Perang Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k →‎Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert: ejaan, replaced: ditempat → di tempat, tekat → tekad
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes, replaced: kerjasama → kerja sama
Baris 50:
Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan [[infantri]], [[kavaleri]] dan [[artileri]] (yang sejak [[perang Napoleon]] menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan [[kota]] dan [[desa]] di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur [[logistik]] dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh-puluh kilang [[mesiu]] dibangun di [[hutan|hutan-hutan]] dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
 
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan [[hujan|penghujan]]; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasamabekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit [[malaria]], [[disentri]], dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan [[provokator]] mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando Pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
 
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu di mana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti [[Jawa Tengah]] dan sebagian [[Jawa timur]] dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (''open warfare''), maupun metode perang gerilya (''guerrilla warfare'') yang dilaksanakan melalui taktik ''hit and run'' dan penghadangan (''Surpressing''). Perang ini bukan merupakan sebuah ''tribal war'' atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (''psy-war'') melalui [[insinuasi]] dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (''spionase'') di mana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.