Tubuh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jagawana (bicara | kontrib)
k Suntingan 125.163.222.131 (Pembicaraan) dikembalikan ke versi terakhir oleh Meursault2004
Baris 7:
Ilmu yang mempelajari fungsi tubuh adalah [[anatomi manusia|anatomi]].
 
== PentasLihat Tubuh Perawanpula ==
* [[Cacat]], [[Penyakit]], [[Darurat]], [[Penyembuhan]], [[Kesehatan]], [[Penampilan fisik manusia]], [[Mikrotrauma]], [[Trauma fisik|Trauma]]
** Berhubungan dengan jenazah: [[Penguburan]], [[Kremasi]], [[Kematian]], [[Pembalutan]], [[Mumi]], [[Nekrofilia]], [[Penghormatan bagi orang meninggal]]
 
[[Kategori:Manusia]]
Fenomena yang sedang marak disepanjang jalan pantura saat ini, salah satunya adalah banyaknya karyawan pom bensin dari kaum hawa. Tentunya mereka rata-rata berstatus belum menikah, alias masih perawan. Dalam kesehariannya mereka melayani para pembeli BBM , seraya mementaskan tubuhnya yang sekaan memanggil-manggil para konsumen dengan lekuk tubuhnya yang bahenol. Apa sebenarnya yang terjadi dibalik pentas tubuh para perawan di medan usaha yang satu ini. Apakah murni improvisasi persaingan usaha para pemilik saham, apakah wujud kemenagan gerakan gender, atau terdapat kekerasan simbol-simbol tubuh sosial dengan menomorsatukan aspek sensualitas untuk memperdaya par akonsumen.
 
[[da:Krop (biologi)]]
 
[[de:Körper (Biologie)]]
Selama kuliah di perguruan negeri di kota Semarang sejak tahun 2002, minimal tiap satu bulan sekali saya menyempatkan pulang ke rumah sekedar meminta uang saku dan melepaskan rasa kangen pada orang tua dan keluarga. Kebetulan rumah saya Rembang, jadi beragam perubahan fasilitas umum menjadi pemandangan yang selalu menghibur disela-sela kemacetan, kebisingan dan panasnya terik matahari, mulai sepanjang jalan dari kabupaten Rembang, Pati, Kudus, Demak dan kota Semarang, termasuk kabuparen Jepara, kebetulan saya punya hobi plesir dan fotografi. Sampai sekarangpun, walaupun saya sudah lulus kuliah, kebiasaan pulang ke rumah rutin dan menjadi agenda nomor wahid saya lakukan.
[[en:Body]]
 
[[is:Líkami]]
 
[[ja:死体]]
Ragam fenomena yang sempat saya dokumentasikan dalam cepretan foto saya diantara, banyaknya PKL yang tumbuh dan berkembang disepanjang jalan arteri, menjamurnya aktifitas seniman jalanan (pengamen) di bus-bus selayaknya konser musik di panggung tahun baru, padatnya reklame yang menjadi pemantik pengguna jalan pada malam hari yang didominasi iklam rokok, eloknya gapura-gapura lembaga pendidikan dan tower jaringan seluler yang menjulang langit, merebaknya pusat oleh-oleh khas daerah yang saling berebut para pelintas kota, pentas gambar calon-calon politisi dari moment Pilkades, Pilkada, Pilgub sampai Pilres, ucapan selamat mulai dari tingkat individu, organisasi non pemerintahan sampai lembaga kenegaraan, menjamurnya squer yang cakap memanfaatkan ruang-ruang kosong di sudut keramaian, menjamurnya toko-toko sembako dan swalayan kecil yang tampil menjadi pusat untuk para penjaja, dan semakin menggeliatnya tempat pengisian bahan bakar yang disandingkan dengan cafe plus serta rumah makan. Tentunya masih banyak perubahan yang berhubungan dengan penggunaan tata ruang, baik hanya sebatas pemantik daerah masing-masing untuk par apelancong, maupun hanya sebatas ego mercusuar pemimpin daerah, misalnya background masjid kudus dan demak yang digunakan pose cagup partai tententu. Termasuk dibangunnya mega proyek listrik di kawasan kabupaten Rembang yang disinyalir telah banyak menelan korban nyawa tenaga kerja dan perampasan harmonisasi masyarakat desa, termasuk disini adalah Kabupaten Jepara.
[[ko:몸]]
 
[[nl:Lichaam (biologie)]]
 
[[sv:Lik]]
Hirukpikuk lalulintas wajah tiap-tiap daerah di atas semakin menggeliat, seiring digiatkan dengan tampilnya pemain baru yang semakin dominan dalam menampilkan eksistensi dirinya, mereka adalah gadis-gadis yang masih perawan. Tampilnya perempuan di medan laga dunia usaha ini tidak lepas dari perkembangan pemikiran produktifitas, dimana dalam memompa dan mengumpulkan kekayaan (!) tidak lagi dibutuhkan tampilnya para pegiat berbadan kekar dan bertenaga kuda, namun sebaliknya, dalam gelombang ekonomi keempat (era kreatifitas) ini hanya dibutuhkan simbol-simbol yang mampu menggiring persepsi massa untuk digiring dalam relung kepentingan, bukan pada roda mesin yang pekat akan kebulan asap hitam.
 
 
Masih ingatkan era kartinian pada saat itu, dimana perempuan masih bergumul di ruang domestik yang berjimbun stereotip yang menyebalkan. Lambat laun seiring dengan berjalannya roda waktu, belenggu kecamuk yang mencoba menguasai perempuan itu telah runtuh. Misalnya, cerita tradisi Dandangan di sudut kota Kudus Kulon pun telah sirna, dimana tradisi menyimpan gadis yang dilakukan oleh orang tuanya, kemudian dipamerkan saat tradisi Dandangan agar dilirik para pemuda sekitar, sudah tidak berlaku. Para pemuda Kudus saat ini dengan bebas melirik dan meminang gadis impiannya tidak hanya dilakukan pada saat prosesi Dandangan. Ruang itu telah di gelar sepanjang hari, dengan media hamparan usaha yang digiatkan oleh para perempuan Kudus. Keadaan saat ini sepadan dengan grand massage dalam puisi Khairil Anwar dengan judul perempuan-perempuan perkasa. Telah jelas bahwa bentangan historis dan tradisi tampilnya kaum hawa di domain domenstik telah luluh lantak seperti lagunya Samson. Namun menu pertanyaan yang perlu disuguhkan pada kita adalah mengapa fenomena tampilnya para perempuan didominasi pada ruang buruh, dan maaf, dimana mereka sebagian besar tampil sebagai para pengabdi.
 
 
Sebelum mengulas fenomena tampilnya tubuh para perawan di pom bensin, ijinkan saya menceritakan sejenak tentang penelitian kecil yang saya lakukan pada tahun 2005 silam, dengan tema mengurai aspek sensualitas pada iklan kosmetik, rokok dan furniture. Hasil penelitian ini pernah di bahas dalam forum diskusi bulanan pada Fakultas Ilmu Sosial, Unnes dengan tema “Rekayasa Seni dan Filsafat di Era Kekuasaan”. Keingintahuan saya pada saat itu adalah mengapa masyarakat lebih giat dan senang membeli kosmetik, rokok dan furniture, padahal kebutuhan seperti pendidikan anak-anaknya masih terseok-seok. Fenomena itu muncul juga seiring tampilnya iklan yang digelar baik di kotak hitam sampai pajangan reklame jalan yang terkadang mengancam dan menghilangkan nyawa dan ruh suatu masyarakat dan zaman.
 
 
Hasil analisa dari studi di atas, ditemukan aspek-aspek sensualitas yang dimunculkan pada iklan produk kosemetik, rokok dan furniture. Sebagai ilustrasi, lihat saja iklan televisi di majalah yang disebelah kiri pojoknya terdapat gambar kaki perempuan telanjang yang agak di close up. Makna simbol di atas memberikan pesan bahwa dengan membeli televisi merek yang dipasarkan, pemirsa seakan dapat menikmati tubuh perempuan, gila bukan. Selanjutnya, ingatkah kita dengan iklan rokok jarum blak. Tampak diiklankan di layar tv, dengan meng-close up batang rokok hitam dengan asap dan warna agak keputihan. Makna yang dipesankan dalam iklan tersebut yaitu menggambarkan kokohnya alat kelamin lak-laki dengan derasnya air sperma yang kemudian mengajak para perokok berat untuk pindah ke merek tersebut, karena dengan merokok merek tersebut, sekaan perokok adalah lelaki kuat yang siap melayani para perempuan yang gila akan senggama dengan lawan jenisnya. Jelas iklan tersebut telah membangun ajakan agar para suami beralih pada produk rokok itu, agar dapat memuaskan pasangannya. Dalam kajian di atas terdapat tarikan benang merah bahwa tampilan iklan yang digelar baik di media cetak maupun elektronik sekuat mungkin meraup pelanggannya dengan dorongan simbol-simbol sensualitas yang mampu membangunkan keinginan untuk mengkonsumsinya, karena dengan membeli produk tersebut, mereka merasa kuat, nyaman, nikmat dan lain sebagainya seperti brand image yang ditawarkan pemilik produk yang bersangkutan. Dan yang lebih mendasar, pemilik iklan telah menjadi pemain besar dalam menjungkirbalikkan makna demi kepentingan materi di medan usaha. Lantas bagaimana dengan para pemain saham pemilik pom bensin yang telah mengkaryawankan para gadis yang masih anggun dan setiap saat siap membangkitkan nafsu untuk memiliki para pembeli BBM pada pom bensin yang bersangkutan. Fenomena ini patut tidak dibungkam, karena ruang yang diwacanakan adalah masalah minyak. Bukankan bangsa ini telah memiliki daya ketergantungan yang begitu dahsyat dengan keberadaan minyak, bukan.
 
 
Pembangunan sarana pusat pengisian bahan bakar minyak di pom bensin telah beriringan dengan mobilitas masyarakat dan pemerintah dan pihak pelaku usaha yang begitu pesat. Mulai dari pejabat eselon empat sampai bawahannya, mulai dari manager sampai para pengabdinya, mulai para majinkan sampai pembantunya, mulai para kepala sekolah sampai murid-murid, semua telah mengenakan kendaraan bermesin untuk kesana-kemari. Padatnya mobilitas keseharian yang kemudian menggeliatkan bisnis kendaaran dan kemudian membangkitkan usaha bahan bakar minyak yang menyebar layaknya jamur di musim penghujan di sepanjang pantura dan pusat pemerintahan yang dipandang sebagai pusat lalu-lalangnya modal. Gaya hidup yang serba instan dan singkat telah memaksa para pengabdi dan penyalur materi gaya hidup lebih ekstra cepat dan singkat dalam memenuhi dan menyajikannya. Jelas tanpa diimbangi sarana lalulintas dan mobilitas, harmonisasi di jalanan hanya sebuah impian di negeri awan, seperti bait-bait yang diuraikan Katon Bagaskara. Kekerasan jalanan dan pemakai kendaraan semakin membabi buta, banyaknya pelanggaran laulintas, yang disinyalir sebuah fenoma yang diimpikan bagi segenap petugas satlantas, karena akan mendatangkan rizki dari denda yang dikenakan para pengguna jalan yang melanggar peraturan lalulintas, yang peraturannya terkesan dadakan, termasuk anak jalanan dan pedagang asongan dipinggiran jalan juga mendapatkan rizki dari kekerasan di jalan raya, hebat bukan.
 
 
Pada saat pengguna jalan stress, mereka segera melirik sudut-sudut yang mampu menampung kepenatan yang melimpah ruah itu. Namun tempat untuk melamtiaskan kepenatan itu telah diusir oleh keseharian yang serba instans, bahkan sekaan waktu seharian tidaklah cukup. Para pengguna jalan seakan tidak punya waktu untuk sekedar mampir di kedai dan rumah makan pada siang bolong. Apalagi di tambah semakin tingginya jurang pemisah sesama pengguna jalan, sebut saja yang kaya semakin mengkilap mobilnya, yang miskin semakin mengepul asap knalpot motornya. Jika keadaan ini diberlakukan uji emisi kendaraan, maka fenomena jalan raya hanya dipenuhi gemerlapnya cat bodi mobil orang-orang kaya saja, entah apa yang akan terjadi kemudian.
 
Lantas siapakah yang tampil dalam menyelaraskan keseimbangan para pengguna jalan yang begitu penat itu, polisikah. Tentu saja bukan, walaupun baru-baru ini di kawasan jalan arteri Demak terpampang jelas reklame berbunyi “polisi konco dewe”, namun kenyataannya pengguna jalan pantura lebih nyaman menghindari dan terhindar dari polisi, termasuk polisi tidur. Para pengguna jalan lebih terhibur reklame yang mengumbar gambar tubuh perempuan, dari pada membaca pesan produknya. Atau tvtron yang ada di bundaran air mancur, jelas bukan, bundaran air mancur yang ada di jantung kota Semarang itu tidak lagi pantas menjadi tempat orasi para pegiat penyambung lidah rakyat, saat ini persis menjadi media pentas gaya hidup muda mudi yang sedang dirundung cinta, lihat saja banyaknya pentas musik malam beberapa hari kemarin. Walaupun demikian, gerakan mahasiswapun tidak ada yang memekikkan realitas di atas, sayang bukan.
 
 
Jika dilihat lebih seksama, salah satu pemain usaha yang telah siap dan mampu tampil mengisi ruang dan padatnya jalanan yang panas dan menantang itu adalah para pemilik pom bensin. Pada tahun 2002, seingat saya setiap kabupaten paling banyak memiliki pom bensin lima buah dengan tenaga kerja laki-laki, tak satupun perempuan, apalagi masih gadis, mungkin pada tahun itu masih kental stereotip masyarakat bahwa perempuan tidak baik kerja di jalan. Namun pada akhir tahun 2007 ini, pembangunan pom bensin di tiap-tiap kabupaten dan kota relatif meningkat, tercatat lebih dari 10 pom bensin berdiri di tiap-tiap kabupaten dan kota dengan tenaga kerja perempuan/gadis, dengan fasilitas kamar mandi, kafe, bengkel, parkir, musholla, rumah makan, pencucian kendaraan, tempat pijat ditampah dengan pemandangan laut yang segar dan sesekali lambaian pohon kelapa dan ombak mampu melupakan sejenak tagihan cicilan kredit rumah, mobil, sepeda motor, dan gaji karyawan, hebat bukan.
 
Tampilnya para gadis sebagai pelayan pengisi bahan bakar minyak di pom bensin seperti fenomena musik dangdut koplo goyang ngebor di belahan pesisir utara beberapa tahun lalu. Termasuk musik campur sari yang pernah merebak beberapa tahun kemarin. Apakah fenomena merebaknya dua gaya musik di atas didorong oleh kran kebebasan dan sebuah ekspresi yang dikebiri dan di himpit dari beberapa dasa warsa silam. Mungkin saja tidak, walaupun sama-sama menggunakan media ekploitasi yang sama, yaitu tubuh perempuan.
 
 
Pom bensin merupakan bagian dari konsekwensi globalisasi. Mengapa tidak, karena pom bensin telah menggerakkan modernisasi, yaitu teknologi dan informasi yang syarat dengan mesin yang dipandang kental dengan high teknologi. Sedangkan aliran musik seperti dangdut koplo dan campursari digerakkan oleh masyarakat yang kebetulan memiliki modal lebih untuk menghibur diri, ketika pada saat pemerintah tidak mampu mencukupi kebutuhan seni dan budaya masyarakatnya. Lihat saja, para pemain saham pom bensin sebagian besar memiliki modal puluhan sampai ratusan milyar. Walaupun demikian belum pernah ada iklan di media yang menawarkan produk BBM nya. Untuk mengganti kekosongan fungsi publikasi, para pemilik pom bensin hanya cukup menggelar tubuh para gadis yang masih molek dan montok bodinya.
 
Seperti yang pernah saya rasakan, pada saat itu kebetulan saya bonceng sepeda motor teman. Saat itu posisi spedometer bahan bakarnya masih cukup untuk melintas, namun tetap saja masuk pom bensin. Setelah saya tanya, “kenapa bensinnya di isi?”, dia menjawab “karena petugas pomnya cantik-cantik”. Dengan malu-malu saya pun melirik pelayan pom yang semuanya perempuan. Pakaian yang dikenakan memang tampak tipis dan nasionalis sehingga tubuh bagian dada dan pantatnya seakan lebih merekah dengan warna merah. Teman saya juga pernah cerita, saat membeli bensin, dia tidak memperhatikan alat penghitung bensin, dia lebih senang memperhatikan pelayannya. Hal senada juga saya dapatkan dari beberapa temen sejawat yang kebetulan satu daerah dan satu perguruan tinggi, bahwa setiap hari sabtu sore atau malam minggu, di pom bensin banyak pengunjung para cowok lajang yang sekedar ingin bercakap dan mengenal lebih jauh gadis pelayan BBM itu. Agaknya pom bensin telah tampil sebagai lembaga biro jodoh, apakah nantinya tidak mungkin muncul kekerasan perempuan di lembaga usaha tersebut. Sampai sekarang teman-temen LSM dan NGO lainnya belum ada yang mengakaji akan tematik di atas.
 
 
Jika dikatakan sebagai langkah jitu dalam mengimprovisasi persaingan usaha para pemilik saham, mengapa yang ditonjolkan hanya para pelayanan gadisnya. Apakah sudah cukup dikatakan profesional jika di lapangan, pembeli BBM tidak diberi struk pembelian, ditambah kencing dan mandi saja harus bayar, belum secara rutin menunjukkan angka meteran penghitungan dari nol, dan seringkali BBM habis. Jika memang wujud kemenangan gerakan gender, tentunya mereka dibekali dengan ragam pelatihan pengetahuan untuk menggerakkan potensi golongannya agar lekas bangkit dari belenggu jeratan cara pandang yang buruk dan sekaligus membebaskan. Namun kenyataannya tidak, tentunya sebagai karyawan, mereka harus selalu tunduk dan seraya mengucapkan sendiko dawuh dari instruksi pemilik pom bensin. Lihat saja pakaian yang dikenakan harus ketat agar kelihatan lekuk tubuhnya. Cukupkah para calon ibu nantinya hanya dikenalkan dengan asap kendaraan dan wajah-wajah penat dari raja-raja jalanan. Memang dengan bekerja, mereka dapat mencukupi kebutuhannya, namun disisi lain, para pengecer bensin yang ada di sekitar pom bensin tidak laku, apakah itu namanya tidak mengacaukan keseimbangan rizki. Lantas apakah fenomena tampilnya perempuan di medan laga ini murni sebuah siasat dagang yang mengenakan kekerasan simbol dengan menomorsatukan aspek sensualitas untuk memperdaya kaum adam sebagai penjaja BBM .
 
 
Jika dibandingkan dengan aspek sensualitas pada iklan di media cetak, pemilik pom bensin bukan hanya bermain dalam wilayah peminjaman simbol-simbol sensualitas, seperti iklan rokok, kosmetik dan furniture, namun pemilik usaha di atas secara vulgar telah menghadirkan objek-objek sensualitas secara langsung dilapangan. Mungkinkan ketika BBM naik, dengan tampilnya gadis-gadis dengan perawakan menarik itu akan menjadi alat pemilik saham dan pemerintah untuk menjadi tameng agar masyarakat tidak protes dalam menyuarakan ketidakmampuan membeli BBM . Apakah dengan itu juga pengguna alat transportasi apapun tidak lagi memperhatikan biaya efesiensi untuk mobilitas. Apakah juga akan menutup kecurangan-kecurangan yang dilakukan pemilik pom bensin dan diselimutinya noda-noda itu dengan tipisnya rajutan pakaian yang terkesan sensualis nasionalis, karena pakaiannya khas warna merah dengan bingkai putih sebagai simbol bendera merah putih.
 
 
Dari kajian di atas tampak jelas bahwa pemain usaha BBM telah menggunakan dan menggelar sensualitas di jalan raya untuk menjerat pembeli BBM. Jelas bahwa pemilik pom bensin tidak hanya membeli tenaga para perawan, namun lebih dari itu, telah mengeksploitasi simbol-simbol sensualitas yang harusnya di bayar lebih mahal?