Amangkurat II: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 24:
Dengan bergabungnya Keraeng Galesong ini, maka kekuatan [[Trunajaya]] semakin besar dan sulit dikendalikan. Mas Rahmat merasa bimbang dan memilih kembali berada di pihak ayahnya. Ia kembali menjadi [[putra mahkota]], karena [[Pangeran Puger]] sendiri berasal dari keluarga Kajoran (yang mendukung pemberontakan). Dengan bergabungnya Mas Rahmat kembali ke pihak ayahandanya yaitu, Amangkurat I, semakin mengobarkan api pemberontakan pada pasukan Trunajaya beserta Keraeng Galesong ini
Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1677 [[Trunajaya]] menyerbu istana [[Plered]]. [[Amangkurat I]] dan Mas Rahmat sendiri melarikan diri ke barat, sedangkan istana dipertahankan oleh [[Pangeran Puger]] sebagai bukti kalau tidak semua kaum Kajoran mendukung [[Trunajaya]]. Namun [[Pangeran Puger]] sendiri akhirnya terusir ke desa Kajenar.
== Koalisi Pangeran Trunajaya - Keraeng Galesong ==
Setelah Trunajaya dapat merebut keraton Mataram pada tanggal 28 Juni 1677 ia segera membawa berbagai pusaka kerajaan Mataram ke markasnya yang berada di Kediri. Sementara pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong bergerak menuju Bangil untuk membuat kubu pertahanan. Sangat disayangkan kemudian terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Karaeng Galesong karena masalah keluarga. Perlu diketahui, bahwa Karaeng Galesong sendiri adalah menantu Trunajaya sebagai tanda persekutuan mereka.
Pada 5 September 1678 pasukan gabungan VOC dan Mataram bergerak menuju Kediri di bawah pimpinan '''Anthonie Hurd''' dan Sunan Amangkurat II. Pasukan ini bergerak dari [[Kabupaten Jepara|Jepara]] melewati [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]], Grompol, Kajang, dan [[Kabupaten Madiun|Madiun]] di mana pasukan '''Kapten Tack''' bergabung setelah menempuh perjalanan dari Keduwang dan Panaraga. Lalu pasukan bergerak ke Singkel untuk persiapan menyerang Kediri. Terjadi pertempuran sengit di Tukon dan dengan susah payah Singkel dapat dikuasai. Pasukan Tack di Grompol juga dihadang pasukan berkuda Trunajaya.
Kondisi politik kemudian memihak kepada Trunajaya setelah gagalnya perundingan antara Kompeni dan Karaeng Galesong. [[Karaeng Galesong]] berusaha mencari bala bantuan yang kuat bagi pihak Trunajaya. Pada 17 November 1678 pasukan Kompeni menyeberangi Sungai Brantas dengan dilindungi tembakan lima buah meriam. Beberapa hari kemudian (25 November 1678) barulah dilakukan serangan umum. Akhirnya karena kekuatan musuh jauh lebih besar Trunajaya terdesak dan berhasil menyingkir ke arah timur. Kediri berhasil dikuasai oleh VOC. Pusaka-pusaka keraton termasuk mahkota Majapahit jatuh ke tangan VOC dan diserahkan kembali kepada Sunan Amangkurat II pada 27 November 1678.
Setelah jatuhnya Kediri, Trunajaya menyingkir ke timur ke arah Blitar dan akhirnya menuju Malang. Saat kesulitan dalam mencari tempat pertahanan baru, Pangeran Trunajaya kehilangan 400 orang prajurit akibat penyakit dan kekurangan bahan makanan. Lebih-lebih lagi, pengiriman bahan bantuan berupa 8 perahu bahan makanan dari Madura untuk pasukan Trunajaya jatuh ke tangan musuh. Tekanan dan kepungan VOC kepada pasukan Trunajaya yang sudah makin melemah karena kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit semakin berat. Beliau terpaksa membawa memutar pasukannya berpindah ke Batu. Dalam keadaan serba sulit, Trunajaya mendapat dukungan dari daerah-daerah seperti Kediri, [[Kabupaten Ponorogo|Ponorogo]] dan [[Kertosono, Nganjuk|Kertosono]]. Sebanyak 500 orang prajurit Madura dikirim melalui Wirasaba ke Malang untuk memperkuat barisan Trunajaya. Saat di Batu ini, istri Trunajaya meninggal dunia karena terserang penyakit, menyusul kemudian satu-satunya putra lelakinya juga wafat.
Dari Batu Trunajaya beserta pasukannya bergeser ke barat mengatur strategi pertahanan ke [[Ngantang, Malang|Ngantang]]. Sementara semakin lama jumlah kekuatan pasukan semakin berkurang, kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit. Masih beruntung keadaan alam yang berupa pegunungan serta hutan rimba di Ngantang menghambat laju tekanan pasukan Kompeni.
Sementara di sisi lain karena perundingan gagal, pasukan [[Karaeng Galesong]] membuat kubu pertahanan di [[Bangil, Pasuruan|Bangil]] dan [[Keper, Krembung, Sidoarjo|Keper]] Krembung, sebelah utara Sungai Porong. Kemudian VOC meminta bantuan [[Arung Palakka]] dari Bone untuk menangkap Karaeng Galesong. Pada tanggal 23 Agustus 1679 pasukan gabungan Bugis dan Kompeni di bawah '''Jacob Couper''' berangkat dari Surabaya menuju ke Keper, markas pertahanan Karaeng Galesong. Pihak Kompeni memberi ultimatum kepada pasukan Keraeng Galesong untuk menyerah. Beberapa pemimpin pasukan Makassar memenuhi permintaan itu pada tanggal 30 Agustus di antaranya Daeng Tulolo. Mereka menyatakan akan bersedia untuk menyerah. Namun tidak ada tindak lanjut dari pertemuan tersebut. Akhirnya Kompeni memutuskan menyerang Keper pada tanggal 8 September 1679 di bawah pimpinan Arung Palakka. Sebelumnya '''Kapten Joncker''' dan pasukan Ambonnya berusaha merebut Keper namun gagal. Baru pada tanggal 21 Oktober 1679 Keper jatuh ke pasukan gabungan dalam pertempuran yang sengit dan banyak jatuh korban. Sementara pasukan [[Karaeng Galesong|Keraeng Galesong]] melarikan diri ke Batu untuk bergabung dengan mertuanya, [[Trunojoyo|Pangeran Trunajaya]].
Serangan kemudian ditujukan kepada pertahanan Trunajaya, yaitu yang berpusat di Batu. Di situ telah dibangun semacam keraton yang dikelilingi oleh pagar. Pengikutnya diperkirakan hanya berjumlah sekitar seratus orang dan dalam keadaan kekurangan makanan. Pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong juga mengundurkan diri ke Malang. Dengan jalan perundingan, '''Van Vliet,''' komandan pasukan VOC, mencoba mengadakan perdamaian. Persetujuan akhirnya tercapai dengan ketentuan bahwa pasukan Makassar tidak akan menghalang-halangi pasukan Kompeni dalam melakukan serangan terhadap Trunajaya. Karaeng Galesong juga berjanji bersedia untuk dipulangkan ke Makassar. Setelah mendengar akan kejadian itu Trunajaya segera memindahkan Karaeng Galesong ke Ngantang. Namun sebelum adanya pengaturan yang pasti, Karaeng Galesong meninggal karena sakit pada 21 November 1679. Karaeng Galesong kemudian dimakamkan di Desa Sumberagung, Kecamatan Ngantang sekarang. Oleh warga sekitar makam itu disebut sebagai Makam Mbah Rojo. Makam ini sekarang berokasi di sekitar 5 km dari obyek Wisata Bendungan Selorejo.
Sebelum meninggal, Karaeng Galesong menunjuk putranya yang berusia sekitar 17 tahun, '''Karaeng Mamampang''', sebagai penggantinya untuk menghindari perselisihan di antara orang Makassar pengikut pasukan Karaeng Galesong. Karaeng Mamampang mengikuti keinginan ayahnya dan membujuk pengikutnya untuk diberangkatkan ke Makassar. Sekitar 120 orang mengikuti perintahnya, tetapi sekitar 900 menolak dan tetap bergabung dengan Trunajaya. Hingga sekarang mereka beranak pinak di daerah Ngantang Batu - Malang.
Jacob Couper berusaha menghubungi Trunajaya dengan surat akan tetapi tidak berhasil. Akhirnya Kompeni memutuskan untuk mengadakan serangan ke Ngantang. Di Kalisturan, di kaki pegunungan Batu, pasukan Bugis menemukan 50 lelaki, wanita, dan anak-anak Makassar dalam keadaan kelaparan. Mereka mengatakan bahwa 300 lainnya berada di pegunungan namun tidak dapat turun menyerahkan diri karena jalan di Gunung Rarata (Ngrata) ditutup pasukan Madura. Esok paginya pasukan Bugis merebut kubu Madura di Rarata dengan serangan mendadak. Mereka memaksa pasukan Madura melarikan diri lebih ke atas gunung. Pasukan Madura mundur ke garis pertahanan kedua, yang berupa dua dinding bambu yang saling berhadapan dan dipisahkan oleh sungai kecil yang efektif menahan pergerakan naik atau turun gunung. Arung Palakka bersama sekelompok pasukan berputar mencari jalan untuk menyerang dari belakang. Sementara itu, kapten Belanda van Vliet menuruni lembah gunung dengan pasukan Bugisnya dan secara tiba-tiba menyerang dari atas, sehingga yang diserang pun lari berhamburan dengan menunggang kuda. Pasukan Bugis mengejar mereka selama hampir dua jam dan tiba di sebuah perkubuan besar pasukan Makassar dan Madura. Pasukan Belanda tiba setelahnya, tapi sebelum serangan dilancarkan, hujan mulai turun dan kabut tebal pun datang. Ketika pasukan Bugis dan Belanda tiba di perkemahan, di Ngantang, pada hari berikutnya, mereka telah melarikan diri kecuali empat bangsawan Makassar beserta 300 orang, wanita, dan anak-anak. Mereka memberi tahu Arung Palakka bahwa masih ada sekitar 1.500 orang Makassar, tidak termasuk wanita dan anak-anak, yang berada di bagian atas gunung.
Pada saat-saat pihak Trunajaya terdesak timbullah ketegangan antara Sunan dan Arung Palakka. Sebabnya adalah bahwa menurut desas-desus dan persaksian orang-orang tertentu ada hubungan antara Arung Palakka dengan Trunajaya. Yang pertama telah menerima hadiah dari yang terakhir sebagai sebuah usaha penyuapan. Ada ajakan dari pihak Trunajaya untuk bersama-sama pergi ke Majapahit guna mendirikan benteng di sana. Kenyataannya adalah bahwa Sunan menjauhkan diri dari Arung Palakka dan pihak Kompeni tidak mengikutsertakannya dalam operasi penangkapan Trunajaya. Terhadap Trunajaya sendiri Sunan menjalankan taktik baru, yaitu bersikap bersahabat dan menganggap dia sebagai kawula. Sebaliknya Trunajaya masih berusaha membujuk Sunan agar memisahkan diri dari persekutuannya dengan Kompeni karena rakyat Jawa akan dinasranikan oleh Kompeni. Sunan berketetapan hati untuk bersekutu dengan Kompeni.
Selanjutnya di sebuah gunung yang bernama Kunjangan pasukan Belanda dan Bugis melakukan pengepungan. Mereka berharap membuat orang Makassar dan Madura kelaparan dan keluar dari persembunyian. Setelah beberapa lama seseorang bernama Tumenggung Wirapaksa turun dengan bendera putih menuju Arung Palakka dan mengatakan bahwa dia dikirim langsung ke Arung Palakka oleh tuannya Trunajaya. Arung Palakka berkata padanya, “Marilah turun gunung menuju Komandan [Belanda] di mana kau bisa menyampaikan pesanmu.” Tetapi Tumenggung menolak. Dia mengatakan bahwa pesan ini bukan untuk Kompeni tapi untuk Arung Palakka sendiri. Jawaban Arung Palakka memperlihatkan tujuannya tidak memusuhi Trunajaya tetapi untuk menangkap Karaeng Galesong: “Saya tidak berperang dengan Sultan [Trunajaya] dan karena itu tidak perlu berdamai dengannya. Saya di sini atas nama Kompeni dan menuruti perintah Komandan.”
Gagal membujuk Arung Palakka, utusan Trunajaya kembali ke gunung. Belanda kemudian memberitahu orang-orang Makassar di perkemahan Trunajaya bahwa jika mereka menyerah akan diperlakukan dengan baik. Tapi jika menolak, akan dihancurkan. Sekitar 2.500 orang memutuskan untuk menerima tawaran ini dan turun dari kubu pertahanan di gunung pada tanggal 15 Desember 1679. Jumlah rombongan ini mengejutkan Belanda yang menganggap mereka beruntung karena orang-orang Makassar ini memutuskan menyerah daripada bertempur. Untuk penyegaran, Jacob Couper digantikan oleh Kapten Joncker sebagai komandan pasukan Kompeni. Lima hari kemudian pada 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura dan Makassar, di antaranya para wanita dan beberapa ekor kuda turun dari lereng gunung dan segera ditangkap pasukan Kompeni pimpinan Kapten Joncker.
Ditinggal sekutu Makassar mereka, Trunajaya melarikan diri melalui hutan dengan semak berduri di belakang kubu pertahanan dan pergi ke Pugar. Selama hari-hari terakhir perlawanan Trunajaya hanya terdapat 25-30 orang Makassar yang masih bersamanya. Dengan mengorek keterangan dari orang Makassar yang tertawan, Kapten Joncker berhasil mengepung Trunajaya di Gunung Limbangan (di lereng utara Gunung Kelud) di mana dia beserta barisannya hendak bertahan terakhir. Sunan pun bergerak mendekati tempat itu dan menghendaki agar setelah Trunajaya ditangkap diserahkan kepadanya. Dalam keadaan sangat terjepit, Trunajaya mengirimkan utusan tiga kali, akan tetapi waktu sudah lewat untuk mengadakan perundingan. Terkepung dari segala penjuru dan bahaya kelaparan sangat melemahkan moral barisan yang kira-kira masih terdiri atas 3.000 orang itu. Tidak ada jalan lain daripada menyerah. Akhirnya Trunajaya menyuruh pengikutnya mengumpulkan tombak dan kerisnya, lalu menyerah kepada Kapten Joncker. Terlebih dulu dikirim para wanita dan abdi biasa, baru kemudian Trunajaya beserta pengikutnya, antara lain Pangeran Mugatsari, Anggakusuma, Ngabehi Wiradersana, dan pasukan Makassar menyerahkan diri pada 25 Desember 1679. Kedua tangan beliau diikat dengan cinde sutera. Diberitakan kemudian bahwa di dalam tawanan Trunajaya masih mempunyai rencana mengadakan perlawanan, maka dari itu Sunan menuntut supaya dia segera diserahkan kepadanya. Untuk menepati sumpahnya, keris Kyai Balabar tidak akan diberi sarung besar sebelum dipakai untuk menusuk dada Trunajaya. Di sekitar tapal batas Kediri, Sunan menikam Trunajaya dengan keris tersebut, kemudian para menteri secara bergiliran memberikan tikamannya pula (2 Januari 1680).
== Persekutuan dengan VOC ==
[[Amangkurat I]] meninggal dalam perjalanan pada 13 Juli 1677. Menurut [[Babad Tanah Jawi]], minumannya telah diracun oleh Mas Rahmat yang notabene putranya sendiri. Meskipun demikian, Mas Rahmat tetap ditunjuk sebagai raja penerus selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya tidak ada yang menjadi raja kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar.
Mas Rahmat disambut baik oleh Martalaya bupati [[Tegal]]. Ia sendiri memilih pergi [[haji]] daripada menghadapi [[Trunajaya]]. Tiba-tiba keinginannya tersebut batal, konon karena wahyu keprabon berpindah padanya. Mas Rahmat pun menjalankan wasiat ayahnya supaya bekerja sama dengan [[VOC]].
Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di [[Jepara]]. Pihak [[VOC]] diwakili [[Cornelis Speelman]]. Daerah-daerah pesisir utara [[Jawa]] mulai [[Kerawang]] sampai ujung timur di Panarukan digadaikan pada [[VOC]] sebagai jaminan pembayaran atas biaya perang melawan [[Trunajaya]].
Mas Rahmat pun diangkat sebagai '''Amangkurat II''', seorang raja tanpa istana. Dengan bantuan [[VOC]], ia berhasil mengakhiri pemberontakan [[Trunajaya]] tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati [[Trunajaya]] dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.
== Membangun Istana Kartasura ==
Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakarta karena
[[Pangeran Puger]] yang semula menetap di Kajenar pindah ke [[Plered]] setelah kota itu ditinggalkan oleh [[Trunajaya]]. Ia menolak bergabung dengan Amangkurat II karena mendengar berita bahwa Amangkurat II bukan Mas Rahmat (kakaknya) melainkan anak [[Cornelis Speelman]] yang menyamar sebagai Mas Rahmat.
Perang antara [[Plered]] dan [[Kartasura]] meletus pada bulan November 1680. [[Babad Tanah Jawi]] menyebutnya sebagai perang antara [[Mataram]] melawan [[Kartasura]]. Akhirnya setahun kemudian, yaitu 28 November 1681 [[Pangeran Puger]] menyerah kalah.
[[Babad Tanah Jawi]] menyebut [[Mataram]] runtuh tahun 1677, sedangkan [[Kartasura]] adalah kerajaan baru sebagai
== Sikap Amangkurat II terhadap VOC ==
Amangkurat II dikisahkan sebagai raja berhati lemah yang mudah dipengaruhi. [[Pangeran Puger]] adiknya, jauh lebih berperan dalam pemerintahan.
Pada tahun 1683 terjadi pemberontakan Wanakusuma, seorang keturunan Kajoran. Pemberontakan yang berpusat di [[Gunung Kidul]] ini berhasil dipadamkan.
Baris 56 ⟶ 83:
== Akhir Kehidupan Amangkurat II ==
Sikap Amangkurat II yang mendua akhirnya terbongkar oleh VOC. Pihak [[VOC]] menemukan surat-surat Amangkurat II kepada [[Cirebon]], [[Johor]], [[Palembang]], dan bangsa [[Inggris]] yang isinya ajakan untuk memerangi [[Belanda]]. Amangkurat II juga mendukung pemberontakan [[Kapitan Jonker]] tahun 1689.
Pihak [[VOC]] menekan [[Kartasura]] untuk segera melunasi biaya perang [[Trunajaya]] sebesar 2,5 juta gulden. Amangkurat II sendiri berusaha memperbaiki hubungan dengan pura-pura menyerang [[Untung Suropati]] di [[Pasuruan]].
|