Nafsul Ammarah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Zake dean99 (bicara | kontrib)
k perubahan saya ambil dari karya tulis ilmiah yang saya buat mnegenai hal ini
Zake dean99 (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 26:
# [[Syahwat]] dan kesenangan terhadap [[Harta|harta benda]]; sehingga melahirkan [[kerakusan]], [[perampokan]], [[pencurian]], [[manipulasi]], [[korupsi]], bahkan [[kekerasan fisik]], seperti [[pembunuhan]] dan [[penganiyaan]].
# [[Syahwat]] dari kesenangan terhadap [[sex]]; sehingga melahirkan [[kejahatan]] dan [[kekejian]] berupa [[perzinaan]], [[pemerkosaan]] dan [[penyimpangan seksualitas]] lainnya, bahkan hanya karena soal [[sex]] terjadi [[pembunuhan]] dan [[penganiayaan fisik]].
# [[Syahwat]] dan kesenangan terhadap [[jabatan]] dan [[kedudukan]];  sehingga melahirkan para [[Pejabat Negara|pejabat]] dan [[pemimpin]] yang [[Zalim|dzalim]], [[Tiran|tirani]], [[otoriter]], bahkan [[diktator]]. Akhirnya [[menindas]] siapa saja yang akan menghalang-halangi kekuasaannya dengan [[menghalalkan]] berbagai macam cara.
Mengikuti [[Hawa nafsu|hawa ''nafs'']] akan membawa [[manusia]] kepada kerusakan. Akibat dari pemuasan ''[[Nafsu|nafs]]'' jauh lebih mahal ketimbang kenikmatan yang didapat darinya. [[Hawa nafsu|Hawa ''nafs'']] yang tidak dapat dikendalikan juga dapat merusak [[potensi diri]] seseorang.[14] Dalam al Qur’an telah dijelaskan:
 
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ[15]<ref>(Q.S. al Baqarah: 30)</ref>
 
Artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’”
 
Sebenarnya setiap orang diciptakan dengan [[potensi diri]] yang luar biasa, tetapi [[Hawa nafsu|hawa ''nafs'']] dapat menghambat [[Potensi diri|potensi]] itu muncul kepermukaan. [[Potensi diri|Potensi]] yang dimaksud di sini adalah [[Potensi diri|potensi]] untuk menciptakan [[keadilan]], ketenteraman[[Ketenteraman|ketentraman]], [[Aman|keamanan]], [[kesejahteraan]], [[persatuan]] dan hal-hal baik lainnya. Namun karena hambatan ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ada pada diri seseorang potensi-potensi tadi tidak dapat muncul kepermukan (dalam realita kehidupan).
 
Maka dari itu mensucikan diri atau mengendalikan [[Hawa nafsu|hawa ''nafs'']] adalah keharusan bagi siapa saja yang menghendaki [[keseimbangan]], [[kebahagian]] dalam hidupnya karena hanya dengan berjalan di jalur-jalur yang benar sajalah menusiamanusia dapat mencapai hal-hal tersebut.[16]                          Antara ''[[Nafsu|nafs]]'' di suatu [[pihak]] dan [[Hati nurani|hati]], [[akal]], serta ''[[Bashiira|bashiirah]]'' akan saling tarik menarik dalam mempengaruhi, mewarnai dan menguasai [[jiwa]] seseoarang. ''[[Nafsul Ammarah|Nafs ammarah]]'' dibantu oleh [[setan]] mendorong orang untuk berbuat ''[[fujur]]'' ([[kejahatan]]) dan sebaliknya,  [[Hati nurani|hati]], [[akal]] dan ''bashirah[[Bashiira|bashiirah]]'' mengajak untuk bertaqwaber[[taqwa]]. [[Manusia]] diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, apakah akan mengikuti [[Hawa nafsu|hawa ''nafs'']]''-''nya atau malah akan mengikuti dorongan hatinya[[Hati nurani|hati]]<nowiki/>nya, dalam kehidupan keseharian [[manusia]] itu.[17]<ref name=":2">A. Manan Idris, A. Fuad Effendy, dkk., ''Penyejuk Hati Penjernih Pikiran, 30 Topik Ceramah Keagamaan,'' Malang, Misykat, 2004, hlm. 102</ref>
 
[[Fuad Effendy]] memberikan secara umum [[karakteristik]]  atau ciri-ciri ''[[Nafsul Ammarah|nafs ammarah bi al-suu’]],'' yaitu:[18]<ref name=":2" />
 
1.     Tidak akan pernah mau berhenti pada suatu titik keadaan, tidak pernah merasa [[puas]], dan selalu merasa kurang.
 
2.     Tidak pernah mau mengalah dan tidak mau bersabar.
 
3.     Tidak pernah serasi dengan [[rasio]] ([[akal]]), [[Hati nurani|hati]], dan ''bashirah[[Bashiira|bashiirah]]''.
 
4.     Selalu menolak kebenaran ''[[Illahiyah]]'' (bersifat ketuhanan) maupun ''[[insaniyah]]'' (bersifat kemanusiaan)''.''
 
5.     Menghendaki sesuatu yang diinginkan harus tercapai atau diperoleh dengan segera (''[[al ‘ajalah]]'').
 
6.     Mendorong ke arah [[pemikiran]], [[sikap]], [[Perilaku manusia|perilaku]] yang [[Sesat|menyesatkan]].
 
7.     Mendorong pengejaran kenikamatan[[kenikmatan duniawi]].
 
Di antara para [[Ulama]], ada yang merinci lebih [[spesifik]], bahwa ''[[Nafsul Ammarah|nafs ammarah bi al-suu’]]'' itu juga meliputi hal-hal berikut:[19]<ref name=":2" />
 
1.     ''[[Nafs Rubuubiyyah]],'' yaitu ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki [[Tuhan]], seperti [[Kesombongan|sombong]].
 
2.     ''[[Nafs Bahiimiyyah]],'' yaitu ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki oleh [[binatang]], seperti [[malas]], memuaskan kebutuuhankebutuhan biologis atau [[sex]].
 
3.     ''[[Nafs Sabuu’iyyah]],'' yaitu ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ingingingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki [[binatang]] [[buas]], seperti suka “memakan” orang lain.
 
4.     ''[[Nafs Syaithaniiyyah]],'' yaitu ''[[Nafsu|nafs]]'' yang ingin menyamai sifat-sifat yang hanya dimiliki [[setan]], seperti: [[Iri hati|iri]], [[dengki]], menghasut.
 
Menurut Abraham Maslow, hampir semua orang memiliki kebutuhan dan kecenderungan untuk mengaktualisasikan diri. Meski demikian, kebanyakan orang tidak mengetahui potensi yang dimilikinya, buta terhadap kemampuannya sendiri. Mereka tidak menyadari seberapa besar prestasi yang dapat mereka raih dan seberapa banyak ganjaran bagi mereka yang mengaktualisasikan diri.[20] Maka pada saat manusia yang telah dijajah oleh ''nafs ammarah'' ini, ia tidak sadar bahwa segala perbuatan, sikap dan tindakan yang dilakukan itu akan membahayakan dirinya maupun orang lain. Ia sangat menikmati kejahatan dan kekejian yang dilakukannya itu. Batas-batas antara yang ''haq'' dan yang ''bathil,'' halal dan haram, baik dan buruk, terpuji dan tercela, manfaat dan ''madlarat'', dosa dan pahala sudah kabur dalam kehidupannya. Orang-orang seperti ini dikatakan oleh al Qur’an sebagai makhluk yang lebih hina dari binatang melata. Sebagaimana firman Allah: