Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 102:
Pada saat itu Gereja Katolik di Indonesia kesulitan dengan mempertahankan orang Katolik baru: orang Jawa yang sudah pindah agama saat sekolah terkadang-kadang menjadi Muslim lagi setelah mengalami pengasingan dari teman-teman atau keluarga mereka. Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1935, Soegijapranata menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan tidak adanya rasa identitas Katolik, atau ''sensus Catholicus'', serta sedikitnya pernikahan antara orang Katolik. Soegijapranata menolak pernikahan antara orang Katolik dan yang bukan Katolik,{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=709}} dan mulai menjadi penasihat untuk pasangan Katolik muda sebelum mereka menikah; ia percaya bahwa pernikahan antara orang Katolik akan mengeratkan hubungan antara keluarga Katolik di Yogyakarta.{{sfn|Subanar|2003|pp=116–118}} Soegijapranata terus menulis untuk ''Swaratama'' dan menjabat sebagai redaktur.{{sfn|Gonggong|2012|p=23}} Pada tahun 1938 Soegijapranata dipilih sebagai penasihat untuk Serikat Yesus dan mengkoordinasikan karya Yesuit di Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=121–122}}
 
== VikarVikaris apostolik ==
Meningkatnya jumlah orang Katolik di Hindia Belanda membuat Mgr. Petrus Willekens, yang menjabat sebagai Vikar Apostolik Batavia, mengusulkan bahwa suatu [[vikariat apostolik]] didirikan di [[Jawa Tengah]], dengan pusatnya di [[Semarang]],{{sfn|Subanar|2003|p=123}} sebab Jawa Tengah memiliki budaya yang berbeda dan jarak yang jauh dari Batavia.{{sfn|Subanar|2003|pp=127}} Vikariat Apostolik Batavia dibagi menjadi dua pada tanggal 25 Juni 1940; bagian timur menjadi Vikariat Apostolik Semarang.{{sfn|Moeryantini|1975|p=7}} Pada tanggal 1 Agustus 1940 Willekens menerima [[telegram]] dari Kardinal [[Paus Paulus VI|Giovanni Battista Montini]], yang menyatakan bahwa Soegijapranata akan menjadi pemimpin vikariat apostolik yang baru itu. Ini dikirimkan ke Soegijapranata di Yogyakarta, yang menyetujui tugas itu,{{sfn|Subanar|2003|p=123}} biarpun terkejut dan gelisah.{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}} Asistennya, Hardjosoewarno, menyatakan bahwa Soegijapranata menangis setelah membaca telegram itu – sebuah tanggapan yang tidak biasa untuk dia – dan, saat makan semangkuk [[soto]], bertanya kalau Hardjosoewarno pernah melihat seorang uskup menikmati makanan itu.{{sfn|Moeryantini|1975|p=21}}