Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,<ref>http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&k=df&case=102&code=inma&p3=0 Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)</ref><ref>http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7177.pdf FOR SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF THE DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND PULAU SIPADAN, jointly notified to the Court on 2 November 1998</ref> kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-LigatanLigitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 [[hakim]], sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan ''effectivity'' (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah [[Inggris]] (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi [[mercu suar]] sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari [[Kesultanan Sulu|Sultan Sulu]]) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.<ref name="HARVARD">[http://www.asiaquarterly.com/content/view/160/ Energy Security and Southeast Asia]</ref>