Tumaluntung, Kauditan, Minahasa Utara: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib) k clean up, replaced: dibawah → di bawah, didalam → di dalam (3) |
sejarah desa tumaluntung Tag: VisualEditor mengosongkan halaman [ * ] |
||
Baris 12:
}}
'''Tumaluntung''' merupakan salah satu [[desa]] yang berada di kecamatan [[Kauditan, Minahasa Utara|Kauditan]], Kabupaten [[Kabupaten Minahasa Utara|Minahasa Utara]], provinsi [[Sulawesi Utara]], [[Indonesia]]
'''SEJARAH SINGKAT DESA TUMALUNTUNG'''
Pada sekitar tahun 1665, datang dari negeri Kembuan (''Tonsea Lama'') 37 orang Dotu bersama dengan pengikut-pengikut mereka, yang terdiri dari keluarga masing-masing. Rombongan dipimpin oleh seorang ''Tunduan'', ''Tonaas'', ''Wadian'', ''Teterusan'', ''Kumekooko'', ''Kumekomba'' bernama Dotu Rotti didampingi isterinya yang bernama Karagian.
Perjalanan mereka dimulai dari Walantakan, Wewuringen, Kembuan (Tonsea Lama), Tinegadan si Kooko (sekarang Desa Tanggari), Saduan, Sawangan, Koyawas dan akhirnya tiba dan menetap di Kdimbatu.
Setelah beberapa tahun mereka berada di Kadimbatu, Dotu Wagiu adik dari Dotu Rotti, memohon kepada semua rombongan tersebut agar ia bersama dengan pengikutnya/keluarganya diizinkan meninjau pada bagian sebelah kanan Kadimbatu dengan maksud mendiami tempat tersebut untuk sementara waktu. Semua rombongan menyetujui permintaan itu.
Sewaktu Dotu Wagiu bersama rombongannya keluar dari Kadimbatu, dalam perjalanan mereka bertemu dua ekor burung saling berhadapan dan kemudian saling sabung-menyabung menghalang-halangi perjalanan mereka. Hal ini, menurut kepercayaan mereka merupakan tanda bagi mereka. Lalu rombongan itu berhenti (''Dumena''') dan Dotu Wagiu mengatakan lebih baik kita bertanya kepada ''OPO EMPUNG WAIDAN'' apa gerangan makna dan tanda burung/paletan itu. Ternyata maknanyasesuai dengan kepercayaan mereka, rombongan belum diizinkan melanjutkan perjalanan untuk menghindari hal-hal yang buruk yang akan menimpa mereka. Setelah tiga hari, rombongan itu mendapat tanda lagi, tapi dari burung Manguni (''Manguni Rondor'') yang diartikan bahwa rombongan tersebut sudah boleh melanjutkan perjalanan, tetapi dengan syarat jangan ke kanan, melainkan ke kiri dari Kadimbatu, lalu mereka turun ke sungai Dinamunen, Naik ke utara dan setelah berjalan kurang lebih 150 meter mereka menemukan mata air, rombongan tersebut berhenti dan membuat tempat berteduh. Sekarang mata air itu disebut ''Doud Tumetenden''.
Di Kadimbatu, setelah Dotu Wagiu dan rombongannya pergi, Dotu Makalew tergerak keinginannya juga untuk meninjau wilayah di sebelah kiri Kadimbatu, akan tetapi setelah mereka ketahui bahwa Dotu Wagiu dan rombongannya bukan ke kanan, melainkan ke kiri, maka Dotu Makalew dan rombongannya meminta untuk lebih ke kiri lagi, menelusuri kali besar Tondano, rombongan mengijinkan. Sementara dalam perjalanan, tiba-tiba seekor ular hitam (''Teken ni Opo'') melintang menghalangi perjalanan mereka yang menurut kepercayaan mereka tandanya mereka tidak boleh lewat. Maka Dotu Makalew, setelah meminta petunjuk dari para leluhurnya kemudian berkata kepada rombongannya, "sudah jauh kita berjalan, sampai disini kita berhenti". Tempat itu mereka namakan Kinaengkoan, sekarang menjadi desa Kawangkoan, Kelawat Bawah.
Setelah Dotu Wagiu beserta rombongannya dan Dotu Makalew beserta rombongannya menemukan tempat untuk menetap, yang tertinggal di Kadimbatu masih tetap dipimpin oleh Dotu Rotti. Mereka sepakat turun dari Kadimbatu ke kanan dengan petunjuk arah terbitnya Matahari, semuanya turun. Setelah menempuh perjalanan sehari mereka tiba di suatu tempat dataran yang dikelilingi pegunungan. Mereka berhenti dan membuat tempat berteduh untuk menetap. Suatu waktu, setelah kira-kira 30 meter mereka berada di tempat tersebut, pada saat mereka sedang makan bersama di tempat terbuka, dimana semua makanan dicurah pada satu tempat yang dialas dengan daun pisang, seekor burung besar terbang melintasi tempat itu, sambil mengeluarkan kotoran dan jatuh tepat di atas makanan mereka sehingga mereka tidak dapat melanjutkan makan. Atas peristiwa itu mereka menamakan tempat itu ''pata'ian ko 'ko'''. Mereka menetap disana selama 23 tahun.
Selama mereka menetap di sana, selalu ada saja hal-hal yang terjadi mengganggu ketentraman mereka, maka rombongan sepakat untuk pindah lagi ke sebelah utara yang jaraknya kurang lebih 500 meter. Disana mereka menemukan air terjun yang tirak henti-hentinya mengeluarkan bunyi "''teng, teng, teng''", yang merupakan paduan bunyi gema air yang jatuh. Karena itu mereka akhirnya menamakan tempat itu ''Matalenteng'' yang artinya "''Bunyi Air Jatuh''".
Setelah beberapa lama mereka di Matalenteng, Dotu Umboh, Dotu Koloay dan Dotu Runtukahu beserta rombongan masing-masing pergi meninggalkan Matalenteng, menuju ke timur, melewati tempat bernama Wua' kendis dan terus menuju ke Sawangen. Dotu Rotti dan isterinya Karagian, bersama dengan rombongan mereka menetap di Matalenteng selama kurang lebih 50 tahun, kemudian mereka merubah nama Matalenteng menjadi Mataluntung.
Pada tahun 1725, nama Mataluntung berubah menjadi ''TUMALUNTUNG.'' Pada masa itu banyak perompak-perompak/bajak laut yang datang dari Kema, menelusuri Kali Sawangen, mencari-cari orang dan apabila mereka menemukannya, mereka tangkap kemudian dibawa ke kapal mereka yang berlabuh di Kaburukan (Kema). Perompak-perompak/bajak laut itu adalah orang Loloda, Mangindano dan Tasikela. Pemimpin mereka yag sangat terkenal bernama Santerina.
Pada suatu waktu Dotu Rotti menugaskan Dotu Gerung dan anak buahnya untuk mengawasi wilayah kekuasaanya yang lokasinya terbentang dari ''Tumaluntung'' (''d/h Mataluntung'') ke timur sampai ke Kema. Di Kayawu yang sekarang Dea Kawiley mereka bertemu dengan para perompak-perompak/bajak laut dari Kema. Pada pertemuan itu terjadilah perkelahian, bahkan perang hebat di antara mereka yang mengakibatkan pemimpin mereka Santerina melarikan diri meninggalkan mayat-mayat anak buahnya.{{Kauditan, Minahasa Utara}}
Desa Tumaluntung berbatasan langsung dengan desa Paslaten di sebelah timur dan desa Airmadidi di sebelah timur.
|