Langgur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 1:
'''Langgur''' adalah ibukota dari [[Kabupaten Maluku Tenggara]] di [[Provinsi Maluku]], Indonesia. Langgur menggantikan [[Kota Tual|Tual]] sebagai ibukota Kabupaten Maluku Tenggara berdasarkan [[Peraturan Pemerintah]] Nomor 35 Tahun 2011, tanggal 20 Juli 2011, tentang Pemindahan Ibukota Maluku Tenggara dari Wilayah Kota Tual ke Wilayah Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara yang selanjutnya disebut Kota Langgur.
 
=Masa Kolonial Belanda=
=Sejarah=
Karena Kei tidak menghasilkan cengkih, pala, maupun emas, kepulauan ini nyaris diabaikan oleh [[VOC]], dan hanya segelintir orang asing yang pernah menyinggahinya.
 
Setelah VOC bangkrut pada 1796, Pemerintah Kolonial Hindia-Timur Belanda membentuk Gubernemen Maluku Selatan ([[Bahasa Belanda]]: ''Gouvernement der Zuid Molukken'') yang juga meliputi kepulauan Kei dan pulau-pulau tenggara lainnya.
 
Karena Kei tidak menghasilkan cengkih, pala, maupun emas, kepulauan ini nyaris diabaikan oleh [[VOC]], dan hanya segelintir orang asing yang pernah menyinggahinya. Setelah VOC bangkrut pada 1796, Pemerintah Kolonial Hindia-Timur Belanda membentuk Gubernemen Maluku Selatan ([[Bahasa Belanda]]: ''Gouvernement der Zuid Molukken'') yang juga meliputi kepulauan Kei dan pulau-pulau tenggara lainnya. Karena Pemerintah Kolonial Belanda menilai penyelenggaraan administrasi secara langsung di daerah tanpa hasil bumi bernilai tinggi akan lebih besar pasak dari pada tiang, maka kepulauan Kei pun hanya dikunjungi secara berkala atau bilamana timbul situasi genting yang memerlukan campur tangan pemerintah. Pejabat Gubernemen akan mengelilingi kepulauan ini dengan kapal uap berbendera Belanda dan diperlengkapi meriam guna menjalin atau memperbaharui persekutuan dengan para pemimpin pribumi setempat, atau untuk menyelesaikan pertikaian besar. Bilamana para pemimpin pribumi datang menghadap, Gubernemen akan menghadiahi mereka dengan cendera mata berupa tongkat-jalan berkepala perak (''rottingknoppen''), [[panji-panji]], seperangkat senjata, dan kadang-kadang sepucuk meriam perunggu demi meninggikan derajat sekutu-sekutu yang setia itu.
 
Bilamana para pemimpin pribumi datang menghadap, Gubernemen akan menghadiahi mereka dengan cendera mata berupa tongkat-jalan berkepala perak (''rottingknoppen''), [[panji-panji]], seperangkat senjata, dan kadang-kadang sepucuk meriam perunggu demi meninggikan derajat sekutu-sekutu yang setia itu.
 
==Ohoingur==
Kota Langgur bermula dari sebuah pemukiman kecil di pesisir timur [[Pulau Kei Kecil]] bernama ''Ohoingur'' (Kampung Pasir). Ohoingur adalah salah satu dari kampung-kampung yang menurut tradisi bernaung di bawah kekuasaan Raja Tual di [[Pulau Kai Dullah]]. Tidak seperti Namser di Kai Dullah dan Haar di pulau Kei Besar, Ohoingur tidak tergolong pemukiman yang besar apalagi ramai, karena bukan tempat persinggahan utama para saudagar nusantara yang berlayar ke [[Kepulauan Aru]], [[Papua]], dan pesisir utara [[Australia]]. Kurangnya kontak langsung dengan dunia luar menjadikan warga Ohoingur teguh berpegang pada kepercayaan warisan leluhur, meskipun banyak warga Tual dan beberapa kampung di sekitarnya sudah memeluk agama Islam.
 
Karena Kei tidak menghasilkan cengkih, pala, maupun emas, kepulauan ini nyaris diabaikan oleh [[VOC]], dan hanya segelintir orang asing yang pernah menyinggahinya. Setelah VOC bangkrut pada 1796, Pemerintah Kolonial Hindia-Timur Belanda membentuk Gubernemen Maluku Selatan ([[Bahasa Belanda]]: ''Gouvernement der Zuid Molukken'') yang juga meliputi kepulauan Kei dan pulau-pulau tenggara lainnya. Karena Pemerintah Kolonial Belanda menilai penyelenggaraan administrasi secara langsung di daerah tanpa hasil bumi bernilai tinggi akan lebih besar pasak dari pada tiang, maka kepulauan Kei pun hanya dikunjungi secara berkala atau bilamana timbul situasi genting yang memerlukan campur tangan pemerintah. Pejabat Gubernemen akan mengelilingi kepulauan ini dengan kapal uap berbendera Belanda dan diperlengkapi meriam guna menjalin atau memperbaharui persekutuan dengan para pemimpin pribumi setempat, atau untuk menyelesaikan pertikaian besar. Bilamana para pemimpin pribumi datang menghadap, Gubernemen akan menghadiahi mereka dengan cendera mata berupa tongkat-jalan berkepala perak (''rottingknoppen''), [[panji-panji]], seperangkat senjata, dan kadang-kadang sepucuk meriam perunggu demi meninggikan derajat sekutu-sekutu yang setia itu.
 
Kebijakan etis baru yang diberlakukan pada 1870 mewajibkan Pemerintah Kolonial Belanda untuk "membimbing dan membantu masyarakat pribumi mencapai taraf peradaban yang lebih tinggi, sehingga mereka dapat menikmati buah-buah dari kerja, usaha, dan ketertiban." Pada 1870 juga, untuk meningkatkan investasi di daerah jajahan, pemerintah Batavia mengeluarkan sebuah Akta Agraria (''Agrarische Wet'') baru yang memperbolehkan usaha swasta mendapatkan hak sewa guna selama 75 tahun, yang dapat dialihkan kepemilikannya, atas tanah yang tidak diusahakan.