Amangkurat II: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Muhammad munari (bicara | kontrib)
Muhammad munari (bicara | kontrib)
Baris 26:
Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1677 [[Trunajaya]] menyerbu istana [[Plered]]. [[Amangkurat I]] dan Mas Rahmat sendiri melarikan diri ke barat, sedangkan istana dipertahankan oleh [[Pangeran Puger]] sebagai bukti kalau tidak semua kaum Kajoran mendukung [[Trunajaya]]. Namun [[Pangeran Puger]] sendiri akhirnya terusir ke desa Kajenar.
 
== Runtuhnya Keraton Mataram oleh Pasukan Koalisi Pangeran Trunajaya - Keraeng Galesong ==
Setelah Trunajaya dapat merebut keraton Mataram pada tanggal 28 Juni 1677 ia segera membawa berbagai pusaka kerajaan Mataram ke markasnya yang berada di Kediri. Sementara pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong bergerak menuju [[Bangil, Pasuruan|Bangil]] untuk membuat kubu pertahanan. Sangat disayangkan kemudian terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Karaeng Galesong karena masalah keluarga. Perlu diketahui, bahwa Karaeng Galesong sendiri adalah menantu Trunajaya sebagai tanda persekutuan mereka.
 
== Serbuan Pasukan Koalisi VOC - Mataram ke Kediri ==
Pada 5 September 1678 pasukan gabungan VOC dan Mataram bergerak menuju Kediri di bawah pimpinan '''Anthonie Hurd''' dan Sunan Amangkurat II. Pasukan ini bergerak dari [[Kabupaten Jepara|Jepara]] melewati [[Kabupaten Grobogan|Grobogan]], Grompol, Kajang, dan [[Kabupaten Madiun|Madiun]] di mana pasukan '''Kapten Tack''' bergabung setelah menempuh perjalanan dari Keduwang dan Panaraga. Lalu pasukan bergerak ke Singkel untuk persiapan menyerang Kediri. Terjadi pertempuran sengit di Tukon dan dengan susah payah Singkel dapat dikuasai. Pasukan Tack di Grompol juga dihadang pasukan berkuda Trunajaya.
 
Baris 39 ⟶ 40:
Sementara di sisi lain karena perundingan gagal, pasukan [[Karaeng Galesong]] membuat kubu pertahanan di [[Bangil, Pasuruan|Bangil]] dan [[Keper, Krembung, Sidoarjo|Keper]] Krembung, sebelah utara Sungai Porong. Kemudian VOC meminta bantuan [[Arung Palakka]] dari Bone untuk menangkap Karaeng Galesong. Pada tanggal 23 Agustus 1679 pasukan gabungan Bugis dan Kompeni di bawah '''Jacob Couper''' berangkat dari Surabaya menuju ke Keper, markas pertahanan Karaeng Galesong. Pihak Kompeni memberi ultimatum kepada pasukan Keraeng Galesong untuk menyerah. Beberapa pemimpin pasukan Makassar memenuhi permintaan itu pada tanggal 30 Agustus di antaranya Daeng Tulolo. Mereka menyatakan akan bersedia untuk menyerah. Namun tidak ada tindak lanjut dari pertemuan tersebut. Akhirnya Kompeni memutuskan menyerang Keper pada tanggal 8 September 1679 di bawah pimpinan Arung Palakka. Sebelumnya '''Kapten Joncker''' dan pasukan Ambonnya berusaha merebut Keper namun gagal. Baru pada tanggal 21 Oktober 1679 Keper jatuh ke pasukan gabungan dalam pertempuran yang sengit dan banyak jatuh korban. Sementara pasukan [[Karaeng Galesong|Keraeng Galesong]] melarikan diri ke Batu untuk bergabung dengan mertuanya, [[Trunojoyo|Pangeran Trunajaya]].
 
Serangan kemudian ditujukan kepada pertahanan Trunajaya, yaitu yang berpusat di Batu. Di situ telah dibangun semacam keraton yang dikelilingi oleh pagar. Pengikutnya diperkirakan hanya berjumlah sekitar seratus orang dan dalam keadaan kekurangan makanan. Pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong juga mengundurkan diri ke Malang.

Dengan jalan perundingan, '''Van Vliet,''' selaku komandan pasukan VOC, mencoba mengadakan perdamaian. Persetujuan akhirnya tercapai dengan ketentuan bahwa pasukan Makassar tidak akan menghalang-halangi pasukan KompeniVOC dalam melakukan serangan terhadap Trunajaya. Karaeng Galesong juga berjanji bersedia untuk dipulangkan ke Makassar. Setelah mendengar akan kejadian itu Trunajaya segera memindahkan Karaeng Galesong ke Ngantang. Namun sebelum adanya pengaturan yang pasti, Karaeng Galesong meninggal karena sakit pada 21 November 1679. Karaeng Galesong kemudian dimakamkan di Desa Sumberagung, Kecamatan Ngantang sekarang. Oleh warga sekitar makam itu disebut sebagai Makam Mbah Rojo. Makam ini sekarang berokasi di sekitar 5 km dari obyek Wisata Bendungan Selorejo.
 
Sebelum meninggal, Karaeng Galesong menunjuk putranya yang berusia sekitar 17 tahun, '''Karaeng Mamampang''', sebagai penggantinya untuk menghindari perselisihan di antara orang Makassar pengikut pasukan Karaeng Galesong. Karaeng Mamampang mengikuti keinginan ayahnya dan membujuk pengikutnya untuk diberangkatkan ke Makassar. Sekitar 120 orang mengikuti perintahnya, tetapi sekitar 900 menolak dan tetap bergabung dengan Trunajaya. Hingga sekarang mereka beranak pinak di daerah Ngantang Batu - Malang.
 
'''Jacob Couper''' berusaha menghubungi Trunajaya dengan cara mengirim surat akan tetapi tidak berhasil. Akhirnya KompeniVOC memutuskan untuk mengadakan serangan ke Ngantang dengan mengirim pasukan VOC dan pasukan Arung Palakka. Di Kalisturan, di kaki pegunungan Batu, pasukan BugisArung Palakka menemukan 50 lelaki, wanita, dan anak-anak Makassar dalam keadaan kelaparan. Mereka mengatakan bahwa 300 lainnya berada di pegunungan namun tidak dapat turun menyerahkan diri karena jalan di Gunung Rarata (Ngrata) ditutup pasukan MaduraTrunajaya.

Esok paginya pasukan BugisArung Palakka merebut kubu Madurapertahanan Trunajaya yang sedang dalam keadaan kekurangan di Rarata dengan serangan mendadak. Mereka memaksa pasukan MaduraTrunajaya melarikan diri lebih ke atas gunung. Pasukan MaduraTrunajaya mundur ke garis pertahanan kedua, yang berupa dua dinding bambu yang saling berhadapan dan dipisahkan oleh sungai kecil yang efektif menahan pergerakan naik atau turun gunung. [[Arung Palakka]] bersama sekelompok pasukan berputar mencari jalan untuk menyerang dari belakang. Sementara itu, kapten Belanda vanVan Vliet menuruni lembah gunung dengan pasukan BugisnyaArung Palakka lainnya dan secara tiba-tiba menyerang dari atas, sehingga yang diserang pun lari berhamburan dengan menunggang kuda. Pasukan BugisArung Palakka mengejar mereka selama hampir dua jam dan tiba di sebuah perkubuanperkampungan besar tempat pasukan Makassar dan Madura tinggal. Pasukan Belanda tiba setelahnya, tapi sebelum serangan dilancarkan, hujan mulai turun dan kabut tebal pun datang dengan tiba-tiba. Ketika pasukan BugisArung Palakka dan BelandaVOC tiba di perkemahanperkampungan tersebut, di Ngantang, pada hari berikutnya, mereka telahsudah melarikan diri kecuali empat bangsawan Makassar beserta 300 orang, wanita, dan anak-anak. Mereka memberi tahu Arung Palakka bahwa masih ada sekitar 1.500 orang Makassar, tidak termasuk wanita dan anak-anak, yang berada di bagian atas gunung.
 
Pada saat-saat pihak Trunajaya terdesak tersebut, timbullah isu dan ketegangan antara Sunan Amangkurat II dan Arung Palakka. Sebabnya adalah bahwa menurut desas-desus dan persaksian orang-orang tertentu ada hubungan antara Arung Palakka dengan Trunajaya. Isu yang pertama adalah bahwa Arung Palakka telah menerima hadiah dari Pangeran Trunajaya sebagai sebuah usaha penyuapan. Isu yenag kedua adalah adanya ajakan dari pihak Trunajaya kepada Arung Palakka untuk bersama-sama pergi ke Majapahit guna mendirikan benteng di sana.
 
Pada saat-saat pihak Trunajaya terdesak timbullah ketegangan antara Sunan dan Arung Palakka. Sebabnyakenyataanya adalah bahwa menurutSunan desas-desusAmangkurat dan persaksian orang-orang tertentu ada hubungan antara Arung Palakka dengan Trunajaya. Yang pertama telah menerima hadiah dari yang terakhir sebagai sebuah usaha penyuapan. Ada ajakan dari pihak Trunajaya untuk bersama-sama pergi ke Majapahit guna mendirikan benteng di sana. Kenyataannya adalah bahwa SunanII menjauhkan diri dari Arung Palakka dan pihak Kompeni tidak mengikutsertakannya dalam operasi penangkapan Trunajaya. Terhadap Trunajaya sendiri Sunan menjalankan taktik baru, yaitu bersikap bersahabat dan menganggap dia sebagai kawula. Sebaliknya Trunajaya masih berusaha membujuk Sunan agar memisahkan diri dari persekutuannya dengan KompeniVOC karena rakyat Jawa akan dinasranikandi-kristeni- sasikan oleh KompeniVOC. Sunan Amangkurat II berketetapan hati untuk bersekutu dengan KompeniVOC.
 
== Penyerahan Pangeran Trunajaya ==
Selanjutnya di sebuah gunung yang bernama Kunjangan pasukan Belandakoalisi VOC dan BugisArung Palakka melakukan pengepungan. Mereka berharap membuat orang Makassar dan Madura kelaparan dan keluar dari persembunyian. Setelah beberapa lama seseorang bernama Tumenggung Wirapaksa turun dengan bendera putih menuju Arung Palakka dan mengatakan bahwa dia dikirim langsung ke Arung Palakka oleh tuannya Pangeran Trunajaya. Arung Palakka berkata padanya, “Marilah“''Marilah turun gunung menuju Komandan [Belanda] di mana kau bisa menyampaikan pesanmu.''” Tetapi Tumenggung menolak. Dia mengatakan bahwa pesan ini bukan untuk Kompeni tapi untuk Arung Palakka sendiri. Jawaban Arung Palakka memperlihatkan tujuannya tidak memusuhi Trunajaya tetapi untuk menangkap Karaeng Galesong: “Saya tidak berperang dengan Sultan [Trunajaya] dan karena itu tidak perlu berdamai dengannya. ujar Arung Palakka : "''Saya di sini atas nama Kompeni dan menuruti perintah Komandan''.”
 
Gagal membujuk Arung Palakka, utusan Pangeran Trunajaya naik kembali ke gunung. Belanda kemudian memberitahu orang-orang Makassar di perkemahan Trunajaya bahwa jika mereka menyerah akan diperlakukan dengan baik. Tapi jika menolak, akan dihancurkan. Sekitar 2.500 orang memutuskan untuk menerima tawaran ini dan turun dari kubu pertahanan di gunung pada tanggal 15 Desember 1679. Jumlah rombongan ini mengejutkan Belanda yang menganggap mereka beruntung karena orang-orang Makassar ini memutuskan menyerah daripada bertempur. Untuk penyegaran, '''Jacob Couper''' digantikan oleh '''Kapten Joncker''' sebagai komandan pasukan Kompeni. Lima hari kemudian pada 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura dan Makassar, di antaranya para wanita dan beberapa ekor kuda turun dari lereng gunung dan segera ditangkap pasukan Kompeni pimpinan Kapten Joncker.
 
Ditinggal sekutusebagian Makassarbesar merekapasukannya, Pangeran Trunajaya melarikan diri melalui hutan dengan semak berduri di belakang kubu pertahanan dan pergi ke Pugar. Selama hari-hari terakhir perlawanan Trunajaya hanya terdapat 25-30 orang Makassar dan Madura yang masih setia bersamanya. Dengan mengorek keterangan dari orang Makassar yang tertawan, '''Kapten Joncker''' berhasil mengepung Trunajaya di Gunung Limbangan (di lereng utara Gunung Kelud) di mana dia beserta barisannya hendak bertahan terakhir. Sunan Amangkurat II pun bergerak mendekati tempat itu dan menghendaki agar setelah Trunajaya ditangkap diserahkan kepadanya. Dalam keadaan sangat terjepit, Trunajaya mengirimkan utusan tiga kali, akan tetapi waktu sudah lewat untuk mengadakan perundingan. Terkepung dari segala penjuru dan bahaya kelaparan sangat melemahkan moral barisan yang kira-kira masih terdiri atas 3.000 orang itu. Tidak ada jalan lain daripada menyerah. Akhirnya Pangeran Trunajaya menyuruh pengikutnya mengumpulkan tombak dan kerisnya,. Setelah terkumpul lalu Pangeran Trunajaya beserta pengikutnya menyerah kepada Kapten Joncker. Terlebih dulu dikirim para wanita dan abdi biasa, baru kemudian Pangeran Trunajaya beserta pengikutnya, antara lain Pangeran Mugatsari, Bupati Anggakusuma, Ngabehi Wiradersana, dan pasukan Makassar. Pangeran Trunajaya dan pasukan pengikutnya menyerahkan diri pada tanggal 25 Desember 1679. Kedua tangan beliau diikat dengan cinde sutera. Diberitakan kemudian bahwa disaat dalammenjadi tawanan Pangeran Trunajaya masih mempunyai rencana mengadakan perlawanan, maka dari itu SunanAmangkurat II menuntut supaya dia segera diserahkan kepadanya. Untuk menepati sumpahnya, keris Kyai Balabar tidak akan diberi sarung besar sebelum dipakai untuk menusuk dada Pangeran Trunajaya. Di sekitar tapal batas Kediri, SunanAmangkurat II menikam Pangeran Trunajaya dengan keris tersebut, kemudian para menteri secara bergiliran memberikan tikamannya pula (pada tanggal 2 Januari 1680).
 
== Persekutuan dengan VOC ==