Pulau Sebesi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Hindia-Belanda +Hindia Belanda); perubahan kosmetika |
||
Baris 21:
Hingga kini catatan yang menggambarkan mengenai awal mula keberadaan pulau ini belum pernah ditemukan. Namun beberapa dokumen yang dibuat oleh orang-orang Eropa pada abad ke-17 mengindikasikan bahwa pulau ini pernah disinggahi oleh orang-orang Eropa yang berlayar dari wilayah perairan Utara menuju [[Banten]] atau sebaliknya. Pada saat itu Pulau Sebesi dihuni oleh masyarakat yang ada di sepanjang pesisir di wilayah [[IV Marga]] (kaki gunung Raja Basa) yang mayoritas bertani rempah-rempah. Meski begitu nama pemilik pulau ini tidak pernah ditemukan dalam catatan hingga memasuki abad ke-19.
=== Pangeran Cecobaian ===
Menurut legenda, dahulu pulau ini berada dibawah kekuasaan [[Kesultanan Banten|Sultan Banten]]. Lalu pada akhir abad ke-16 seorang ''Mekhanai'' (Pemuda) Lampung dari Desa Damaian datang ke gunung Raja Basa dan menetap di wilayah yang saat ini dihuni oleh IV Marga yaitu :
# Marga Kesugihan (sekarang Marga Legun)
# Marga Ratu (Ratu Menangsi)
# Marga Penengahan (sekarang Marga Dantaran)
# [[:id:
Sang Pemuda juga datang ke Pulau Sebesi dan Gugusan Krakatau untuk membeli hasil lada yang ditanam warga. Sebagian dari hasil lada tersebut diserahkan oleh pemuda itu kepada Sultan Banten. Sebagai imbalannya Sultan memberikan pemuda tersebut gelar [[Pangeran Cecobaian]] (ejaan dalam arsip Belanda : Pangeran Tjetjobaian / Pangeran Tjoba Tjoba), sebagai percobaan karena saat itu [[Kesultanan Banten]] belum pernah memberikan gelar Pangeran kepada orang Sabrang (sebutan untuk orang Lampung pada masa itu). Selain gelar Pangeran tersebut, diberikan pula hak kepemilikan atas [[Pulau Sebesi]], [[Pulau Sebuku]], dan [[Gugusan Krakatau]] kepadanya.<ref name="pangerantjetjobaian">Helfrich, O.L. 1930. [http://sipus.simaster.ugm.ac.id/digilib/index.php?mod=book_detail&sub=BookDetail&act=view&typ=htmlext&buku_id=181119&obyek_id=1 ''Adatrechtbundels XXXII : Zuid-Sumatra'']. hlm. 233-241. 's-Gravenhage: Martinus Nijhoff.</ref>
<br /><br />
=== Pangeran Singa Brata ===
Setelah [[Pangeran Cecobaian]] wafat, hak kepemilikan atas Pulau Sebesi ini pada akhirnya diwariskan pada Pangeran Singa Brata, yang juga menjabat sebagai Kepala [[Marga Raja Basa]]. [[Pangeran Singa Brata]] adalah keturunan ke-18 dari Pangeran Cecobaian<ref name="pangerantjetjobaian" />. Ia juga merupakan salah satu pejuang dari [[Karesidenan Lampung]], [[onderafdeeling Katimbang]], yang turut membantu [[:id:
Tahun 1879, atau 23 tahun setelah menjalani pengasingannya, Pangeran Singa Brata dipulangkan ke Raja Basa atas permintaan 14 kepala kampung di pesisir dengan jaminan bahwa [[Pangeran Singa Brata]] tidak akan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun 4 tahun setelah kepulangannya, tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1883, [[Krakatau]] meletus dengan dahsyat yang memporak-porandakan wilayah pesisir gunung Raja Basa. Pangeran Singa Brata turut menjadi korban atas peristiwa ini dan ia dinyatakan tewas.<ref name="pangerantjetjobaian"
Seluruh penduduk pesisir yang tak sempat menyelamatkan diri dinyatakan tewas, termasuk 3000 warga yang menghuni [[Pulau Sebesi]], [[Sebuku]], dan [[Krakatau]]. Seluruh flora dan fauna serta rumah warga yang berada di Pulau Sebesi dan Sebuku dinyatakan musnah total. Kedua pulau ini seketika berubah menjadi pulau tak berpenghuni untuk beberapa saat.
<br /><br />
=== Pangeran Minak Putra ===
Tahun 1884, Minak Putra (kepala kampung Rajabasa) yang juga merupakan adik mendiang Pangeran Singa Brata dikukuhkan sebagai kepala marga pengganti Pangeran Singa Brata. Hal ini dikarenakan mendiang Pangeran Singa Brata tidak memiliki keturunan<sup>A </sup>(yang tersisa). Maka berdasarkan aturan dan tatacara adat, Minak Putra diangkat menjadi Pangeran dan meneruskan tahta sebagai kepala Marga (penyimbang tua) Raja Basa dan mewarisi hak atas
kepemilikan P. Sebesi, P. Sebuku, dan Gugusan Krakatau<sup>B</sup>. Peristiwa pengangkatan dan peralihan hak atas kepulauan ini juga disetujui oleh Sultan Banten Maulana Mohammad Shafiuddin (yang saat itu sedang menjalani masa pembuangannya di Surabaya) dan Pemerintah Hindia Belanda, dengan syarat pendirian marga tidak boleh lagi memakai nama Raja Basa. Maka Pangeran Minak Putra pun memilih menggunakan nama [[Marga Raja Basa (Pesisir)|Marga Pesisir]]<sup>C</sup>. Kemudian hal ini dikuatkan oleh Staatsblad tahun 1885 ketika Pangeran Minak Putra menyewakan P. Sebuku kepada Mr. Barzal.<ref name="bandakhmargarajabasa">Perbatasari, RG. 2012. : ''Bandakh Marga Raja Basa''. Pesisir Kalianda Lampung Selatan.</ref>
Baris 44:
<u>'''Catatan Kaki :'''</u>
* <sup>A</sup> Ada sejumlah sumber yang menyatakan bahwa Raden Tinggi adalah anak Pangeran Singa Brata yang tewas dalam pertempuran melawan Belanda.
* <sup>B</sup> Beberapa sumber menyatakan bahwa pengangkatan kepala marga ini juga disetujui oleh Sultan Banten. Tidak disebutkan siapa Sultan Banten yang dimaksud. Namun jika merunut dari tahun kejadiannya, kemungkinan besar Sultan Banten yang dimaksud adalah Maulana Mohammad Shafiuddin yang saat itu sedang menjalani masa pembuangannya di Surabaya. Maulana Mohammad Shafiuddin wafat pada tahun 1899. Ia dimakamkan di Pesarean Agung Sentono Botoputih (Pemakaman Keluarga Bupati Surabaya). Di pusaranya tertulis dengan huruf Arab yang terjemahannya sbb. : ''Ini kubur Sultan Banten Maulana Mohammad Shafiuddin Ketika lenyap almarhum pada malam Senen 3 Rajab 1318 H atau 11 November 1899''.
* <sup>C</sup> Menurut beberapa sumber sejarah hal ini dilakukan oleh Belanda untuk sebisa mungkin memutus regenerasi perjuangan Pangeran Singa Brata. Sehingga pada setiap surat keputusan (Besluit) Pemerintah Hindia
*
=== Raden Pangeran Haji Djamaludin ===
Tahun 1896 Pangeran Minak Putra menjual Pulau Sebesi dan Sebuku kepada Haji Djamaludin, seorang kepala kampung Kalianda onderafdeeling Katimbang.
Sebelum membeli Pulau Sebesi dan Sebuku, tepatnya pada tahun 1888, Haji Djamaludin dan Pangeran Minak Putra sempat dipanggil oleh Pemerintah Banten di Anyer untuk menerima penghargaan. Haji Djamaludin mendapat bintang emas dan Pangeran Minak Putra menerima bintang perak.<ref name="bintangemas1888">Java-Bode No. 266 : "''Officieele Berichten, Civiel Departement''", hal. 5. Nederlands-Indië, 1888.</ref>
Pada masa kepemilikan Haji Djamaludin ini pula untuk pertama kalinya Dinas Topografi Hindia
=== Muhammad Saleh Ali ===
Pasca meninggalnya Raden Pangeran Haji Djamaludin pada tahun 1926, hak kepemilikan atas Pulau Sebesi dan Sebuku beralih kepada anak laki-laki satu-satunya, Muhammad Saleh Ali <ref name="hetniewsvandendagags1936">Het Nieuws Van Den Dag No. 193 : "''Mach van Adatrechten en Legenden''", hal. 17. Nederlands-Indië, 1936.</ref> <ref name="desumatrapost1936">De Sumatra Post No. 201 : "''Adatrechten en Legenden''", hal. 11. Nederlands-Indië, 1936.</ref>. Di masa kepemilikan M. Saleh Ali, Pulau Sebesi menjadi basis pendanaan bagi para pejuang Kalianda semasa perang kemerdekaan melawan Belanda dan Jepang, hingga agresi militer Belanda ke-2 pada tahun 1949.
Baris 64:
== Hasil Bumi ==
=== Sebelum 1883 ===
Sebelum meletusnya Krakatau pada tahun 1883 masyarakat di Pulau Sebesi umumnya bertani karet, lada, dan kelapa. Bahkan riwayat mengenai kebun lada di Pulau Sebesi sudah berlangsung sejak Sultan Banten memberikan perintah pada Pangeran Cecobaian agar mewajibkan seluruh elemen masyarakat Sabrang (sebutan dari orang-orang Banten untuk penduduk Lampung saat itu) mulai dari pembesar, punggawa, maupun orang kecil, untuk menanam lada sebanyak 500 batang per kepala. Setelah berbuah hasilnya boleh dijual kepada siapa saja, baik kepada orang Jawa, Cina, Eropa, maupun ke Banten. Barang siapa yang diketahui tidak menanam 500 batang pohon lada maka Sultan akan menjatuhi hukuman pasung dan seluruh anggota keluarganya diseret ke Banten. Perintah Sultan kepada Pangeran Cecobaian ini dituangkan dalam sebuah piagam tembaga beraksara Jawa yang diundangkan pada tahun 1074 H (1653 M) <ref name="bandakhmargarajabasa"
=== Setelah Letusan Besar Krakatau ===
Pasca letusan besar Krakatau, Pulau Sebesi sempat lama ditinggalkan oleh masyarakat pesisir karena takut akan terulangnya letusan Krakatau. Pulau Sebesi baru kembali ditanami tanaman perkebunan setelah pulau ini dibeli oleh Haji Djamaludin dari Pangeran Minak Putra. Setelah resmi menjadi pemilik tunggal Pulau Sebesi dan Sebuku, Haji Djamaludin secara berangsur-angsur membawa puluhan pekerja dan ribuan bibit tanaman [https://wiki-indonesia.club/wiki/Kelapa Kelapa] untuk ditanam di kedua pulau tersebut. Hal ini dicatat oleh sejumlah ahli biologi yang berkunjung ke Pulau Sebesi untuk pertama kalinya pada tahun 1920 <ref name="ianthornton">Thornton, Ian W. B. : "[http://www.amazon.com/Krakatau-Destruction-Reassembly-Island-Ecosystem/dp/0674505727 ''Krakatau : The Destruction and Reassembly of an Island Ecosystem''"], hal. 128. New York, Harvard College, 1996.| ISBN-13: 978-0674505728</ref>.
{{Quotation|"''Sebesi has permanent streams, and thus has been inhabited and considerably disturbed by agricultural practices for many years. Much of the island’s lowland area was cleared and planted by Hadji Djamaludin and his workers in 1890, and in about 1900 cattle, goats, and horses were introducted.''" | Dammerman (1948) | <ref name="ianthornton"
{{Quotation|"''Coconut plantations were now extensive, and there were fruit trees and ladangs (rice fields in cleared forest).''" | Dammerman (1948) | <ref name="ianthornton"
Selain itu pendapat ahli botani dari Buitenzorg Museum (Museum Botani Bogor) yang pada tahun 1906 tergabung dalam sebuah ''Comissie'' untuk menyelidiki usia tanaman di Sebesi memperkuat pernyataan itu. Pernyataan itu terangkum dalam isi vonis Pengadilan Proatin Kalianda tahun 1906<ref name="proatinkalianda">Proatin Kalianda, Putusan No. 25. Tertanggal 5 Juli 1906.</ref>.
Baris 79:
Kejayaan Kelapa Dalam (Cocos nucifera), baik dalam bentuk butiran maupun kopra, di Pulau Sebesi terus berlanjut sampai periode awal tahun 1990 dengan ditandai pendirian pabrik pengolahan minyak kelapa oleh keturunan dari Muhammad Saleh Ali. Namun era kejayaan Kelapa Dalam pada akhirnya terhenti ketika industri minyak sawit berkembang pesat sejak pertengahan tahun 1990an. Sawit yang jauh lebih unggul dari segi efektivitas dan efisiensi biaya pengolahan mampu mengungguli minyak Kelapa Dalam. Sejak saat itu minyak sawit menjadi primadona di seluruh dunia dan berimbas pada merosotnya harga Kelapa Dalam. Sejak saat itu masyarakat Pulau Sebesi mulai mencari komoditi lain yang dapat dijual dengan keuntungan yang tinggi.
Tanaman kakao mulai menjadi primadona berikutnya sejak tahun 2008. Hal ini juga didorong oleh program pemerintah yang menargetkan Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 pada tahun 2016 setelah Pantai Gading. Di era Kakao inilah perekonomian masyarakat Pulau Sebesi meningkat cukup pesat. Dalam 1 tahun rata-rata tiap luasan 1 Ha kebun kakao menghasilkan 1 - 1,5 Ton biji kering kakao.
<br />
== Satwa ==
Letusan Krakatau tahun 1883 telah memusnahkan seluruh satwa yang ada di Pulau Sebesi <ref name="dammerman">Dammerman, K. W., The Fauna of Krakatau, Verlaten Island, and Sebesy. Treubia, 3, 1922. pp. 61 112, 1 map.</ref>. Lalu untuk pertama kalinya Haji Djamaludin membawa hewan-hewan ternak seperti kuda, kambing, dan sapi <ref name="dammerman" />. Sedangkan penelitian terhadap satwa baru dilakukan pada tahun 1920 oleh 2 ilmuwan, Dr. W. van Leeuwen dan Dr. K. W. Dammerman dari Buitenzorg Musem / Museum Bogor <ref name="ianthornton"
Babi hutan merupakan satwa hama utama bagi warga Pulau Sebesi. Pada sekitar tahun 1930 Belanda membawa dan memelihara sejumlah babi hutan di pulau ini yang akhirnya berkembang biak secara liar. Oleh para pemburu dan tokoh masyarakat, jumlah babi hutan di pulau ini diperkirakan lebih dari separuh jumlah penduduk Pulau Sebesi.
<br />
== Desa/Dusun ==
Pulau Sebesi terdiri dari 1 desa dan 4 dusun utama dan beberapa dusun kecil yang berada dibawah naungan dusun utama. Empat dusun utama tersebut adalah Dusun Bangunan, Dusun Inpres, Dusun Segenom, dan Dusun Regahan Lada <ref name="fasilitaspendidikan" />.
Sebelum menjadi desa sendiri, Pulau Sebesi masih berada dalam naungan kampung Raja Basa. Saat itu kampung Raja Basa dipimpin oleh kepala marga Pesisir, Pangeran Warta Manggala II, anak dari Pangeran Minak Putra.
=== Desa Tejang ===
Pada tahun 1958, Muhammad Saleh Ali (anak dari Haji Djamaludin) memisahkan Pulau Sebesi dari kampung Raja Basa dan membentuk desa sendiri dengan nama Tejang. Peristiwa ini diketahui dan disahkan oleh kepala Marga Pesisir, Pangeran Marzuki Manggala (anak dari Pangeran Warta Manggala II).
Nama Tejang berasal dari bahasa Lampung, ''Khejang/Tijang'' yang berarti Panjang. Sehingga Desa Tejang berarti Desa yang panjang. Sebutan Tejang biasanya mengacu pada wilayah yang mencakup 2 dari 4 dusun utama, yaitu Dusun Inpres dan Dusun Bangunan.
=== Dusun Regahan Lada ===
Salah satu area yang dijadikan tempat menanam lada oleh masyarakat pada masa penguasaan Pangeran Cecobaian saat mendapat perintah dari Sultan Banten untuk menanam 500 batang pohon lada per kepala terletak di Pulau Sebesi. Masyarakat pada masa itu menyebut nama kebun lada tersebut dengan sebutan ''Reghan'' (baca: ''Kheghan'') ''Lada'' atau yang dalam bahasa Lampung Pesisir berarti Tempat Pemberhentian Lada. Meski kini tak dapat dijumpai lagi pohon lada di tempat itu, namun tempat dimana dahulu terdapat perkebunan lada tersebut tetap menggunakan nama Regahan (Reghan) Lada sebagai nama Dusunnya.
Dusun Regahan Lada termasuk dusun utama yang menaungi beberapa dusun kecil seperti Dusun Syanas,Teluk Baru, Gubug Seng, Lawang Kori, dll.
=== Dusun Segenom ===
Ada dua teori mengenai asal usul nama dusun Segenom, yaitu :
# Berasal dari bahasa Belanda yaitu ''Den Eigendom'' yang kadang ditulis ''<nowiki>'s-Eigendom</nowiki>'' yang berarti Properti.
Baris 116:
Berdasarkan data sensus tahun 2011, Pulau Sebesi saat ini terdiri dari 771 kepala keluarga dengan jumlah penduduk mencapai 2911 jiwa. Jumlah itu terdiri dari 1636 laki-laki dan 1277 perempuan.
=== Sejarah ===
Sebelum meletusnya Krakatau, penduduk Pulau Sebesi hampir seluruhnya berasal dari pesisir. Di luar itu juga terdapat beberapa orang dari Banten yang ikut tinggal di Pulau Sebesi. Masyarakat saat itu rata-rata bekerja sebagai petani karet, lada, dan kelapa, serta pengolahan hasil kayu dari hutan. Meski tidak banyak, namun sebagian kecil warga bertani sarang burung walet.
Pasca beralihnya kepemilikan Pulau dari Pangeran Minak Putra kepada Haji Djamaludin, beberapa penduduk pesisir yang selamat datang ke pulau itu untuk bekerja sebagai buruh tanam kelapa. Namun gelombang masuknya penduduk ke Pulau Sebesi baru benar-benar dimulai tahun 1913. Saat itu beberapa rombongan dari Banten datang dan meminta izin untuk menanam kepada Haji Djamaludin. Penduduk Pulau Sebesi yang bersuku Banten saat ini hampir seluruhnya merupakan keturunan dari pendatang tahun 1913.
=== Demografi ===
Penduduk Pulau Sebesi terdiri dari suku Banten 60%, Lampung 30%, dan sisanya Jawa, Sunda, NTT, dll. Warga pulau ini seluruhnya menganut agama Islam dan terdapat 3 masjid dan 2 mushola. Sebagian besar penduduk beerja sebagai petani, meskipun sebagian ada pula yang bekerja sebagai awak kapal, berdagang, montir, guru, dan lain sebagainya.
Baris 178:
== Daftar Pustaka ==
* Perbatasari, RG. 2012. : ''Bandakh Marga Raja Basa''. Pesisir Kalianda Lampung Selatan.
* Uitreksee, uit het Register der Besluiten van den Resident der Lampongsche Districten, 1938.
* [http://www.crc.uri.edu/download/RPWP_Pulau_Sebesi.pdf Surat Keputusan Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi Nomor : 140/03/KD-TPS/16.01/XI/2002].
Baris 192 ⟶ 191:
.
[[Kategori:Pulau di Indonesia|Sebesi]]
[[Kategori:Kabupaten Lampung Selatan]]
[[Kategori:Pulau di Lampung]]
|