<ref>[http://www.indomedia.com/bernas/012002/01/UTAMA/01uta4.htm UTAMA<!-- Bot generated title -->]</ref> Musyawarah Nasional memilih kembali Gus Dur sebagai Ketua Dewan PenasehatPenasihat dan [[Alwi Shihab]] sebagai Ketua PKB. PKB Gus Dur lebih dikenal sebagai PKB Kuningan sementara PKB Matori dikenal sebagai PKB Batutulis.
 
=== Pemilihan umum 2004 ===
Pada April 2004, PKB berpartisipasi dalam [[Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Indonesia 2004]], memperoleh 10.6% suara. Untuk [[Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004]], dimanadi mana rakyat akan memilih secara langsung, PKB memilih Wahid sebagai calon presiden. Namun, Gus Dur gagal melewati pemeriksaan medis sehingga [[Komisi Pemilihan Umum]] menolak memasukannya sebagai kandidat. Gus Dur lalu mendukung Solahuddin yang merupakan pasangan dari Wiranto. Pada 5 Juli 2004, Wiranto dan Solahuddin kalah dalam pemilu. Untuk pemilihan kedua antara pasangan Yudhoyono-Kalla dengan Megawati-Muzadi, Gus Dur menyatakan golput.
 
=== Oposisi terhadap pemerintahan SBY ===