Sejarah Kota Samarinda: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib) k minor cosmetic change |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 27:
Suku Banjar adalah suku asli di Pulau Kalimantan. Sementara itu, Samarinda bagian dari Kalimantan Timur; dan Kalimantan Timur bagian dari Kalimantan. Maka, suku Banjar di Samarinda dalam konteks geografis bisa disebut suku asli.
Pada tahun 1565, terjadi migrasi (perpindahan penduduk) suku Banjar dari Batang Banyu ke daratan Kalimantan bagian timur. Ketika itu rombongan Banjar dari [[Amuntai]] di bawah pimpinan Aria Manau dari [[Kerajaan Kuripan]] (Hindu) merintis berdirinya [[Kerajaan Sadurangas]] (Pasir Balengkong) di daerah [[Paser]]. Selanjutnya suku Banjar juga menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan di daerah yang sekarang disebut Samarinda. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya [[bahasa Banjar]] sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah ada beragam suku yang datang, seperti Bugis dan Jawa.<ref>Sarip (2015), pp. 17-18</ref>
Awal pemukiman suku Banjar di daerah Kalimantan bagian Timur dimulai sejak Kerajaan Kutai Kartanegara berada dalam otoritas (kekuasaan) Kerajaan Banjar setelah runtuhnya [[Kesultanan Demak]] pada tahun 1546 Masehi. Hal ini dinyatakan oleh tim peneliti dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 1976.<ref name="Depdikbud">Tim Penyusun (1976). ''Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Timur''. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 17.</ref>
Baris 65:
Versi keempat berdasarkan cerita rakyat bahwa nama Samarinda berasal dari [[bahasa Melayu]] dari kata “samar” dan “indah”.
Sampai menjelang akhir abad ke-20 atau sekitar dekade 1980-an warga masih menyebut Samarinda dengan lafal “Samarenda” (pengucapan huruf “e” seperti pada kata “beta”) walaupun dalam bahasa penulisannya sudah berubah menjadi “Samarinda”.<ref>Sarip (2015), p. 44</ref>
== Era Kolonial Belanda ==
Baris 73:
Kedudukan Assistant Resident di Palarang yang melakukan pengawasan penuh terhadap Kesultanan Kutai berlangsung sampai tahun 1870. Selanjutnya, kedudukannya dipindahkan ke daerah seberang dari Palarang, yakni Samarinda kota sekarang. Tahun 1888 sempat dimulai penambangan batu bara di Palarang.
Pada pertengahan abad ke-19, situasi Samarinda terutama bagian pesisir Sungai Mahakam berada dalam suasana mencekam karena kondisi keamanan yang tidak stabil. Perampokan, pembajakan, penculikan, hingga perbudakan merupakan perilaku barbar yang marak terjadi.<ref>Sarip
Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 75 tanggal 16 Agustus 1896 yang ditandatangani oleh Sekretaris Umum A.D.H. Heringa, Samarinda ditetapkan sebagai wilayah Rechtstreeks Gouvernemen Bestuur Gebied alias tempat kedudukan pemerintah Belanda dan merupakan daerah yang diperintah langsung oleh Belanda. Wilayah Samarinda yang juga diistilahkan dengan Vierkante-Paal itu meliputi areal seluas ± 2 kilometer persegi, yang terbentang antara sungai Karang Asem Besar (Teluk Lerong) di hulu sampai sungai Karang Mumus di hilir, dengan jarak 500 meter ke dalam dari tepi Sungai Mahakam. Status Vierkante-Paal Samarinda sebenarnya adalah pinjaman dari Kesultanan Kutai, tetapi kemudian diklaim rezim kolonial Belanda.
Baris 83:
Seterusnya kedatangan etnis Tionghoa tahun 1885 ditempatkan di sekitar [[Pelabuhan, Samarinda Kota, Samarinda|Pelabuhan]] (sekarang meliputi kawasan Jl. Yos Sudarso dan Jl. Mulawarman). Setelah itu berdatangan pula etnis lainnya seperti Arab, India, Jawa, Sumatera, dan lain-lain. Kemudian Belanda membangun perkantoran dί sekitar kawasan kantor Gubernur sekarang sebagai pusat pemerintahan.
Samarinda sebagai pusat pemerintahan berkembang pesat dengan fasilitas kantor, jalan umum, dan lainnya. Semuanya merupakan daya tarik bagi pemukim baru untuk menetap dί kota ini. Kawasan Samarinda yang dί seberang (Palarang) tidak berkembang lagi. Dengan peranan Palarang yang sudah tergantikan oleh kawasan di seberangnya maka tercetuslah istilah Samarinda Seberang untuk wilayah Palarang dan Samarinda untuk wilayah pusat kota dan pemerintahan.<ref>Sarip (2015), pp. 49-52</ref>
Samarinda sejak dekade 1960-an dijuluki sebagai “pusat emas hijau”. Predikat ini dilatarbelakangi oleh keadaan alam Samarinda dan sekitarnya yang memiliki hutan belantara sangat luas dengan jenis pepohonan berukuran besar yang cocok untuk bahan bangunan dan industri.<ref>Sarip
== Perkembangan administratif ==
Baris 103:
* Tim Penyusun (2004). ''Merajut Kembali Sejarah Kota Samarinda''. Samarinda: Pemerintah Kota Samarinda
* {{cite book|last=Sarip|first=Muhammad|date=2015|title=Samarinda Bahari, Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda|publisher=Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari|isbn=978-602-73617-0-6}}
* {{cite book|last=Sarip|first=Muhammad|date=2015|title=Sejarah Sungai Mahakam di Samarinda, dari Mitologi ke Barbarisme sampai Kemasyhuran|publisher=Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari|isbn=978-602-73617-1-3}}
{{Kota di Indonesia|prefix=Sejarah|title=Sejarah kota-kota di Indonesia|state=collapsed}}
|