Arsitektur Jawa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Robot: Perubahan kosmetika |
|||
Baris 6:
Dalam perkembangan selanjutnya dalam periode Klasik Muda di wilayah Jawa Timur pada abad ke13—15 M arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah memperoleh gayanya tersendiri. Bentuk arsitekturnya terdiri dari candi bergaya Singhasari, gaya candi Jago, gaya candi Brahu, dan [[punden berundak]]. Pengaruh India dalam hal ini hanya tinggal dalam konsep keagamaannya saja, konsep-konsep kedewataan kemudian digubah kembali oleh para pujangga Jawa Kuna. Dalam hal konsepsi keagamaan hakekat tertinggi dalam agama Hindu dan Buddha dalam masa kerajaan Singhasari dan Majapahit telah dipadukan menjadi Bhattara Siva-Buddha. Perpaduan konsepsi dewata tertinggi itu diwujudkan dalam bentuk bangunan suci, misalnya pada [[Candi Jawi]] (Pasuruan) dan [[Candi Jago]] (Malang). Di Candi Jawi, unsur Buddha terlihat pada puncaknya, sedangkan di relung candinya dahulu berisikan arca-arca Hindu-Saiva khas Jawa. Begitupun di Candi Jago, cerita relief banyak yang bernafaskan Hindu-Saiva, adapun arca pelengkap candi itu semuanya bernafaskan Buddha Mahayana.
== Rumah Tradisional ==
Pada relief Candi Borobudur tampak bahwa rumah di Jawa digambarkan berkolong tinggi dan cenderung persegi panjang daripada bujur sangkar sehingga lebih mirip rumah panggung<ref>{{cite web |url=http://www.anneahira.com/rumah-adat-jawa-tengah.htm | title=Rumah Adat Jawa |date=8 Oktober 2013}}</ref>. Karena makin sedikit hutan di Jawa, maka saat ini rumah Jawa merupakan satu-satunya bangunan rumah tradisional yang tidak berkolong di Nusantara<ref>{{cite web |url=http://tambeh.wordpress.com/2013/01/30/arsitertur-rumah-jawalebih-mementingkan-segi-non-fisik/ | title=Arsitektur Rumah Jawa |date=8 Oktober 2013}}</ref>. Bentuk atap [[Rumah Jawa|rumah yang berarsitektur Jawa]] terdiri dari tipe tajug (mesjidan), joglo, limasan dan kampung (atap pelana)<ref>{{cite web |url=https://www.facebook.com/notes/su-mur/kegelisahan-arsitektur-jawa/10150249256989548# | title=Arsitektur Jawa |date=8 Oktober 2013}}</ref>.
<center>
Baris 17:
</center>
== Pendopo ==
[[Pendapa]] (atau dibaca pendopo dalam bahasa Jawa), pengejaan Jawa: ''pendåpå'', berasal dari kata mandapa dari [[bahasa Sanskerta]] yang artinya bangunan tambahan) adalah bagian bangunan yang terletak di muka bangunan utama. Sejumlah tipe bangunan rumah tradisional di Sumatera, Semenanjung Malaya (dan juga Indocina), Jawa, Bali, dan Pulau Kalimantan diketahui memiliki pendopo sebagai hal yang "wajib".
Struktur ini kebanyakan dimiliki rumah besar atau keraton, letaknya biasanya di depan dalem, bangunan utama tempat tinggal penghuni rumah. Masjid-masjid berarsitektur asli Nusantara, kerap kali juga memiliki pendopo.
Baris 30:
</center>
== Masjid ==
[[Masjid]] adalah rumah tempat ibadah umat [[Muslim]]. Masjid artinya tempat sujud, dan mesjid berukuran kecil juga disebut [[musholla]], [[langgar]] atau [[surau]]. Selain tempat ibadah masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan - kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid.
<center>
Baris 39:
</center>
=== Mustoko ===
Mustoko merupakan kubah versi Jawa yang biasanya terdapat di masjid berarsitektur khas Jawa, seperti [[Masjid Agung Demak]], [[Masjid Mantingan|Masjid Astana Mantingan]], dan-lain-lain. Mustoko<ref>http://www.kidungsuwungart.blogspot.co.id/2014/02/mustoko-masjd-atau-mushola.html</ref> pada awalnya terbuat dari tanah liat seperti halnya genteng, tetapi seiring perkembangan zaman, kini bahan untuk membuat Mustoko bermacam-macam mulai dari berbahan stainless steel, Enamel Steel Teflon, Enamel Galvalum, dan bahan lainnya.
<center>
Baris 47:
</center>
=== Tajug ===
[[Tajug]] adalah [[atap]] berbentuk piramidal atau [[limas]] [[bujur sangkar]], yaitu dasar persegi empat sama-sisi dan satu puncak. Atap tajug biasanya digunakan untuk bangunan suci di [[Asia Tenggara]] termasuk [[Indonesia]], seperti [[masjid]] atau [[cungkup]] [[
== Candi ==
Baris 55:
Jawa adalah tempat yang paling banyak terdapat candi, disusul oleh Sumatera. Ini menandakan bahwa perkembangan agama dan kebudayaan Hindu-Buddha berlangsung lebih pesat di Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pusat-pusat pemerintahan pada masanya. Berdasarkan arsitektur dan tempat dibangunnya, candi-candi di Indonesia dapat dibagi atas: candi yang terletak di Jawa Tengah (bagian selatan dan utara), Jawa Timur, dan lain-lainnya seperti di Sumatera, Bali, dan Jawa Barat.
Secara umum candi yang berada di Jawa dapat dikelompokkan candi Jawa Tengah dan candi Jawa Timur. Dan berdasarkan ciri-cirinya, candi di Jawa Tengah
Candi di wilayah selatan, yang umumnya dibangun oleh Wangsa [[Syailendra]], merupakan candi Buddha dengan bentuk bangunan yang indah dan sarat dengan hiasan. Candi di wilayah utara ini umumnya dibangun dalam kelompok dengan pola yang sama, yaitu candi induk yang terletak di tengah dikelilingi oleh barisan candi perwara. Candi di Jawa Tengah umumnya mempunyai relief dibanding candi di jawa Timur. Relief pada candi sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahan bangunan bahan bangunan, gaya, dan isi cerita. Candi bergaya Jawa Tengah umumnya memiliki Berbahan batu andesit tubuh yang tambun, berdimensi geometris vertikal dengan pusat candi terletak di tengah, bahan bangunan terbuat dari batuan andesit.<ref>{{cite web |url=http://www.kaskus.co.id/thread/50f99fb1e574b4f108000010/perbedaan-candi-jawa-timur-dan-candi-jawa-tengah | title=Perbedaan Candi Jawa Timur dan Candi Jawa Tengah |date=8 Oktober 2013}}</ref>
Baris 62:
Bentuk bangunan yang ramping meninggi, makin keatas makin ramping (dampaknya adalah bentuk padmasari di Bali).<ref name=d10>Dawson (1994), p. 10</ref> Ciri-ciri khas candi di Jawa Timur adalah : Atapnya merupakan simbol perpaduan tingkatan, puncaknya berbentuk Kubus (lingam), tidak ada simbol-simbol [[makara]], dan hanya ambang atas gapura saja yang berhiaskan kepala kala, letak candi kebanyakan menghadap kearah Barat dan terletak dibagian belakang lokasi percandian, kebanyakan Candi terbuat dari batu bata merah.<ref>{{cite web |url=http://shantigriya.tripod.com/candi/sejarahcandi/bab-bab/sejarahcandi_07.htm | title=Sejarah Candi di Indonesia|date=8 Oktober 2013}}</ref>
== Candi Bentar ==
[[Candi bentar]] adalah sebutan bagi bangunan [[gapura]] berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk. Candi bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga.
Baris 77:
</center>
== Punden berundak ==
[[Punden berundak]] adalah bangunan teras bertingkat-tingkat meninggi yang menyandar di kemiringan lereng gunung. Punden berundak adalah ciri khas Jawa. Ukuran teras semakin mengecil ke atas, jumlah teras umumnya 3 dan di bagian puncak teras teratas berdiri altar-altar yang jumlahnya 3 altar (1 altar induk diapit dua altar pendamping di kanan-kirinya. Tangga naik ke teras teratas terdapat di bagian tengah punden berundak, terdapat kemungkinan dahulu di kanan kiri tangga tersebut berdiri deretan arca menuju ke puncak punden yang berisikan altar tanpa arca apapun. Contoh yang baik bentuk punden berundak masa Majapahit terdapat di lereng barat Gunung Penanggungan, penduduk menamakan punden-punden itu dengan candi juga, misalnya Candi Lurah (Kepurbakalaan No.1), Candi Wayang (Kep. No.VIII), Candi Sinta (Kep.No.17a), Candi Yuddha (Kep.No.LX), dan Candi Kendalisada (Kep.No.LXV).
== Motif dan Elemen ==
=== Kala ===
[[Batara Kala]] adalah sosok rakasa ganas sebagai dewa penguasa waktu dan berhubungan dengan sisi perusak dari Dewa Siwa. Kala adalah putera Dewa Siwa yang bergelar sebagai dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma.
Baris 90:
</gallery>
</center>
=== Dwarapala ===
[[Dwarapala]] adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau raksasa yang memegang gada. Biasanya dwarapala diletakkan di luar untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat didalamnya. Jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca dwarapala. Seringkali dwarapala diletakkan berpasangan di antara gerbang masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki empat, delapan, bahkan duabelas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin.
Baris 104:
</center>
=== Stupa ===
[[Stupa]] merupakan tempat penyimpanan abu sang Buddha dan melambangkan perjalanan Sang Buddha menuju nirvana. Setelah wafat, jasad Buddha dikremasi, lalu abunya disimpan dalam delapan stupa terpisah di utara India. Pada masa kuno di India, stupa digunakan sebagai makam penyimpanan abu bangsawan atau tokoh tertentu. Stupa kemudian dijadikan lambang Buddhisme dan menunjukkan luas pengaruh Buddhisme di berbagai kawasan. Semasa pemerintahan Ashoka (abad ke-2 SM) di India dibangun banyak stupa untuk menandakan Buddha sebagai agama kerajaan. Di Asia Tenggara dan Timur, stupa juga didirikan sebagai pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah bersangkutan. Stupa terdiri atas tiga bagian, yaitu andah, yanthra, dan cakra. Andah melambangkan dunia bawah, tempat manusia yang masih dikuasai hawa nafsu, Yanthra merupakan suatu benda untuk memusatkan pikiran saat bermeditasi, dan Cakra melambangkan nirvana atau nirwana, tempat para dewa bersemayam. Stupa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Di Indonesia stupa sering merupakan bagian candi atau komplek candi tertentu, seperti pada [[Candi Mendut]], Borobudur, Jawi, dan [[Candi Muara Takus]].
=== Mekara ===
[[Makara]] (Sanskerta: मकर) adalah makhluk dalam mitologi Hindu yang digambarkan dengan dua hewan gabungan (di bagian depan berwujud binatang seperti gajah atau buaya atau rusa, atau rusa) dan di bagian belakang digambarkan sebagai hewan air di bagian ekor seperti ikan atau naga.
Makara adalah [[wahana]] (kendaraan) dari Dewi Gangga dan dewa Baruna. Itu juga merupakan lambang dari Dewa Kamadeva. Kamadeva juga dikenal sebagai Makaradhvaja (satu bendera yang makara digambarkan). Hal ini sering digunakan untuk melindungi jalan masuk ke kuil Hindu dan Buddha. Makara sering dilukiskan dan dipahatkan dalam candi-candi di Indonesia, khususnya di Bali dan Jawa. Orang Bali menyebutnya gajahmina, yang secara harfiah berarti "ikan gajah". Kadangkala Makara dilukiskan sebagai makhluk berwujud separuh kambing dan separuh ikan seperti simbol Kaprikornus dalam zodiak. Dalam kitab-kitab suci umat Hindu, Makara adalah makhluk yang menjadi kendaraan Dewa Baruna dan Dewi Gangga.
=== Lingga Yoni ===
[[Lingga]] yoni adalah berkaitan dengan Tri Purusa yaitu Siwa sebagai simbol lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu bersama-sama disimbolkan dalam pranala sebagai dasar yaitu yoni. Lingga yang digambarkan sebagai kelamin laki-laki biasanya dilengkapi dengan Yoni sebagai kelamin wanita. Persatuan antara Lingga dan Yoni melambangkan kesuburan. Dalam mitologi Hindu, yoni merupakan penggambaran dari Dewi Uma yang merupakan salah satu sakti (istri) Siwa.
Baris 120:
Sejak abad ke 8 yaitu Prasasti Canggal telah menyebutkan bahwa seorang raja mendirikan lingga dan Yoni untuk mengukuhkan kedudukannya. Di Kamboja sendiri sudah menjadi kebiasaan bagi seorang raja mendirikan lingga untuk mengukuhkan kedudukannya di atas takhta. Lingga – Yoni demikian, yang sejak Jayawarman II disebut “Dewaraja”, diberi nama yang menggambarkan perpaduan antara raja yang mendirikan dengan sang dewa yang menjadi pemujanya (Siwa).
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Stenen beelden in de vorm van een makara op de Candi Kalasan TMnr 10015966.jpg|thumb|275px|Makara berbentuk [[Naga Jawa|Naga]] di depan pintu masuk candi Kalasan.]]
=== Naga ===
[[Naga Jawa]] merupakan motif penting dalam arsitektur Jawa. Naga Jawa digambarkan sebagai sesosok mahluk sakti berbentuk ular raksasa yang tidak memiliki kaki meskipun adakala diwujudkan mempunyai kaki . Naga Jawa memakai badhog atau mahkota di atas kepalanya. Terkadang Naga Jawa digambarkan juga memakai perhiasan anting dan kalung emas.
|