Alun-alun: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes, replaced: dimana → di mana (2), asal-usul → asal usul
k Robot: Perubahan kosmetika
Baris 5:
Jadi alun-alun bisa di [[desa]], [[kecamatan]], [[kota]] maupun pusat [[kabupaten]].
 
Pada awalnya Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (''gladi yudha'') bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada ''kawula'' (rakyat), pusat perdagangan rakyat, juga hiburan seperti [[Rampokan macan]] yaitu acara yang menarik dan paling mendebarkan yaitu dilepaskannya seekor harimau yang dikelilingi oleh prajurit bersenjata.
 
== Sejarah ==
Baris 22:
'''Periode zaman kemerdekaan''', banyak alun-alun yang berubah bentuk. Salah satunya alun-alun [[Malang]]. Faktor pendorong pertumbuhan ini macam-macam di antaranya kebijakan pemerintah, aktivitas masyarakat, Perdagangan dan Pencapaian (Dadang Ahdiat, 1993).
 
== Fungsi ==
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa (2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut beberapa aspek. Pertama, alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu sistem kekuasaan atas suatu wilayah tertentu, sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi antara dunia nyata (mikrokosmos) dan universum (makrokosmos). Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan ritual atau keagamaan. Ketiga, tempat mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktikkan kekuasaan sakral dari sang penguasa.
 
Baris 32:
Dalam buku Tahta Untuk Rakyat dikatakan, “Adanya cara ber-pepe ini menunjukkan bahwa pada zaman dulu sudah ada forum untuk memperjuangkan hak asasi manusia sehingga jelas itu bukan barang baru atau barang yang diimpor dari negara lain”
 
=== Alun-Alun Pada Zaman Pra Kolonialis ===
Handinoto, Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, menguraikan bahwa keberadaan Alun-alun telah ada pada zaman Majapahit (Hindu-Budha) dan zaman Mataram (Islam).
 
Baris 39:
Pola ini dilanjutkan baik dalam pemerintahan Mataram baik Yogyakarta maupun Surakarta yang memiliki dua alun-alun yaitu Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di alun-alun Yogyakarta ditempatkan pohon beringin kembar yang dinamai Kyai Dewa Ndharu dan Kiai Jana Ndharu. Di zaman Mataram Islam ditambahkan keberadaan Masjid sebagai pengganti candi.
 
=== Alun-Alun Pada Zaman Kolonialis ===
Pada zaman kolonial, alun-alun tidak hanya menjadi bagian dari sebuah keraton yang dikepalai oleh seorang raja melainkan oleh para bupati sebagai bawahan raja.
Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah Inlandsch Bestuur).
Dalam sistem pemerintahan Inlandsch Bestuur pejabat Pribumi yang tertinggi adalah Regent atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta[8].
 
=== Alun-Alun Pada Zaman Pasca Kolonialis ===
Handinoto melihat adanya pergeseran signifikan mengenai eksistensi alun-alun paska kolonialisme, “Pada awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara,kelihatan menghilang, disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa”.