Tumaluntung, Kauditan, Minahasa Utara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
sejarah
sejarah
Baris 13:
'''Tumaluntung''' merupakan salah satu [[desa]] yang berada di kecamatan [[Kauditan, Minahasa Utara|Kauditan]], Kabupaten [[Kabupaten Minahasa Utara|Minahasa Utara]], provinsi [[Sulawesi Utara]], [[Indonesia]]
 
Desa Tumaluntung berbatasan langsung dengan desa Paslaten di sebelah timur dan desa Airmadidi di sebelah timur.
'''SEJARAH SINGKAT DESA TUMALUNTUNG'''
 
Tumaluntung memiliki kekayaan peninggalan budaya khas Sulawesi Utara, yaitu "Waruga". Waruga adalah makam kuno orang terdahulu di Minahasa. Waruga berbentuk seperti rumah kecil yang terbuat dari pahatan batu, terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian persegi sebagai badan rumah dan bagian atap yang memiliki pahatan sesuai jenis pekerjaan dan keahlian orang yang dikubur di dalamnya. Ukuran waruga bermacam-macam, semakin besar waruga maka semakin tinggi pula derajat orang yang dikubur di dalamnya.
cara penguburannya adalah dengan didudukkan (seperti posisi bayi dalam kandungan). Biasanya pada saat penguburan, barang berharga dan perhiasan orang tersebut akan ikut ditaruh di dalam waruga tersebut.
 
Tumaluntung berada tepat di bawah kaki gunung Klabat, gunung tertinggi di pulau sulawesi.
 
= '''SEJARAH SINGKAT DESA TUMALUNTUNG''' =
Pada sekitar tahun 1665, datang dari negeri Kembuan (''Tonsea Lama'') 37 orang Dotu bersama dengan pengikut-pengikut mereka, yang terdiri dari keluarga masing-masing. Rombongan dipimpin oleh seorang ''Tunduan'', ''Tonaas'', ''Wadian'', ''Teterusan'', ''Kumekooko'', ''Kumekomba'' bernama Dotu Rotti didampingi isterinya yang bernama Karagian.
 
Perjalanan mereka dimulai dari Walantakan, Wewuringen, Kembuan (Tonsea Lama), Tinegadan si Kooko (sekarang Desa Tanggari), Saduan, Sawangan, Koyawas dan akhirnya tiba dan menetap di KadimbatuKdimbatu.
 
Setelah beberapa tahun mereka berada di Kadimbatu, Dotu Wagiu adik dari Dotu Rotti, memohon kepada semua rombongan tersebut agar ia bersama dengan pengikutnya/keluarganya diizinkan meninjau pada bagian sebelah kanan Kadimbatu dengan maksud mendiami tempat tersebut untuk sementara waktu. Semua rombongan menyetujui permintaan itu.
 
Sewaktu Dotu Wagiu bersama rombongannya keluar dari Kadimbatu, dalam perjalanan mereka bertemu dua ekor burung saling berhadapan dan kemudian saling sabung-menyabung menghalang-halangi perjalanan mereka. Hal ini, menurut kepercayaan mereka merupakan tanda bagi mereka. Lalu rombongan itu berhenti (''Dumena''') dan Dotu Wagiu mengatakan lebih baik kita bertanya kepada ''OPO EMPUNG WAIDAN'' apa gerangan makna dan tanda burung/paletan itu. Ternyata maknanyasesuaimaknanya sesuai dengan kepercayaan mereka, rombongan belum diizinkan melanjutkan perjalanan untuk menghindari hal-hal yang buruk yang akan menimpa mereka. Setelah tiga hari, rombongan itu mendapat tanda lagi, tapi dari burung Manguni (''Manguni Rondor'') yang diartikan bahwa rombongan tersebut sudah boleh melanjutkan perjalanan, tetapi dengan syarat jangan ke kanan, melainkan ke kiri dari Kadimbatu, lalu mereka turun ke sungai Dinamunen, Naik ke utara dan setelah berjalan kurang lebih 150 meter mereka menemukan mata air, rombongan tersebut berhenti dan membuat tempat berteduh. Sekarang mata air itu disebut ''Doud Tumetenden''.
 
Di Kadimbatu, setelah Dotu Wagiu dan rombongannya pergi, Dotu Makalew tergerak keinginannya juga untuk meninjau wilayah di sebelah kiri Kadimbatu, akan tetapi setelah mereka ketahui bahwa Dotu Wagiu dan rombongannya bukan ke kanan, melainkan ke kiri, maka Dotu Makalew dan rombongannya meminta untuk lebih ke kiri lagi, menelusuri kali besar Tondano, rombongan mengijinkan. Sementara dalam perjalanan, tiba-tiba seekor ular hitam (''Teken ni Opo'') melintang menghalangi perjalanan mereka yang menurut kepercayaan mereka tandanya mereka tidak boleh lewat. Maka Dotu Makalew, setelah meminta petunjuk dari para leluhurnya kemudian berkata kepada rombongannya, "sudah jauh kita berjalan, sampai disini kita berhenti". Tempat itu mereka namakan Kinaengkoan, sekarang menjadi desa Kawangkoan, Kelawat Bawah.
Baris 34 ⟶ 40:
 
Pada suatu waktu Dotu Rotti menugaskan Dotu Gerung dan anak buahnya untuk mengawasi wilayah kekuasaanya yang lokasinya terbentang dari ''Tumaluntung'' (''d/h Mataluntung'') ke timur sampai ke Kema. Di Kayawu yang sekarang Dea Kawiley mereka bertemu dengan para perompak-perompak/bajak laut dari Kema. Pada pertemuan itu terjadilah perkelahian, bahkan perang hebat di antara mereka yang mengakibatkan pemimpin mereka Santerina melarikan diri meninggalkan mayat-mayat anak buahnya.{{Kauditan, Minahasa Utara}}
 
Desa Tumaluntung berbatasan langsung dengan desa Paslaten di sebelah timur dan desa Airmadidi di sebelah timur.
 
Tumaluntung memiliki kekayaan peninggalan budaya khas Sulawesi Utara, yaitu "Waruga". Waruga adalah makam kuno orang terdahulu di Minahasa. Waruga berbentuk seperti rumah kecil yang terbuat dari pahatan batu, terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian persegi sebagai badan rumah dan bagian atap yang memiliki pahatan sesuai jenis pekerjaan dan keahlian orang yang dikubur di dalamnya. Ukuran waruga bermacam-macam, semakin besar waruga maka semakin tinggi pula derajat orang yang dikubur di dalamnya.
cara penguburannya adalah dengan didudukkan (seperti posisi bayi dalam kandungan). Biasanya pada saat penguburan, barang berharga dan perhiasan orang tersebut akan ikut ditaruh di dalam waruga tersebut.
 
Tumaluntung berada tepat di bawah kaki gunung Klabat, gunung tertinggi di pulau sulawesi.
 
 
{{kelurahan-stub}}